January 15, 2008

Negeri yang Memaklumi Bencana

Oleh: Iwan Nurdin

Hujan, bentuk morfologi bumi, alur sungai dan laut adalah karunia dan takdir Tuhan. Namun, takdir ini tidaklah serta merta membuat kita harus berdekatan dengan bencana alam. Sebab, banyak dari bencana alam ini sebenarnya adalah pilihan bukan takdir. Tidak ada satupun dalil yang bisa mensyahkan bahwa bencana adalah cobaan dari Tuhan. Perilaku kolektif kita sebagai bangsa yang membuat kita lebih memilih bencana alam sebagai rutinitas. Akhirnya, kita bisa memberi embel-embel bencana dengan berbagai kategori-kategori seperti banjir lima tahunan, langganan banjir, musim kebakaran hutan dll.

Bukankah hujan deras tidak membuat manusia mati, karena air tersebut akan ditangkap oleh tanah, meresap dan dialirkan sungai. Pemerintahan yang memberikan izin pembangunan kota secara ngawur, pembalakan hutan, di daerah-daerah tangkapan air adalah penyebab kematian itu. Gempa tidak membunuh manusia, bangunan yang tidak tahan gempalah yang membunuh manusia. Panas musim kemarau tidak membakar hutan, pemerintah yang membiarkan landclearing hutan dengan cara dibakar adalah penyebabnya. Jadi, Tuhan melalui alam ciptaannya tidak pernah memberikan cobaan dan membunuh para manusia. Dengan alur pemikiran demikian, sesungguhnya dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Negara kira telah dengan sengaja melakukan penghancuran kehidupan warganya secara sistematis.

Pemerintah yang demikian inilah yang sesungguhnya setiap hari menaungi seluruh warganya. Ketika bencana datang, yang disiapkan oleh pemerintah prosesi pejabat dan pimpinan partai politik membagikan makanan. Liputan media adalah tujuannya. Kemudian, upacara “pameran kebaikan” ini memberi jalan bagi rencana pembangunan berbagai proyek bencana lainnya seperti penggusuran dan pemindahan paksa penduduk justru dengan tajuk mencegah terulangnya bencana. Tidak ada opsi menghukum para penyebab banjir. Sebab, ini adalah takdir Tuhan. Jadi harap maklum dengan bencana.

Demikianlah pemerintah mengajarkan kepada warganya dalam melihat bencana. Ia dipandang sebagai sebuah kuasa diluar manusia yang didesain oleh tangan tak terlihat dan maha kuat. Padahal, jika hendak mengulitinya sedikit saja, penyebab semua bencana adalah kebijakan-kebijakan pemerintah yang didesain oleh tangan-tangan tak nampak dari golongan ekonomi kuat. Proses ini telah membuat desa-kota, pertanian dan industri kita bertumbuh sekehendak hati aliran modal.



Di tengah banyak pihak dididik menjadi maklum. Publik yang sadar harus tetap berkeras hati untuk tidak maklum. Pasalnya, pemerintah kita masih berani melakukan kebohongan publik dengan mengkambing hitamkan Tuhan dalam setiap bencana. Juga dikarenakan meski secara formal kita telah mengadopsi demokrasi, dengan melihat peristiwa-peristiwa ini, pemerintah yang ada sekarang tetaplah seri lanjutan dari elit birokrasi dan politik warisan negara otoriter birokratik rente Orba.

Warisan yang paling dominan pada birokrasi kita yang telah menyebabkan bencana adalah pandangannya yang sangat keliru dalam melihat sumber-sumber agraria (bumi, air, udara diatasnya). Selama ini, sumber agraria seperti tanah, hutan, pesisir dan kelautan sebagai tempat untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri dan kelompok politik.

Perilaku tersebut telah menyebabkan tata pengelolaan sumber-sumber agraria kita dikotak-kotakkan sebagai sektor yang terpisah dan sulit berkoordinasi kerja. Perburuan rente dalam sektor-sektor ini telah melahirkan ego sektoral yang dominan.

No comments: