VIVAnews - Peringatan Hari Agraria Nasional kali ini berbeda. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merayakannya di Istana Bogor dengan memberikan sertifikat tanah hasil land reform atau redistribusi tanah kepada 5.141 kepala keluarga dari empat desa di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Tanah yang dibagi pada petani Cilacap ini tak banyak, hanya 214 hektare sehingga setiap kepala keluarga mendapat kurang dari 400 meter persegi. Namun, pemberian tanah kepada para petani Cilacap ini menjadi simbol untuk redistibusi tanah seluas 142.159 hektare di 389 desa yang tersebar di 21 Provinsi.
SBY mengatakan tujuan besar negara di bidang pertanahan adalah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. "Mari kita camkan betul visi besar ini. Agar rakyat jadi tuan tanah, tuan yang memiliki bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Saya terharu," kata SBY.
SBY lalu sempat terdiam beberapa saat seperti menahan tangis. Kemudian dengan suara parau, SBY meminta Pemerintah agar menerapkan konstitusi yang diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar '45.
"Bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Kita implementasikan niat luhur pendiri republik, rakyat harus dapat akses lebih luas agar kesejahtraan mereka semakin meningkat di negeri tercinta," ucap SBY.
Janji Kampanye
Iwan Nurdin, Deputi Kajian dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria, yang hadir dalam acara puncak peringatan Hari Agraria itu menyatakan, land reform merupakan bagian dari janji kampanye SBY sejak 2004. Bahkan pada 31 Januari 2007, SBY menegaskan janji melakukan redistribusi tanah untuk kesejahteraan petani. Pernyataan Presiden itu, kata Nurdin, disambut Badan Pertanahan Nasional dengan mengeluarkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN).
"Setidaknya, tiga kali Presiden berkomitmen mau mendistribusikan tanah," kata Iwan kepada VIVAnews.
Sebelum pernyataan di Bogor, Presiden pernah menjanjikan hal itu di Prambanan pada awal 2008 dan di Marunda beberapa waktu lalu. Dan akhirnya muncul Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Iwan melihat, agenda pemberian sertifikat pada ribuan kepala keluarga hari ini belum sepenuhnya land reform seperti yang diinginkan petani selama ini. Secara regulasi, belum ada peraturan organik yang memaksa aparat kabupaten untuk menjalankan land reform.
Memang ada Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yang menjadi dasar land reform di era Presiden Soekarno. Namun PP yang masih berlaku itu sudah tak bisa diaplikasikan karena lembaga yang menjalankan seperti Panitia Land Reform sudah tak ada.
Namun, KPA mengapresiasi langkah Presiden hari ini. "Presiden memberikan sinyal mendukung land reform, tapi belum sampai tahap operasional," katanya. Mengapresiasi karena program land reform ini bergulir lagi setelah 45 tahun terhenti.
Namun, Serikat Petani Indonesia (SPI), sebuah organisasi petani yang konsisten menyuarakan perlunya land reform, menilai acara hari ini hanya bagian dari pencitraan. Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional, Achmad Ya'kub, menyatakan, penyerahan sertifikat hanya ujung dari kerangka land reform, belum bisa dikatakan land reform seutuhnya.
"Banyak hal lagi seperti seperti kepastian legal bagi petani atas hak atas tanah, penyelesaian konflik pertanahan, dukungan insentif kepada petani pangan berupa bantuan hibah ini supaya tidak tergadai, belum jelas dari acara hari ini," kata Ya'kub yang mengaku diundang menghadiri penyerahan sertifikat di Istana Bogor namun memilih berada di luar saja, berdemonstrasi bersama ribuan petani.
Menurut Ya'kub, land reform yang dicanangkan SBY juga tidak akan bisa terlaksana tanpa penguatan peran Badan Pertanahan Nasional menjadi sekelas Kementerian Koordinator. "Dengan begitu, dia bisa membawahi perkebunan, pertanian dan kehutanan."
"Ini saja, BPN katanya reformasi agraria, tapi hak guna usaha perkebunan terus dikeluarkan, dari yang yang hanya 3 juta hektare pada 1990-an, sekarang sudah naik menjadi 7 hektare," kata Ya'kub.
Pada saat yang sama, dia melanjutkan, terjadi konversi besar-besaran lahan pertanian menjadi nonpertanian.
Seharusnya, jika Presiden memang serius memimpin land reform ini, akan ada belasan juta rakyat miskin pedesaan yang dientaskan karena terdapat 7,3 juta hektare lahan terlantar milik negara. Jika satu kepala keluarga rakyat miskin diberi tanah satu hektare, maka akan ada belasan juta orang yang selesai problem pengangguran, kemiskinan dan kelaparannya. "Selain itu, juga ada belasan juta suara mendukungnya dalam Pemilu," kata Ya'kub.
Dan strategi ini akan semakin sukses dengan pengaturan tata guna tanah secara ketat, dipisahkan mana lahan pertanian, perumahan dan komersial. "Kemudian seperti di Jepang, tanah hasil land reform diatur hanya boleh diwariskan pada satu orang supaya tidak ada pemecahan lahan," kata Ya'kub.
Kepala BPN Joyo Winoto menyatakan, pemberian sertifikat pada 5.141 petani di Cilacap ini baru sukses kecil dari Reforma Agraria secara damai. Tanah yang dibagi ini adalah tanah sisa dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1961 tentang Redistribusi Tanah seluas 1,6 juta hektare.
Joyo menargetkan, supaya indeks gini rasio penguasaan tanah mencapai 0,37, diperlukan redistribusi lahan tambahan seluas 6 juta hektare. Dan target ini, kata Joyo, semoga bisa dicapai dengan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar berlaku beserta dengan terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria.
Syarat mereka yang bisa menerima tanah itu adalah kategori miskin, tidak memiliki tanah, punya tanah tapi luasnya kecil, dan berbagai syarat lain. Semua proses itu mirip dengan pelaksanaan PP 24 Tahun 1961 tentang Redistribusi Tanah.
Menurut Joyo, teknik penerapan ini mencontoh Venezuela yang setelah delapan tahun menerapkan prinsip yang mirip dengan pokok-pokok RPP Reforma Agraria ini. Mereka berhasil membagikan tanah seluas 3,7 hektare.
Dalam dua tiga tahun ke depan, Joyo menjelaskan, pemerintah menargetkan 600-700 ribu hektare bisa dibagikan dari tanah sisa PP Tahun 1961. Sementara itu, dengan penerapan RPP Reforma Agraria nantinya diharapkan luas tanah yang dibagikan berkisar 2,8-3,5 juta hektare. Pemerintah menargetkan pembagian tanah itu bisa selesai pada 2025.
Namun, petani miskin di Indonesia jangan senang dulu. Seperti disampaikan Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaruan Agraria, PP Nomor 11 Tahun 2010 belum memiliki perangkat di bawah yang bisa menjalankan dengan kuat. "Belum ada landasan pemaksa pemerintah daerah, atau bahkan instansi-instansi terkait untuk menjalankannya."
• VIVAnews
1 comment:
semoga land reform sejati terlaksana..sehingga rakyat tak sekedar terbuai mimpi
Post a Comment