April 9, 2010

Pembaruan Agraria dan Para TKI

(Bukan Gambar Pelatihan TKI)

TKI dan Pembaruan Agraria apa hubungannya? Banyak juga. Ah, semua di dunia ini kalau kau hubung-hubungkan juga pasti ada hubungannya, demikian mungkin gerutuan anda. Eh, kalau tak percaya, coba pikirkan ini. Memangnya orang mau pergi meninggalkan rumah, istri, suami, anak, dan keluarga besar yang jaraknya bisa ribuan mil jangka waktu tahunan karena alasan yang remeh temeh.

Ada banyak jenis TKI di manca negara. Ada TKI kelas skill tinggi yang bekerja di pertambangan, kesehatan, teknologi dan dunia akademik dsb. Ada juga TKI level menengah seperti pekerja produksi di pabrik-pabrik. Terakhir ada jenis TKI yang bekerja sebagai pekerja informal yakni pegawai rumah tangga, pegawai toko kecil-kecilan, pekerja kasar perkebunan dsb.

Untuk jenis yang terakhir ini, mereka sebagian besar berasal dari desa-desa minus. minus karena terlalu sedikit lapangan kerja, minus karena alam yang tidak cocok buat pertanian atau daerah remote (jauh). Karena minus maka SDM-nya kerapkali minus. Mana ada sih di negara kita sekolah murah, bermutu, di tempat-tempat kategori minus. Jadi bekal skill sejak awal untuk menjadi TKI, kebanyakan, memang, sudah tipis.

Mereka kerap menjadi korban calo saat berniat atau berkeinginan besar menjadi TKI. Seringnya, karena minim informasi soal jenis pekerjaan, negara tempatan dan harga resmi mereka menjadi korban. Sementara bagi mereka yang masih ragu-ragu atau belum sempat terpikir menjadi TKI, banyak yang menjadi korban pemburu TKI. Para calo ini merangsek sampai ke desa-desa.

Omong-omong, saya baru ngeh, istri supir teman saya sekantor ternyata menjadi TKI. Beginilah kalau radar dan antena sosial begitu rendah. Orang yang sering ketemu aja, gak tahu siapa dan apanya. Istrinya pergi ke Saudi Arabia menjadi PRT untuk dua tahun. Membayar dua juta dan masih dipotong gajinya oleh penyalur. Padahal, di website harganya gratis dan pendaftaran hanya Rp.50.000. Kenapa kau kasih izin, tanyaku. "Gimana lagi, kalau saya yang berangkat, menjadi supir disana bayar pendaftarannya 7.5 juta. Selain mahal, kalau istri saya yang berangkat, berarti saya masih bisa kerja serabutan disini dan istri punya gaji. Kalau saya yang berangkat, uang gaji saya berarti habis juga buat saya disana dan keperluan istri dan anak di kampung. Kan, gak bisa nabung jadinya. Betul juga, pikirku bengong.


Eh, apa hubungannya sama pembaruan agraria? Kalau desa-desa tidak dibuat miskin sama pemerintah kan tidak perlu ada TKI kelas babu ke luar negeri. Kalaupun masih ada bukan karena jalur resmi yang dibuka negara. Pasti karena memang doyan menjadi babu.

Kok desa dibuat miskin. Iya lah, ada lebih 89.000 desa di Indonesia. lebih dari enampuluh persennya penduduknya masih status miskin banget alias berpendapatan kurang dari 1 dolar sehari. Mengapa, desa mengatur dirinya dan rakyat didalam wilayahnya. Negara dari pusat sampai kabupaten mengatur sektor-sektor. Berarti kan tangan pemerintah yang menjalar ke desa sesungguhnya tidak pernah ada.

Karena pengaturan sektor-sektor tadi, tanah-tanah didesa sudah dikuasai melalui kewenangan sektoralnya. Ada hutan tidak bisa dimanfaatkan oleh penduduk desa. Kalaupun sudah dimanfaatkan. Suatu hari kalau pemerintah memberi izin kepada pengusaha, kepada investor yang selalu diperebutkan itu, maka rakyat pasti minggir. Kalau ada potensi wisata, rakyat minggir. Kalau ada potensi tambang, rakyat minggir.

Ada juga yang berani manfaatkan. Kata pemerintah, "Rakyat tidak memiliki standar yang pengelolaan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Jadi, lebih baik jadi buruh dan karyawan investor". Kalaupun masih ngotot ya jadi mitra sajalah. He he he. Sering kecut sendiri. Istilahnya mitra, kenyatan masih baikan pola kemitraan tanam paksa atau sistemnya Raffles zaman baheula.


Ah, penjelasanmu sumir dan masih belum jelas nih. Okelah, saya lanjutkan besok saja.


Jakarta, 9 April 2010

Iwan Nurdin

No comments: