May 29, 2007

Pentingnya Konfederasi Nasional Serikat Tani di Indonesia (1)


Oleh: Iwan Nurdin

Lahirnya gerakan sosial dan gerakan politik yang menuntut keadilan agraria melalui pembaruan agraria tidak dapat dipisahkan dengan berlakunya rezim politik agraria yang berlaku di tanah air sejak era kolonialisme hingga sekarang ini.

Pembedaanya, pada masa lalu, gerakan-gerakan yang menuntut keadilan agraria ini sangat kental hubungan langsungnya dengan gerakan politik. Bahkan, gerakan langsung mengasosiasikan diri dalam wadah-wadah partai politik yang ada. Pembedaan lainnya, gerakan pada masa kolonialisme diarahkan langsung pada tuntutan politik tertinggi: kemerdekaan nasional.

Pada masa setelah kemerdekaan, khususnya dimasa kekuasaan Soekarno, ciri-ciri ini tetap dipertahankan. Pola gerakan semacam ini telah mengakibatkan gerakan yang menuntut pembaruan agraria khususnya gerakan landreform dengan mudah diberi stigma PKI/komunisme setelah kekuasaan Orde Baru naik.

Gerakan pembaruan agraria mulai bangkit kembali secara perlahan pada masa Orde Baru di tengah kondisi masyarakat yang dididik oleh pemerintah untuk menjauhi aktifitas yang berbau politik dan ideologi (depolitisasi dan deideologisasi). Sehingga, salah satu ciri gerakan pembaruan agraria di masa orde baru dan dalam beberapa hal bertahan hingga sekarang ini adalah sebuah organisasi gerakan sosial dalam berbagai bentuk atau formasi organisasinya, meski sangat bertendensi politik dalam isu-isu perjuangan yang tengah dibangun.

Pada awalnya, wilayah-wilayah gerakan sosial RA ini tumbuh dan ditentukan oleh kreatifitas langsung dari para aktivis gerakan –biasanya kaum terpelajar dan atau kelas menengah perkotaan-- serta pimpinan organisasi gerakan setempat untuk menumbuhkan sebuah solidaritas sosial yang baru.

Karena depolitisasi ini, para pelaku dan organisasi RA selalu menghindar pola-pola penyelesaian melalui politik yang artifisial dengan kekuasaan, semisal membuat organisasi politik. Sebab, di kalangan rakyat sendiri, pada masa itu menilai bahwa penyelesaian konflik agraria lewat jalur-jalur organisasi politik model begini dipandang sebagai sesuatu yang menakutkan.

Para aktivis gerakan agraria, mendorong tumbuhnya solidaritas dikalangan tani pada masa Orde Baru melalui sesuatu yang ada dan langsung dialami di dalam penderitaan kaum petani, semisal konflik agraria. Sehingga, dari solidaritas bersama ini tumbuhlah identitas gerakan pembaruan agraria dengan menjadikannya sebagai sebuah serikat/organisasi petani.

Dari proses ini, dapat diketahui bahwa pertumbuhan terpenting dan sangat awal dari gerakan pembaruan agraria pada masa Orde Baru adalah kemampuan para aktivis gerakan memetamorfosakan ketidakpuasan masyarakat menjadi sebuah ikatan solidaritas.

Ikatan ini dibangun dari proses interaksi bersama-sama para aktivis dengan rakyat yang dengan segala kreatifitasnya memanggil penderitaan yang tengah dialami oleh rakyat kedalam sebuah ”konfrontasi” terhadap politik agraria yang tengah berlaku sehingga menimbulkan sebuah perasaan dan ikatan bersama.

Jadi: ciri lanjutan dari gerakan pembaruan agraria pada tahap ini adalah gerakan advokasi penyelesaian beragam kasus/sengketa agraria.

Membaca dari kejadian ini, dapat disimpulkan bahwa Gerakan Pembaruan Agraria (GPA) adalah sebuah langkah kolektif dari sekumpulan orang-orang yang memiliki penderitaan yang sama dalam satu rezim penguasaan tanah yang mengeksploitasi mereka.

Gerakan ini tumbuh dan hidup dalam berbagai gerakan tani, masyarakat adat di tingkat lokal. Mereka, juga telah turut mendorong lahirnya gerakan tani di tingkat nasional sebagai sebagai sebuah bentuk representasi gerakan.

Selama ini, gerakan pembaruan agraria khususnya gerakan tani di tingkat nasional adalah terusan perjuangan yang kerapkali berfungsi sebagai pengeras suara dari berbagai rangkaian persoalan yang dialami oleh masyarakat agraria di tingkat lokal. Selain itu, GPA di level nasional juga memainkan peran advokasi kebijakan yang bertujuan supaya kebijakan politik di tingkat nasional memberi ruang lebih besar dan luas bagi tumbuhnya gerakan-gerakan pembaruan agraria di lokal.

Namun, ciri terpenting dari gerakan pembaruan agraria di nasional adalah membenarkan apa-apa yang tengah dilakukan dan terjadi di tingkat lokal (reklaiming, okupasi, pendidikan dan pengorganisasian) dengan cara melakukan advokasi ke dalam tubuh-tubuh kekuasaan negara (Pemerintah, DPR, Komnas HAM). Upaya ini bertujuan agar serikat-serikat di tingkat lokal itu bisa tetap eksis, membesar atau bermertamorfosa.

Sementara itu, proses di tingkat lokal juga mengalami perkembangan penting, sebab banyak wilayah-wilayah gerakan yang telah melakukan okupasi tanah berhasil melakukan transformasi sosial didalamnya dengan cara merubah cara-cara berproduksi mereka. Semisal sekelompok buruh kebun disekitar perkebunan telah berubah menjadi menjadi petani skala rumah tangga. Pada wilayah-wilayah hutan produksi misalnya, banyak kelompok tani telah berhasil merubah corak bertanam monokultur milik perusahaan kehutanan menjadi sistem wanatani yang mandiri. Dengan cara pandang yang lain, sebenarnya telah terjadi kantung-kantung revolusi agraria di lokal-lokal Indonesia meski skalanya masih pada level kampung.

Pada organisasi tani yang lain, untuk menjaga eksistensi dari kantung lokal pembaruan agraria tersebut, mereka memanfaatkan ruang-ruang politik yang tengah dibuka oleh negara dengan memanfaatkan seperti ruang politik seperti pemilihan Kepala Desa, BPD bahkan Parlemen Lokal dan beberapa bahkan memainkan peran penting dalam pemilihan kepala daerah dan DPD.

Beragamnya perkembangan organisasi perjuangan pembaruan agraria di Indonesia ini menuntut para pelaku gerakan untuk terus membuka ruang politik pembaruan agraria agar menjadi lebih luas, memainkan ruang dialog yang lebih luas antar gerakan pembaruan agraria di wilayah dan nasional ini betujuan untuk saling membagikan pengalaman yang ada. Dan, yang terpenting adalah melakukan transformasi agraria secara sistematis pada wilayah-wilayah pendudukan gerakan pembaruan agraria untuk dijadikan basis ikatan solidaritas yang baru dalam gerakan pembaruan agraria.

Jakarta, 29 Mei 2007
Iwan Nurdin

May 20, 2007

KIta Butuh Pengadilan Agraria

Mendesaknya Pembentukan Lembaga Pengadilan Agraria
Oleh: Iwan Nurdin

Meski dalam kecemasan, warga Meruya Selatan sedikit lebih beruntung. Ada sejumlah anggota DPR dan Gubernur DKI Jakarta yang siap pasang badan membela mereka mulai dari mencegah eksekusi hingga gugatan balik ke pengadilan. Bisa jadi, jika tidak ada aset Pemda, Komplek Perumahan Pegawai DPR dan DPA, Univeritas milik konglomerat ternama, tentu eksekusi Meruya telah lama dilakukan. Dan, semua pejabat akan bersuara sama, “kita negara hukum, maka kita semua wajib menaatinya”.

Putusan MA yang mengalahkan warga Meruya Selatan atas PT. Porta Nigra sedikit banyak telah membuka kembali tabir carut marutnya administrasi pertananahan yang ada dan telah mengakibatkan menyeruaknya konflik agraria di tanah air. Kasus ini hanyalah salah satu 2810 kasus tanah yang saat ini tercatat di BPN dan belum bisa diselesaikan. Di dalamnya, cerita model Meruya jamak ditemui.

Menilik kasus-kasus pertanahan, penulis mencatat ada beberapa keumuman yang dipakai oleh seseorang ataupun perusahaan dalam memperebutkan tanah. Pertama, melalui pengadilan. Cara kerjanya: dua orang/kelompok/badan hukum bersengketa memperebutkan klaim kepemilikan tanah melalui pengadilan. Anehnya, objek sengketa adalah areal pertanian bahkan perkampungan. Sementara, masyarakat setempat tidak tahu menahu adanya sengketa melalui pengadilan tersebut. Setelah pengadilan memenangkan salah satu pihak. Maka, masyarakat digegerkan perintah pengosongan dan eksekusi pengadilan yang tiba-tiba datang.

Pintu masuk ke pengadilan biasanya adalah akta jual beli, beredarnya sertifikat ganda, bahkan izin lokasi diatas tanah belum bersertifikat. Umumnya, setelah sampai di pengadilan warga biasa menjadi tidak berkutik.

Kedua: mensertifikatkan Tanah Negara kepada yang tidak berhak. Seperti diketahui, Pemda dan BPN tidak bisa melepaskan tanah perkebunan khususnya PTPN meskipun tanah-tanah tersebut tidak digarap secara benar. Ancamannya adalah penghilangan asset negara/korupsi. Namun, pelepasan ini dimungkinkan dan dibenarkan jika perusahaan tersebut mengajukan sendiri pelesapan areal HGU-nya. Awalnya, perkebunan meminta masyarakat menggarap areal perkebunan dengan tanaman pangan dalam jangka waktu 3 tahun. Disela-sela waktu tersebut, PTPN mengajukan pelepasan areal HGU dengan alasan telah diduduki oleh masyarakat. Anehnya, tanah tersebut kemudian bersertifikat atas nama oknum BPN, Pemda dan pegawai perkebunan. Seringkali areal HGU PTPN disekitar kota-kota seperti Medan dan Semarang dilepaskan dengan cara-cara seperti ini.

Ketiga, kasus-kasus lebih rumit bisa ditemukan di areal kehutanan yang akan dialihfungsikan ke perkebunan. Sebab, acapkali izin lokasi perkebunan yang diberikan Pemda hanyalah kedok perusahaan dalam mengambil hasil kayu. Penyelesaian ini lebih rumit sebab selain aturan hukum kehutanan dan pertanahan yang saling menegasikan, kasus seperti ini juga bertali bertali temali dengan kepentingan buruh tebang, masyarakat adat hingga dana reboisasi dan rehabilitasi lahan yang kesemuanya menggiurkan.

Percepatan Penyelesaian Kasus.
Dari tiga cara yang umum dipakai ini saja, kita bisa melihat betapa licinnya para mafia tanah dalam memanfaatkan bolongnya peradilan kita saat menyidangkan kasus pertanahan.

Padahal, dalam kasus pertanahan banyak sekali dimensi sosial yang dipertentangkan, mulai dari hubungan sosial, religi, keberlanjutan komunitas masyarakat dan juga harga diri dan martabat manusia (dignity). Dan, ditengah pertentangan ini, Pengadilan Umum dan Tata Usaha Negara (TUN) seringkali hanya memandang sisi formalitas hubungan hukum antara individu/komunitas dengan tanah semata. Maka, wajar kemudian putusan pengadilan seringkali bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.

Berulangnya putusan-putusan yang semacam ini, telah membuat pihak yang bersengketa khususnya pihak korban lebih memilih mengadukan persoalan pertanahan ke Komnas HAM, DPR RI.

Oleh sebab itu, patut dipikirkan segera dibentuk sebuah badan peradilan agraria yang independen di negeri kita. Peradilan ini, bisa berupa peradilan khusus yang berada dibawah peradilan umum layaknya Pengadilan Pajak, Niaga, Anak, Sengketa Perburuan, Perikanan, Pengadilan Syariah di Aceh, Pers yang telah ada. Bahkan, jika diperlukan dalam masa-masa awal, mengingat banyaknya kasus agrarian, pengadilan ini dibuat sejajar dengan pengadilan umum.

Peradilan ini bisa diisi oleh hakim-hakim adhoc yang ahli tidak semata-mata hukum tanah secara formil, tetapi memahami aspek pertanahan yang multidimensional itu. Dengan demikian, peradilan ini mestilah dibentuk dengan berdasarkan UU yang merujuk pada UUPA 1960 dan UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sebenarnya, usulan serupa ini telah banyak dilontarkan oleh berbagai kalangan ahli dan aktivis masyarakat sipil hingga lembaga negara seperti Komnas HAM melalui pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA). Namun, sepertinya di negeri ini tanah masih terlalu mahal untuk diserahkan kepada dewi keadilan yang sebenarnya. Entah berapa banyak Meruya lagi dibutuhkan.


Naskah Awal Untuk Diskusi.
Iwan Nurdin

13 Mei 2007

May 18, 2007

Menguatkan Masyarakat Desa

Menguatkan Pedesaan
Iwan Nurdin[1]

Baru di abad ini, semua penyokong eksistensi negara-bangsa begitu mempercayai bahwa kesejahteraan umat manusia ditentukan oleh seberapa bersahabat dengan pasar. Padahal, beberapa dekade lalu, para aparat negara bangsa masih berkutat pada usaha-usaha menjinakkan keliaran pasar. Ukuran bersahabat dengan pasar masa kini sederhana saja: bebaskan perkenonomian dari intervensi pemerintah!

Sejak naiknya Orde Baru, sesungguhnya pendulum kebijakan ekonomi politik kita secara perlahan tapi pasti menuju arah yang berkesesuaian dengan pasar bebas bahkan dengan kecepatan yang semakin tinggi seiring dengan reformasi ekonomi yang dibimbing IMF dan Bank Dunia sejak 98 hingga sekarang.

Rezim pasar bebas di Indonesia menampilkan beberapa sisi pokok: memberi kesejahteraan pada segelintir, meminggirkan tanpa ampun kaum banyak nan papa karena tidak mampu memenangkan kompetisi bebas dan terakhir memberi harapan giliran hidup sejahtera pada yang lain.

Jika skala peta diperbesar, nampaklah bahwa korban yang terpinggirkan tersebut adalah masyarakat pedesaan yang berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Penyebab utama mengapa petani dan buruh tani menjadi kelompok beresiko tinggi dalam globalisasi disebabkan oleh rendahnya kepemilikan luas lahan pertanian rumah tangga petani, keterbatasan modal dalam mengembangkan lahan yang ada, serta lambannya perkembangan teknologi pertanian dipedesaan yang mendorong diversifikasi kerja.

Kedaulatan ekonomi politik pedesaan sesungguhnya sangat rentan dalam menghadapi kebijakan global dewasa ini. Sebab, globalisasi ekonomi yang mengagungkan asas perlakuan sama dalam semua bidang baik pertanian, industri, perdagangan dan jasa telah memposisikan desa semakin sulit dikembangkan dari dalam dan atau melalui dirinya sendiri. Sehingga, faktor diluar desa jauh lebih dominan dalam mempengaruhi perubahan sosial di pedesaan dan acapkali perubahan ini semakin memarjinalkan desa.

Melihat kecenderungan ini, usaha untuk memperjuangkan dan mengembalikan kedaulatan ekonomi poltik desa mesti dilakukan dengan sungguh-sungguh. Sebab, sebagian besar penduduk kita mendiami pedesaan dan berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Desa yang kuat dan sejahtera adalah cermin negara yang sehat.


Badan Usaha Milik Desa.
Saat ini, di negeri kita terdapat 68.000 desa, dan 45 persen darinya dikategorikan sebagai desa tertinggal. Sementara, 75 persen penduduk yang mendiaminya merupakan buruh tani atau petani gurem dengan lahan pertanian kurang dari 0.5 ha. Inilah wajah bopeng pedesaan, karena diperkirakan setiap dua hari, rata-rata lebih dari satu penduduk desa bermigrasi ke kota sekitar untuk mencari pekerjaan diluar pertanian dan pedesaan dan sebagian besar diantaranya adalah kelompok usia muda.

Padahal, potensi desa yang secara geografis tersebar dari pantai hingga pegunungan, dari daratan hingga kepulauan begitu besar. Bayangkan, jika setiap desa dikembangkan koperasi produksi dan jasa, maka sekurang-kurangnya terdapat 120.000 badan usaha bersama milik rakyat yang dikelola oleh masyarakat pedesaan.

Secara sosiologis, badan usaha pedesaan yang lebih cepat bisa dikembangkan tentusaja adalah koperasi, sebab modal sosial masyarakat pedesaan sangat memungkinkan badan usaha jenis ini.

Koperasi ini secara khusus pada tahap awal mengelola tanah untuk pertanian dan peternakan secara integratif, yang kemudian secara perlahan mengembangkan dirinya dalam industri pupuk organik, industri pengolah dan pemasaran.

Oleh karena itu, pembangunan badan usaha bersama milik pedesaan mestilah diawali dengan pembaruan agraria. Pembaruan agraria yang dimaksud adalah penataan struktur pemilikan, penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria khususnya tanah dan air yang sebelumnya timpang menjadi lebih adil. Dengan sendirinya, sumber-sumber agraria yang sebelumnya dikuasai oleh korporasi maupun individu secara berlebihan ditata kembali sehingga memberi akses bagi petani gurem, tunakisma dan buruh tani untuk turut menikmati. Penataan ini tidak diarahkan pada membagi tanah kepada rumah tangga semata atau membagi tanah tanpa program dukungan untuk memproduktifkan tanah namun membagikan tanah untuk dijadikan badan usaha bersama milik petani dan badan usaha bersama milik desa.

Pada akhirnya, memutar arah kiblat pembangunan ke desa tentu bukan pekerjaan mudah. Sebab proses pembangunan ekonomi selama ini telah menyumbangkan sebuah relasi yang timpang antara pertanian-industri serta desa-kota telah membias pada pandangan dan kebijakan ekonomi politik dan hokum yang ada. Hanya saja, 60 persen penduduk Indonesia masih bekerja dan menetap di desa, kebijakan mestila berpihak kepada wong ndeso ini.

Jakarta, 18 Mei 2007


[1]Adalah Kordinator Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tinggal di Jakarta.

May 17, 2007

Siapa Berhak Atas HGU


Oleh: Iwan Nurdin[1]
Kerasnya perlawanan kepada Hak Guna Usaha (HGU) 95 tahun yang baru saja disahkan oleh UU Penanaman Modal terus menguat. Bahkan, kalangan organisasi petani, akademisi, dan masyarakat sipil di Indonesia merasa penting untuk segera melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (Kompas 10/4/07).

Sebenarnya, siapakah kelompok yang paling berhak atas HGU? Selama ini, para pengusaha adalah kelompok yang selalu diutamakan diberi hak ini. Tulisan ini bermaksud memberi argumentasi bahwa sesungguhnya pemerintah salah sasaran dalam memberi HGU.

Dalam UUPA, HGU diatur dalam pasal 28-30 dan aturan konversi Pasal III. Dengan demikian, HGU selain sebuah bentuk hak baru juga merupakan kelanjutan dari erpacht Agrarische Wet 1870 dan peraturan consessie.

Namun, dalam penjelasan umum dan penjelasan pasal per pasal UUPA, HGU diperuntukkan untuk koperasi bersama milik rakyat bukan korporasi. Inilah rencana UUPA dalam menghentikan bentuk ekonomi dualistik yang dihasilkan oleh penjajahan. Bentuk dualistik itu adalah adanya perkebunan modern disatu sisi bersanding dengan pertanian subsisten dan masyarakat pertanian yang feodal disisi yang lain.

Lebih lanjut, hak erpacht dan consessie yang dikonversi kedalam HGU diberi jangka waktu selama-lamanya 20 tahun untuk segera dikembalikan kepada negara. Secara khusus, Bung Hatta dalam pidato sebelum pengesahan UUPA September 1960 merasa perlu memberi catatan bahwa perkebunan yang mempunyai hak erpacht dan consessie tersebut dahulunya memperoleh tanah dengan cara merampas dari masyarakat. Sehingga, harus segera dikembalikan kepada masyarakat sekitar setelah habis masanya. Jadi, semestinya semua keruwetan hak barat atas tanah sudah selesai pada tahun 1980.
HGU Tidak Sah
Pemerintah Orba enggan mengembalikan tanah-tanah tersebut dengan mengeluarkan Keppres RI No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 3 tahun 1979 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.

Beberapa alasan dikeluarkannya aturan tersebut dikarenakan sebagian besar perkebunan tersebut telah dinasionalisasi dan dijadikan BUMN sekaligus melihat kenyataan bahwa sebagian besar direksi dan komisaris perusahaan ini adalah para pensiunan pejabat tinggi atau perwira militer yang dirasa penting diberi priveledge. Hilanglah kesempatan rakyat mendapatkan kembali tanahnya.

Dilain pihak secara bersamaan, korporasi swasta juga diberi keleluasaan lebih luas dalam mendapatkan HGU diatas tanah yang diklaim sebagai tanah negara. Inilah pengulangan praktek Domein Verklaring dalam AW 1870 yang telah memanipulasi Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam UUPA yang seharusnya dipandu oleh kewajiban diabdikan pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan mempunyai fungsi sosial. Dengan demikian, pemberian HGU selama ini sebenarnya telah mempertahankan dualisme ekonomi pertanian kita.

Modus pemberian HGU semakin melebar dengan keluarnya PP No.40/1996, di mana hak itu bisa ditetapkan di atas tanah yang bukan milik negara melalui mekanisme pelepasan hak. Era ini telah membuat pengambilalihan tanah masyarakat semakin meluas dengan memanfaatkan minimnya pengetahuan hukum pertanahan yang dimiliki oleh rakyat.

Penelusuran singkat ini, membuktikan bahwa praktek pemberian HGU di Indonesia selama ini sebenarnya “illegal” dalam pandangan masyarakat sekitar dan secara nyata berdiri di atas pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Kerapnya gejala petani dan masyarakat adat mengidentikkan perusahaan perkebunan sebagai simbol perselingkuhan hukum dan modal telah menjadikan perusahaan perkebunan menjadi objek gerakan okupasi dan reklaiming tanah. Keadaan ini sebenarnya menjelaskan kepada kita bahwa pada umumnya perusahaan perkebunan berdiri diatas perlawanan masyarakat dan setiap saat selalu berpotensi meletupkan konflik sosial.

Dengan demikian, pemerintah dan DPR mestilah bersepakat untuk segera membentuk sebuah badan independen yang bersifat adhoc untuk melakukan audit terhadap HGU dan menyelesaikan segenap persoalan didalamnya dengan mengutamakan hak rakyat atas tanah. Kemudian, sudah saatnya HGU hanya diperuntukkan bagi koperasi bersama milik rakyat sesuia UUPA 1960 sehingga terdapat sebuah desain nasional bagi petani kita untuk membentuk badan usaha bersama milik petani dan badan usaha bersama milik desa. Dengan begitu, terjadi sebuah reforma agraria yang memberi jalan bagi pembangunan tanah, modal dan teknologi untuk petani kita menuju keadilan sosial.

Jakarta, 26 April 2007
Iwan Nurdin
[1] Versi lain dari tulisan ini dimuat di Harian Sinarharapan, 13 Mei 2007 Bersama Usep Setiawan

Gelap Mata Mengundang Investasi

Gelap Mata Mengundang Investasi
Iwan Nurdin[1]

Draft UU Penanaman Modal rencananya akan disyahkan dalam rapat paripurna DPR tanggal 13 Maret ini. Melihat pasal-pasal dalam RUU ini, kita sesungguhnya tengah menyaksikan potret kebijakan negara yang gelap mata terhadap investasi.

Lepas dari titik tolak kebutuhan investasi yang sangat mendesak, sangat tidak masuk diakal bahwa negara kita – dalam draft RUU ini-- akan mengatur fasilitas penanaman modal khususnya penyediaan tanah bagi investasi jauh lebih buruk dari Agrarische Wet 1870 milik kolonial. Draft RUU ini membolehkan Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun, HGB 80 tahun, Hak Pakai 70 tahun, dan cara pemberiannya diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus. Selain bertentangan dengan UUPA 1960. RUU ini mencadangkan tanah untuk usaha perkebunan jauh lebih lama dari hukum agraria kolonial Belanda yang sesungguhnya tujuannya sama yakni menarik investasi swasta perkebunan di Indonesia. Dalam Agrarische Wet 1870, pemerintah hanya membolehkan pemakaian tanah selama 75 tahun (Rajagukguk:1995).

Dalam keterangannya, pemerintah menjelaskan bahwa negara lain seperti China memberi hak sejenis selama 100 tahun, dan di Malaysia selama 90 tahun. Namun, pemerintah tidak menjelaskan bahwa “HGU” di China hanya diberikan pada lokasi-lokasi yang jauh di pedalaman sehingga dengan sendirinya perusahaan perkebunan membangun jaringan infrastruktur. Sementara, Malaysia memberi HGU setelah para petaninya dipastikan semuanya memperoleh tanah minimal 16 Ha per kepala keluarga.

Dengan pasal ini, secara kasat mata kita dapat melihat bahwa dalam prakteknya kelak RUU ini tidak diarahkan untuk mendorong kemandirian perekonomian rakyat. Para pengambil kebijakan tidak meyakini bahwa petani kita mampu membangun perkebunan, pertanian dan perikanan atau bahkan ditingkatkan menjadi perusahaan. Justru RUU percaya bahwa para pemodal adalah kelompok paling tepat diberi tanah yang luas, sementara rakyat cukup menjadi tenaga kerja murah di dalamnya. Inilah ciri utama hukum agraria kolonial yang dihidupkan kembali atas nama investasi. Membiarkan petani gurem tanpa tanah modal dan teknologi mengalokasikan tanah untuk pengusaha yang semua rakyat tani dengan mudah bisa melakukannya: bercocok tanam.

Perilaku gelap mata lainnya adalah dalam prakteknya nanti RUU ini mengesampingkan semua praktek kotor korporasi kecuali penggelapan pajak. Dalam RUU ini, yang disebut kejahatan korporasi adalah penggelapan pajak, penggelembungan biaya pemulihan, dan bentuk penggelembungan biaya lainnya yang untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan kerugian negara (pasal 18). Nampaknya pengalaman pahit lumpur lapindo, pencemaran teluk buyat belum membuka mata nurani pengambil kebijakan.

Arah Investasi.
Daftar perilaku gelap mata ini masih dapat diperpanjang, seperti ketentuan perlakuan sama bagi perusahaan nasional dan asing, larangan nasionalisasi, dan kemudahan tenaga kerja asing. Negara-negara membangun lainnya yang menerapkan ketentuan ini sesungguhnya mempunyai posisi dan tujuan nasional yang jelas, terukur dan dikerjakan secara sungguh-sungguh. Malaysia misalnya, selain membuka luas investasi negara ini secara sungguh-sungguh mewujudkan Visi Malaysia 2020. Sementara, China dan Vietnam berkomitmen menjadi negara sosialis melalui jalan pasar. Hal yang demikian ini belum ada pada negara kita.

Pada akhirnya, RUU ini memperlihatkan bahwa pemerintah kelimpungan dalam menggenjot arus investasi asing langsung ke Indonesia. Walhasil, kita menyaksikan draft RUU yang berisi pelelangan semua sumber-sumber daya ekonomi nasional kepada investor zonder keterhubungan dengan strategi pembangunan nasional kedepan. Sehingga, para politisi senayan dan pemerintah seolah tengah memberi pengumuman luas: “you mesti datang sebab kami punya paket pelayanan paling bagus. You boleh lakukan apa saja selama beroperasi disini selama tidak menggelapkan pajak. You punya untung boleh bawa pulang, kalau You nggak betah boleh pergi atau jual sesuka hati”. Ah, sepertinya kalender kita masih di tahun 1870.
[1] Dimuat di Harian Kompas, 23 Maret 2007

Dasar Pijak Ekonomi Kerakyatan

Dasar Pijak Ekonomi Kerakyatan[1]
Oleh: Iwan Nurdin

Berapa lama lagi bangsa Indonesia dapat mencapai kemakmuran? Menurut Yayasan Indonesia Forum (YIF), bangsa ini dapat mencapai kemakmuran pada tahun 2030. Jadi, dalam 23 tahun kedepan, melalui cara yang ditawarkan YIF, pendapatan perkapita Indonesia mencapai 18.000 dolar AS, dan terdapat 30 perusahaan nasional yang masuk dalam 500 perusahaan elit dunia.

Gambaran keberhasilan inilah yang menjadi persoalan. Bukankah ukuran ekonomi seperti ini sekurang-kurangnya pernah kita capai, pun pada masa penjajahan. Di era kolonial, pembangunan di Batavia, Semarang, Medan, dan Makassar, telah berhasil memposisikan Singapura, Kuala Lumpur dan Manila terasa kampungan. Bahkan, raja gula Oei Thiong Ham asal Semarang adalah konglomerat top kelas dunia. Toh keadaan ini tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.

Angka statistik pertumbuhan ekonomi sesungguhnya tidak mencerminkan distribusi angka-angka tersebut (D. Joesoef:2006). Dengan demikian, persoalannya bukanlah pada ketidak mungkinan mencapai Visi 2030. Namun, paradigma pembangunan ekonomi yang demikian ini tidak tepat bagi bangsa merdeka yang tengah membangun.

Bahkan, para pendiri bangsa mengartikan kemerdekaan sebagai koreksi total tatacara ekonomi model begini. Sehingga, pembangunan ekonomi ditempatkan sebagai bagian dari proses perubahan sosial bangsa secara keseluruhan yang berarti mempercepat disintegrasi susunan masyarakat lama dan keharusan untuk mencapai integrasi masyarakat baru yang berkeadilan sosial dan sejahtera (Soejatmoko:1983).
Susunan masyarakat lama tersebut adalah segelintir orang dapat sepenuhnya menikmati perkembangan ekonomi, sehingga memperoleh status sosial dan politik yang tinggi bahkan perlindungan hukum. Susunan masyarakat seperti ini, digambarkan oleh Bung Hatta sebagai ciri utama masyarakat sosial kita akibat penjajahan. Dan, bukankah keadaan ini masih eksis?

Bertahannya keadaan ini, karena tiga hal pokok: paradigma pembangunan ekonomi yang sejatinya sebangun dengan pembangunan masa penjajahan, lemahnya komitmen pada pelayanan pendidikan yang terjangkau, berkualitas dan berorientasi kepada masyarakat luas bukan semata-mata kepada dunia usaha. Terakhir, dikarenakan oleh kesengajaan meniadakan partisipasi rakyat luas dalam proses pembangunan.

Ekonomi Kerakyatan
Sejatinya, jika dikisahkan kembali, kelahiran era reformasi juga didasarkan pada koreksi total paradigma pembangunan ekonomi orde baru. Jika reformasi akhirnya melahirkan neoliberalisme ekonomi lebih dikarenakan pembajakan terhadap reformasi itu sendiri telah dimulai sejak awal mula sekali. Karena itulah, reformasi ekonomi yang artinya menggeser paradigma pembangunan ekonomi pertumbuhan menjadi paradigma ekonomi kerakyatan semakin menghilang dalam pusaran kebijakan.

Ekonomi kerakyatan, bukanlah skala usaha ekonomi menengah dan kecil. Ekonomi kerakyatan adalah semangat membangun perekonomian yang didasarkan pada tatacara produksi dan orientasi produksi usaha yang dijalankan. Sebagai misal, sebuah koperasi serikat petani yang menguasai karet seluas 10.000 ha mewakili praktek ekonomi kerakyatan ketimbang perusahaan seluas 100 ha. Sementara, sebuah koperasi perkebunan sawit yang melayani ekspor CPO bisa jadi tidak berpretensi pada ekonomi kerakyatan dibandingkan dengan koperasi sejenis yang produksinya melayani koperasi nelayan yang memproduksi bio-disel sehingga bisa digunakan anggotanya untuk melaut.

Bentuk usaha besar, menengah, ataupun kecil sesungguhnya adalah pilihan yang didasarkan pada pengukuran efektifitas ekonomi, kemampuan manajerial dasar yang dapat dijalankan oleh masyarakat, sehingga roadmap transformasi usaha bersama tersebut bisa terpetakan dengan baik dan proses ini akan selalu membuka peluang partisipasi rakyat.

Tujuan ekonomi kerakyatan adalah membangun kesejahteraan yang bersanding dengan kemandirian. Proses menuju dan titik kesejahteraan ini tidaklah menjadi beban dan tawanan kita sebagai bangsa. Apalagi diiringi ketakutan bahwa kesejahteraan tersebut bisa diambil oleh bangsa lain jika tidak mengikuti kepentingan asing. Dengan begitu, ini adalah pembangunan nasionalisme.

Memulai langkah
Membangun ekonomi kerakyatan mestilah disandarkan pada realitas bahwa sebagian besar penduduk merupakan petani dan nelayan yang masih terjerat kemiskinan. Merekalah sasaran dan pusat pertumbuhan ekonomi kerakyatan tersebut.

Memulai langkah ekonomi kerakyatan tentusaja dengan menjalankan pembaruan agraria dengan membentuk koperasi usaha bersama milik petani/nelayan dan koperasi usaha bersama milik desa melalui redistribusi tanah sebagai cara pokok. Ini adalah awal memperbaiki struktur dasar pertanian dan wilayah pedesaan kita. Selanjutnya, pembaruan agraria ini adalah membentuk koperasi usaha bersama dalam hal pra-produksi, produksi, pengolahan, produk turunan dan pemasaran, dalam sebuah pendekatan integrative territorial.

Dengan demikian, adalah keliru mengartikan pembaruan agraria sebagai penyusunan sekaligus mempertahankan struktur masyarakat agraris. Pembaruan agraria adalah dasar dalam menyusun masyarakat sosial baru di Indonesia dalam relasi territorial dan sektoral yang adil.

[1] Artikel ini kemudian berubah dan dikembangkan bersama Usep Setiawan dan berubah menjadi “Kabinet Pro Ekonomi Kerakyatan”, dimuat di harian Suara Pembaruan 9 Mei 2007

May 16, 2007

Agenda Ekosok Bagi Komisioner Baru Komnas HAM

Agenda Wajib Untuk Anggota Baru Komnas HAM
Oleh: Iwan Nurdin

Bulan Mei bagi kita selalu mengenangkan pada kejadian-kejadian besar khususnya Hari Kebangkitan Nasional dan Hari Lahirnya Reformasi/Kejatuhan Orde Baru. Di bulan ini pula, kita kembali tersadar bahwa balutan luka dalam tragedi Mei 1998 yang membawa korban luas di Jakarta dan Surakarta belum juga tersembuhkan.

Di bulan ini, Komnas HAM juga tengah menyelesaikan seleksi calon anggota barunya. Selanjutnya, hasil seleksi ini akan diserahkan ke DPR untuk dipilih menjadi komisoner baru. Banyak harapan kembali digantungkan pada komisi negara yang bertugas mengawasi aspek perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia di tanah air kita ini.

Meski beberapa pihak dan kalangan menilai bahwa pamor Komnas HAM saat ini mulai meredup, namun lembaga ini masih tetap menjadi tumpuan utama dalam penegakan hak asasi manusia di negeri kita.

Menurut pribadi penulis, ada beberapa penyebab utama yang membuat pamor Komnas HAM terasa meredup, diantaranya: terombang-ambingnya penyelesaian kasus dan tragedi ham berat seperti Peristiwa 65, Kasus Talangsari Lampung, Penghilangan Paksa, Tragedi Semanggi I dan II, Korban Kerusuhan Mei 98, pembunuhan aktivis Munir dll. Meski lambatnya penanganan kasus-kasus tersebut tidak bisa ditumpukan sepenuhnya kepada kinerja Komnas HAM, namun kelambatan ini telah memberi sumbangan besar bagi keredupan pamor Komnas HAM di mata publik. Inilah pekerjaan rumah terpenting bagi calon anggota komisioner kedepan yang tengah diseleksi. Membuka ruang politik dan hukum lebih luas agar kasus diatas terbuka jalan penyelesaian yang adil bagi para korban.

Meski demikian, ada beberapa agenda strategis lain di depan yang tak kalah penting: memantau penuh perihal penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan kebudayaan (Hak Eksosok) rakyat oleh negara. Sebab, selain Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Ekosok menjadi UU No. 11/2005, pengalaman sejarah pelanggaran ham di bidang sipil politik diseluruh dunia membuktikan bahwa pelanggaran ham sipil politik selalu diawali oleh pelanggaran hak asasi manusia di bidang ekosok oleh negara. Begitu juga sebaliknya, pelanggaran sipil politik selalu mengakibatkan pelanggaran hak ekosok. Keduanya tak bisa dipisahkan.

Agenda Ekosok
Dalam memantau hak ekosok, agenda yang sangat penting dan seringkali dilupakan di negeri kita adalah pembaruan agraria yang diatur pasal 11 ayat (2) kovenan ekosok tersebut. Pembaruan Agraria yang dimaksud dalam kovenan ini adalah pembaruan sistem pertanahan dan pertanian secara sinergis untuk menjamin setiap warga negara terjamin hak hidupnya dalam bidang pangan, gizi yang baik sebagai dasar menuju keadilan sosial.

Sebenarnya, pembaruan agraria telah lama menjadi mandat Tap MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam selain juga amanat dari UUPA 1960. Namun, lemahnya perhatian pemerintah terhadap hal ini telah membuat agenda ini dilupakan pemerintah. Sikap ini telah mengakibatkan meningkatnya konflik agraria, karena politik agrarian pemerintah lebih dominan mengalokasikan sumber-sumber agraria khususnya tanah dan air kepada pemodal ketimbang rakyat.

Tidak mengherankan jika sampai dengan 2005 konflik agraria merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan masyarakat kepada Komnas HAM (Amidhan:2005). Sebagai pembanding, dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria yang bersifat struktural di Indonesia dan belum diselesaikan saat ini telah mencapai 1753 dan terjadi di 2834 desa/kelurahan dengan mempersengketakan tanah seluas 10.892.203 ha dan mengakibatkan 1.189.482 KK menjadi korban.

Bahkan, dari Januari hingga April 2007 ini saja, KPA mencatat telah terjadi 13 kali konflik agraria diseluruh tanah air. Dari sisi korban, satu orang dilaporkan tewas, 143 orang ditangkap dan 39 diantaranya masih ditahan pihak kepolisian. Sementara, dari keseluruhan konflik tersebut juga telah terjadi pengungsian sementara 556 KK atau sedikitnya 1200 jiwa yang sebagian besar mereka adalah perempuan dan anak-anak (Iwan Nurdin: 2007).

Dengan menggunakan perspektif hak asasi manusia dalam melihat data ini, tentu dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran ham yang cukup serius dalam dunia agraria kita dan sebagian besar menimpa para petani, nelayan dan masyarakat adat.

Dorongan Komnas HAM dalam menghentikan konflik agraria sebenarnya pernah dilakukan melalui usulan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria dengan menggunakan prinsip transnational justice pada tahun 2003. Namun, usulan ini telah ditolak oleh pemerintah sekarang pada bulan Oktober 2005. Setelah ditolak, tidak ada upaya lanjutan yang dilakukan oleh Komnas HAM. Padahal, kekerasan terhadap korban konflik agrarian terus berlangsung dengan kualitas dan kuantitas yang semakin tinggi seiring diberlakukannya UU Sumber Daya Air, UU Perkebunan dan terakhir UU Penanaman Modal.

Awal Langkah
Melihat masih banyaknya penduduk yang telah menjadi korban tindak pelanggaran hak asasi manusia baik yang dilakukan oleh aparatus negara, perusahaan, maupun kelompok-kelompok sipil lain. Dapatlah ditarik kesimpulan bahwa ratifikasi dan pengesahan berbagai norma hukum hak asasi manusia tidak berbanding lurus dengan penegakan ham itu sendiri. Berbagai UU ini telah menjadi macan kertas, sebab berbagai peraturan turunan untuk mengimplementasikannya tak kunjung dilahirkan pemerintah.

Disinilah titik penting peran anggota baru Komnas HAM kedepan, memastikan sinergi antara institusi kenegaraan ini dengan pemerintah dalam menegakkan ham di tanah air. Memudahkan misi ini, sangat dibutuhkan sebuah cetak biru penegakan pemenuhan ham dibidang sipil politik dan ekosok yang mesti dilakukan negara.

Dengan demikian, sangat dibutuhkan sebuah sinergi dengan pemerintah dengan berpedoman pada cetak biru ini. Dengan menggunakan cetak biru yang jelas ini setidaknya akan membawa beberapa keuntungan utama; pertama Komnas HAM terlibat aktif dalam desakan untuk memperkuat peraturan yang telah ada kedalam tataran yang lebih operasional. Kedua, memetakan berbagai peraturan yang ada dan melemahkan kedudukan ham sehingga dapat cepat direkomendasikan untuk dicabut. Ketiga, mencegah tumbuhnya sektoralisme dalam penegakan ham, dengan demikian Komnas HAM kedepan tidak kembali terjebak dalam rutinitas birokrasinya sendiri.


Jakarta, 13 Mei 2007

Iwan Nurdin

May 15, 2007

Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan SBY-JK

Dua Setengah Tahun RPPK
Oleh: Iwan Nurdin

Jika diibaratkan dengan lalu lintas, jalan raya kebijakan pertanian kita sebenarnya penuh sesak dengan kendaraan perusahaan pertanian. Sementara, kendaraan yang bermuatan kepentingan petani kecil tidak diberi badan jalan, ia merambat pelan dan terjebak kemacetan. Akhirnya, kelompok ini secara paksa dinaikkan dalam kendaraan korporasi yang berlogo “angkutan tani” tetapi mengutip biaya tinggi. Angkutan jenis ini berderet-deret dalam jalan raya “Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan” (RPPK).

Praktek RPPK
Dalam praktek, akibat dari lalulintas kebijakan yang berlaku selama ini telah banyak petani menjadi korban. Terjadilah ironi antara manisnya teks kebijakan dengan pahitnya kenyataan di lapangan yang dirasakan kaum tani.

Inilah gambaran perjalanan dua setengah tahun RPPK. Dalam rencana aksinya, pemerintah berniat menyediakan 30 juta lahan abadi pertanian pangan dan perkebunan. Alih-alih membuka jalan bagi legalisasi lahan-lahan pertanian, rencana ini hanya membuka peluang bisnis pencetakan lahan bagi para kontraktor. Rencananya, lahan-lahan yang akan dibuka tersebut akan dibagikan kepada kepada petani. Belum lagi terbagi, skema yang ditawarkan pemerintah adalah membebankan biaya pembukaan lahan, sertifikasi, produksi awal sebagai kredit yang mesti dilunasi petani.

Meski sekarang lahan-lahan pertanian terus berkurang akibat konversi sekitar 100.000 ha setiap tahun (Deptan:2007). Subsidi jumlah kebutuhan pupuk terus ditingkatkan. Sebab, kebutuhan pupuk dalam satuan luas dibuat meningkat setiap tahun. Pupuk bersubsidi ini mengalir ke perusahaan pertanian dan perusahaan pupuk, bukan ke petani.

Dalam suasana perubahan iklim dan konversi lahan yang ekstrem. Pemerintah dengan berani menaikkan target produksi beras dua juta ton. Padahal, lahan pertanian sawah kita telah tercatat paling efisien dan produktif se-Asia. Kebijakan ini hanyalah cara memperoleh legitimasi dan signifikansi dari publik untuk membuka keran impor bibit hibrida dan tender penunjukan langsung pengadaan bibit.

Secara anggun, pemerintah mengumumkan kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), namun enggan membeli langsung ke petani. Kebijakan manis ini hanyalah madu kertas, di lapangan tengkulak membebankan kenaikan transportasi dan pungli ke petani. Bahkan, impor beras yang dibuka secara bersamaan telah membuat harga di lapangan terus merosot. Lagi-lagi bukan petani yang meraup keuntungan.

Terakhir, dalam upaya menaikkan produksi ethanol dan bio-fuel, pemerintah terus meluaskan kebun sawit, tebu dan jarak, namun nikmat bagi petani hanya bisa sebatas menjadi petani plasma perusahaan perkebunan ini.

Krisis 177 Tahun
Inilah jalan yang telah ditempuh oleh 2.5 tahun RPPK. Tentu ini bukanlah kesalahan pemerintah saat ini semata. Sebab akar tunjang masalah ini telah berusia ratusan tahun dan tak pernah dibenahi.

Meski novel Max Havelaar karya Maltatuli yang bercerita keprihatinan terhadap petani Indonesia kita telah terbit lebih seabad lalu, akar kebijakan pertanian yang lahir selama ini tak pernah berganti: memposisikan petani selalu sebagai objek kebijakan, penumpang dalam tubuh korporasi pertanian/perkebunan. Akibat kebijakan ini adalah krisis tanah, modal, dan teknologi pada wilayah pertanian dan pedesaan kita.

Jika dihitung, usia krisis ini kita telah berumur 177 tahun, dimulai sejak 1830 atau era tanam paksa, liberalisasi investasi perkebunan 1870, revolusi hijau 1970-an hingga sekarang, dan terakhir menerima perdagangan bebas 1994.
Buah pahit dari krisis ini telah melahirkan kepercayaan bahwa menjadi petani adalah pilihan hidup yang bersahabat dengan kemiskinan.

Saat ini, banyak petani kita dengan mudah melepaskan tanah yang tersisa untuk urban atau bahkan dijadikan modal sebagai TKI. Seperti leluhurnya di pedesaan, kelompok ini hidup tanpa ada upaya politik yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk melindungi mereka dari aniaya. Sebab, itulah ia hilang dari gemerlap diplomasi luar negeri pemerintah. Bukankah diplomat, kelas menengah dan politisi lebih tertarik pada keseksian nuklir Iran.

Akhirnya, kita tidak dapat menyanggah bahwa lebih dari 60 persen penduduk kita adalah petani, sebagian besar mereka berteduh di 68.000 desa yang tersebar di seluruh negeri. Mereka telah hidup dalam 177 tahun krisis ekonomi tanpa ada yang melindungi dalam hiruk pikuk zaman. Adakah kita peduli?

Jakarta, 30 April 2007


Iwan Nurdin

Dibalik Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)




Oleh: Iwan Nurdin[1]

Pendahuluan
Secara singkat, kondisi agraria nasional kita yang sangat memprihatinkan dewasa ini disebabkan oleh kesalahan pembangunan ekonomi kapitalistik yang selama ini dijalankan.

Meski pada masa awal pembangunan era Soekarno, pembaruan agraria sempat menjadi agenda bangsa, namun telah kita ketahui bersama bahwa program pembaruan agraria akhirnya dipeti-eskan sebe­lum berhasil dijalankan sepenuhnya pada saat orde baru berkuasa.

Kebi­jakan pembangunan ekonomi Orba sedikitnya telah menambah persoalan dalam bidang pertanahan yaitu: pertama, di sektor pertanian, kebijakan pertanahan tidak didasarkan atas penataan aset produksi tetapi langsung diarahkan kepada upaya peningkatan produktivitas melalui revolusi hijau. Sehingga meningkatkan jumlah petani tuna kisma dan mendorong percepatan guremisasi petani. Kedua, pada saat banyak petani kehilangan akses pada tanah, berlangsung pula kebijakan pengalokasian tanah dalam skala besar kepada industri perkebunan dan industri kehutanan. Ketiga, Pembangunan industri dan perluasan kota juga telah menimbulkan konversi besar-besaran lahan pertanian, apalagi belum ditaatinya tata ruang dan penataan tanah sebagai acuan pemanfaatan dan peng­gunaan tanah. Kelima, tumbuhnya kecenderungan meletakkan tanah dalam kerangka perburuan rente sehingga menjadi ajang permainan spekulasi. Kelima hal ini telah mengakibatkan setidaknya dua hal utama: pertama, kesemua proses diatas telah mendorong semakin tingginya kuantitas dan kualitas sengketa serta konflik pertanahan di tanah air. Kedua, kesemua hal di atas telah mendorong semakin timpangnya pemilikan, penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria khususnya tanah.

Sudah barang tentu, dengan berbagai komplikasi tambahan diatas semakin mengukuhkan argumentasi bahwa pembaruan agraria adalah sebuah agenda yang sangat mendesak untuk dijalankan bagi bangsa ini. Juga, ini merupakan tantangan, sebab mewujudkan pembaruan agraria pada masa kini tidak lebih mudah dibanding era sebelumnya.

Rezim Pasar Dalam Pembaruan Agraria.
Pasca ditetapkannya Tap. MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, diskursus dan aksi politik yang berelasi dengan isu pembaruan agraria semakin mendapat tempat dalam panggung politik Indonesia. Tapi, kecenderungan ini bukanlah gejala Indonesia semata. Karena, sebenarnya hampir di semua tempat di berbagai belahan dunia yang tengah mengalami proses integrasi kedalam rezim pasar bebas yang intensif, keadaan yang demikian ini selalu terjadi. Jadi, bisa dikatakan, ini adalah sebuah gejala internasional.

Jika merunut lebih kebelakang, sejak tahun 1975, Bank Dunia sebenarnya telah mengeluarkan sebuah dokumen penting yang berjudul Land Reform Policy Paper (LRPP). Dalam dokumen tersebut, Bank Dunia mengakui bahwa program Land Reform adalah sebuah jalan yang penting dalam menggerakkan perekenomian nasional sebuah negara dan dapat mendorong lebih cepat pertumbuhan ekonomi pedesaan.

Namun, mengacu pada situasi pasar politik dewasa itu, dokumen ini tersebut tidak dijalankan. Sebab, pada masa itu lembaga-lembaga semacam WB masih menaruh kepercayaan yang tinggi kepada keberhasilan revolusi hijau di bidang pertanian yang dianggap jauh lebih mudah dan aman secara politik. Dilain sisi, jurus penyesuaian ekonomi domestik kedalam sistem ekonomi pasar internasional (Structural Adjusment Programs?SAPs)dianggap lebih jitu dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dalam perkembangannya kemudian, kedua program tersebut justru secara nyata terbukti semakin meningkatkan ketergantungan petani kepada para industriawan benih, pupuk dan pestisida. Sementara lahan-lahan pertanian mereka semakin kurus akibat model pertanian semacam ini. Sementar itu, SAPs bisa dengan mudah dibuktikan kegagalannya dibanyak tempat diberbagai belahan dunia.

Bercermin pada dua kegagalan ini, isu tentang pembaruan agraria kembali mendapat tempat yang penting di era 90-an. Bahkan, pembaruan agraria saat ini, selalu tidak dipisahkan dengan isu-isu pengentasan kemiskinan dunia.

Sayangnya, pembaruan agraria yang dimaksud oleh lembaga seperti WB, IMF, WTO dan bahkan FAO serta berbagai lembaga pengabdi pasar lainnya adalah pembaruan agraria yang sama sekali berbeda dengan pembaruan agraria dari yang diperjuangkan oleh banyak kalangan gerakan sosial dan serikat petani.

Pembaruan agraria yang disebarluaskan oleh lembaga-lembaga ini adalah sebuah pembaruan agraria yang singkatnya mendorong secara luas sertifikasi tanah, dan distribusi tanah kepada para penggarap dengan cara dikredit/dihutangkan kepada para petani penggarap.

Basis argumentasinya utamanya adalah, dengan sertifikasi tanah yang meluas maka para petani akan lebih mudah berhubungan dengan lembaga keuangan karena sertifikat tanah adalah surat berharga yang dengan mudah diagunkan. Padahal, sistem ekonomi pasar telah menempatkan pertanian pada posisi yang kerdil dan terkucil.

Sehingga, cara ini dalam jangka menengah akan mengakibatkan petani terlempar secara legal dari tanahnya. Pilihan ini sebenarnya sebuah fase transisi untuk mencapai jalan yang lempang bagi kemudahan transaksi tanah, dan upaya menjadikan tanah dan air sebagai komoditas jual beli (saat ini, isu ini tengah di bahas di WTO). Di sisi lain, cara ini akan memudahkan konsentrasi kepemilikan tanah kepada pemodal besar.
Sistem kredit/hutang kepada para petani yang mendapatkan tanah berdasarkan pada pandangan bahwa tanah hanya akan terdistribusi kepada petani yang benar-benar bisa memproduktifkan tanah. Padahal, proses ini telah mendorong petani penggarap mendapatkan tanah-tanah dengan harga yang lebih mahal dan kurang subur. Bukankah akan selalu lebih banyak permintaan (demand) dibandingkan supply tanah. Juga, tanah-tanah yang subur kecil kemungkinan dilepaskan oleh para tuan tanah kepada para petani. Model ini juga juga membahayakan perekonomian nasional secara luas dan jangka panjang, sebab seringkali biaya pembelian tanah tersebut didapat oleh pemerintah melalui skema hutang. Dan, hutang tersebut diperoleh dengan persyaratan membuka pasar pertanian di dalam negeri.

Pembaruan agraria versi pasar juga didasarkan kesimpulan bahwa pembagian tanah kepada rumah tangga petani akan lebih menguntungkan ketimbang kepada serikat tani atau koperasi produksi serikat tani. Pandangan ini didasarkan bahwa pertanian besar yang selama ini dikelola negara dan komune produksi di negara-negara sosialis telah mengalami kegagalan dalam mencapai efisiensi produksi.

Pandangan inilah yang mengkhawatirkan dan sekaligus mendapat perlawanan banyak gerakan sosial dunia. Sebab, pembaruan agraria yang dijalankan adalah sebuah upaya sistematis dalam mengintegrasikan masyarakat pertanian dan pedesaan kedalam rezim pasar bebas dalam hal produksi dan keuangan.

Proses pembaruan agraria yang dibimbing pasar ini sama sekali tidak ditujukan sebagai sebuah cara dalam mendorong transformasi sosial melalui lapangan agraria melalui pembentukan modal di pedesaan. Sehingga, pembaruan agraria model pasar sama sekali tidak menyentuh proses perencanaan pembangunan ekonomi desa kota yang saling menguatkan, menumbuhkan industri nasional yang kuat.

Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)
Lalu, bagaimana dengan pembaruan agraria di Indonesia ditengah situasi nasional dan internasonal yang demikian ini?

Berikut rangkuman pandangan yang membingkai advokasi PPAN:
Sebagai kebijakan yang dilatari keinginan untuk mendistribusikan lahan hutan produksi yang bisa dikonversi sejumlah 8.15 juta hektar, tentu beragam tanggapan diberikan oleh kalangan termasuk juga kelompok yang memperjuangkan Pembaruan Agraria.

Ada dua tanggapan utama, pertama kalangan yang menganggap bahwa Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) ini mesti ditentang. Sementara kelompok kedua kalangan yang menganggap bahwa program ini mesti dikawal secara kritis mulai dari sisi substansi hingga ke sisi implementasi.

Kelompok pertama yang menentang misalnya, memberikan ulasan setidaknya ada tujuh alasan mengapa PPAN mesti ditolak. Pertama, PPAN bertumpu pada revitalisasi pertanian sehingga lebih mengacu pada upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian yang sudah ada khususnya perkebunan. Upaya jenis ini jelas-jelas sangat dititik beratkan pada investasi bukan membentuk modal pedesaan yang kuat. Kedua, Pembaruan Agraria hanya dijadikan urusan teknis semata sehingga sejalan dengan proyek administrasi pertanahan dan mendorong integrasi usaha petani kecil kedalam pertanian/perkebunan skala besar. Ketiga, PPAN hanya ditujukan pada tanah-tanah Negara yang hanya mungkin dibagikan tanpa ada keinginan kuat merombak struktur agraria yang ada.

Keempat, PPAN tidak mengakomodasi sepenuhnya keinginan menyelesaikan konflik agraria. Kelima, PPAN bertumpu pada institusi yang lemah yakni BPN. Keenam, PPAN kemungkinan dibawah bimbingan program-program Bank Dunia yang mendorong liberalisasi pertanahan. Dan terakhir, PPAN kemungkinan besar hanya sebuah dagangan politik jangka pendek SBY-JK (Dianto Bahcriadi:2006).

Sementara kelompok kedua, berangkat dari pandangan bahwa PPAN bukanlah reforma agraria sejati seperti yang diinginkan selama ini. Namun, sebagai sebuah batu loncatan dalam mendorong pembaruan agraria sejati yang diinginkan. Dengan demikian, PPAN dianggap sebagai peluang politik yang ada dalam memperkuat basis-basis kelompok masyarakat dalam memperjuangkan Pembaruan Agraria.

Menurut Gunawan Wiradi, pembaruan agraria yang sukses setidaknya memenuhi beberapa prasyarat utama yang harus dipenuhi. Diantaranya, Adanya keinginan politik yang kuat dari pemerintah, organisasi tani yang kuat, adanya elit politik yang terpisah kepentingannya dengan elit bisnis serta dukungan dari pihak tentara dan kepolisian, serta pemahaman minimal pemahaman dasar dalam hal pembaruan agraria. Dengan mengacu pada prasyarat inilah sesungguhnya PPAN, dalam implementasinya kelak, mestilah diperjuangkan sebagai peluang politik untuk memperkuat prasyarat. Pertama, dengan dijadikannya pembaruan agraria sebagai sebuah program nasional dari pemerintah yang berkuasa, pembaruan agraria akan lebih dapat menarik masyarakat banyak sesuai dengan beragam kepentingan politiknya untuk terlibat dan peduli dalam mengawasi kebaikan, keburukan dan kesalahan teknis implementasi dari program ini. Melalui proses dan keterlibatan masyarakat banyak semacam ini, ruang-ruang public yang bebas (free public sphare) akan termanfaatkan secara lebih luas dalam menyebarluaskan gagasan dan pengetahuan tentang pembaruan agraria sejati. Kedua, PPAN haruslah diperjuangkan sebagai program nasional yang akan melibatkan pejabat birokrasi dari pusat hingga daerah dengan kewajiban melibatkan organisasi rakyat dan masyarakat sipil dari nasional hingga wilayah. Pola kerja ini, akan membuka luas lahirnya serikat-serikat atau kelompok tani baru di semua wilayah nasional. Dengan demikian, terjadi sebuah lompatan kebutuhan masyarakat tani untuk mengorganisasikan diri. Proses ini juga akan membuka keragaman baru dari serikat-serikat tani yang selama ini masih didominasi oleh petani yang terlibat konflik semata.

Ketiga, meski belum terlalu kuat dijelaskan, PPAN mestilah dipandang oleh serikat tani sebagai salah satu jalan bagi penyelesaian konflik agraria. Dalam kaitan ini, upaya-upaya legalisasi tanah-tanah rakyat yang selama terkait dalam kawasan konflik agraria dan telah diduduki oleh masyarakat mempunyai peluang lebih luas untuk segera diselesaikan. Peluang ini dapat dilakukan dengan melakukan pendataan kawasan-kawasan yang selama ini telah dikuasai dan dikelola oleh masyarakat tani. Pendataan ini semestinya dilakukan dalam aspek-aspek antara lain: pemetaan wilayah klaim atau wilayah kelola masyarakat, pemetaan rencana tata kuasa, tata guna, tata produksi serta tata wilayah pada kawasan masyarakat tersebut. Selanjutnya, data harus dilengkapi dengan sejarah pendudukan tanah dan data dari kalangan masyarakat yang berhak menjadi subjek pembaruan agraria.

Keempat, PPAN adalah salah satu wahana legal yang ada dan tersedia (bukan semua) sebagai salah satu alat transformasi serikat tani yang selama ini telah ada. Transformasi yang dimaksud berdasarkan kenyataan: selama ini organisasi tani keberadaannya didasarkan pada ikatan solidaritas sesama korban konflik agraria. Padahal, upaya penyelesaian konflik yang selama ini dilakukan pemerintah adalah membagi tanah-tanah yang diklaim oleh masyarakat per-individu. Melihat kenyataan selama ini bahwa tanah-tanah tersebut juga secara satuan ekonomi tidak membuat petani dapat bertransformasi secara pendapatan dan teknologi apalagi ditengah situasi makro ekonomi nasional yang meminggirkan pertanian dan petani. Sehingga, dalam kurun waktu tertentu, tanah-tanah tersebut dijual dan terkonsentrasi kembali pada golongan ekonomi kuat.

Dengan terbukanya berbagai skema implementasi dalam PPAN, kalangan gerakan pembaruan agraria dapat memperjuangkan agar tanah-tanah yang diklaim oleh organisasi rakyat jatuh dalam wilayah pengelolaan dan penguasaan bersama. Penguasaan secara kolektif ini juga harus diupayakan pada usaha penataan kembali struktur corak produksi yang berlaku selama ini menuju struktur kolektif usaha pertanian bersama (koperasi). Dengan demikian, upaya-upaya penetrasi teknologi, manajemen, dan modal akan dapat dilakukan oleh masyarakat secara bersama. Pelatihan dan pengawalan intensif harus dilakukan oleh kalangan gerakan sehingga menjadi alternative penataan produksi dari yang ditawarkan regime.

Kelima, program ini akan membuka peluang kesadaran politik baru di masyarakat. Sebab, selama ini idiom-idiom pembaruan agraria yang seringkali dilekatkan dengan komunisme mendapat alat peredam yang kuat dari tubuh lembaga negara sendiri. Dengan demikian, pengawalan terhadap PPAN dapat dipandang sebagai sebuah proses advokasi dalam mendorong alat negara seperti tentara dan kepolisian “mendukung” atau minimalnya tidak anti terhadap pembaruan agraria.

Keenam, PPAN haruslah dipandang sebagai peluang politik dan peluang ini dapat dimanfaatkan oleh kalangan gerakan tani dengan cara mengawal pelaksanaan PPAN setidaknya dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai-berikut: Melakukan pendataan secara akurat wilayah penguasaan dan pengelolaan; wilayah klaim masyarakat; rencana-rencara tata kuasa, tata kelola, dan tata produksi; rencana tata wilayah sekaligus data subjek secara jelas.

Menyusun dan mempraktekkan model pembaruan agraria yang disepakati oleh organisasi rakyat dengan dipandu dengan prinsip-prinsip kolektif dan berkeadilan. Melakukan dialog intensif, hingga perjuangan melalui aksi-aksi terbuka dalam wadah implementasi PPAN kepada pemerintah untuk dapat mengimplementasikan model pembaruan agraria versi rakyat pada wilayah-wilayah yang selama ini telah diduduki sekaligus perlindungan legalnya. Melakukan promosi keberhasilan pembaruan agraria versi rakyat agar diadopsi secara nasional dalam program PPAN.

Membentuk jaringan kerja untuk melakukan monitoring terhadap implementasi PPAN pada level wilayah dan melaporkan hasil-hasil monitoring pada pusat-pusat kordinasi jaringan kerja di wilayah dan nasional. Monitoring ini mestilah mencatat secara jernih keberhasilan, kegagalan teknis implementatif PPAN. Sehingga membuka peluang politik lebih luas bagi dijalankannya PA sejati dan membuka peluang dalam memperjuangkan objek-objek pembaruan agraria yang lain dari yang ditawarkan semata-mata oleh pemerintah selama ini.

Dengan corak pandang yang demikian, pengawalan dan keterlibatan organisasi gerakan Pembaruan Agraria bukanlah sebuah keterlibatan dan pengawalan tanpa kekritisan dari sisi substansi hingga implementasi. Juga, cara pandangan ini telah menempatkan PPAN sebagai salah satu peluang yang ada dalam mendorong Pembaruan Agraria sejati. Ketujuh, PPAN sesungguhnya secara praktek telah menggiring kelompok pembaruan dan kontra pembaruan bergerak dalam sebuah ruang persinggungan dan pertentangan yang sama yakni PPAN. Sehingga, identifikasi persoalan (substansi filososofis, praktek implementasi, disharmoni produk hukum) mudah dilakukan, sekaligus juga kemudahan bagi konsolidasi dan kerja bersama antar serikat dan unsur gerakan reforma agraria dalam memberikan perlawanan.

PPAN Menjelang Lauching
Pada pertemuan dengan elemen-elemen Gerakan Pembaruan Agraria di kantor BPN jalan Sisingamangaraja (09/5 2007), Kepala BPN Joyowinoto mengungkapkan bahwa:

Pemerintah sedang menggodok PP Reforma Agraria dan sedang dalam tahap-tahap akhir. Setelah disahkan presiden, Reforma Agraria akan dilaunching ke publik di Blitar tanggal 20 Mei 2007 atau 1 Juni. Namun, hingga sekarang launching tersebut belum ada kelanjutan kabarnya.

Menurut keterangan Kepala BPN, bahwa penerima manfaat dari Reforma Agraria ini adalah:
WNI yang sudah dewasa baik laki-laki maupun peremuan dengan syarat-syarat: perorangan, usia paling kurang 18 tahun, sudah kawin, miskin, tidak memiliki tanah, memiliki tanah kurang dari 0.5 Ha.

Sementara, Objek Reforma Agraria ini adalah:

Tanah bekas HGU, HGB dan HP
Tanah yang terkena ketentuan konversi
Tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya
Tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan
Tanah objek Landreform
Tanah bekas objek landreform
Tanah timbul
Tanah bekas kawasan pertambangan
Tanah yang dihibahkan oleh pemerintah
Tanah tukar-menukar dari dan oleh pemerintah
Tanah yang dibeli oleh pemerintah
Tanah pelepasan Kawasan Hutan Produksi Konversi atau tanah bekas kawasan hutan yang pernah dilepaskan yang jumlahnya 8.15 Juta ha.

Sementara, dalam melaksanakan rencana ini, akan dibentuk lembaga Dewan Reforma Agraria Nasional (Ketua Presiden dan Ketua Pelaksana Ka. BPN RI), di tingkat provinsi akan dibentuk DRAP serta di tingkat kabupaten/kota DRAK.

Untuk pembiayaan, akan dibentuk Badan Pengelolaan dan Pembiayaan Reforma Agraria (BPP-RA) di nasional dan di wilayah. Badan ini akan bertanggung jawab kepada Ka.BPN. Pembiayaan dari RA ini akan mengambil APBN dan APBD.

Dalam tatacara pelaksanaannya, identifikasi objek akan dilakukan oleh BPN Wilayah atau BPN Provinsi yang dilaporkan kepada Ka.BPN. Selanjutnya, hasil identifikasi ini akan divalidasi.

Dalam inventarisasi penerima manfaat (subjek reform) akan diterbitkan oleh pemerintah daerah dimulai dari tingkat terendah (desa/kelurahan), atau inventarisasi langsung yang dilakukan BPN RI atau dengan BPP-RA. Para penerima manfaat yang diusulkan ini akan diseleksi sesuai dengan syarat penerima manfaat yang telah disebutkan.

Disinilah kita mulai melihat bahwa harapan-harapan dalam advokasi PPAN mulai menjauh. Sebab, rencana kita sebagai insan gerakan tidak terwadahi. Bukankah subjek individu ditengah ekonomi makro dan mikro yang meminggirkan pertanian akan mengakibatkan tanah-tanah tersebut tidak akan dapat secara maksimal mengangkat kesejahteraan rakyat. Bukankah dengan subjek individu, transformasi organisasi petani (tanah, modal dan teknologi) yang kita harapkan melalui PPAN tidak terwadahi.

Sementara, objek-objek yang ditawarkan oleh PPAN memang mewadahi keinginan selama ini. Namun, mekanisme identifikasi objek yang ditentukan oleh pemerintah tanpa melibatkan serikat tani telah mengakibatkan semua objek tersebut sebenarnya sangat sulit diperoleh rakyat. Seharusnya, masyarakat dibuka kesempatan melakukan klaim objek reforma agraria dalam wadah PPAN.



[1] Adalah Koordinator advokasi kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)