June 17, 2010

Siaran Pers Serikat Petani Kelapa Sawit

Optimalisasi Hasil Produksi Perkebunan kelapa Sawit untuk meminimalisir konflik pembukaan kebun baru
 
Bogor, 07 Juni 2010. Antara optimalisasi kebun dan konflik perkebunan adalah dua buah sisi mata uang yang tidak terpisahkan jika kita memperhatikan kondisi di perkebunan saat ini. Sekitar 9, 4 juta ha luas perkebunan kelapa sawit telah mewariskan begitu banyak konflik dalam perkebunan begitupun hal nya tingkat produksi Tandan Buah Sawit yang sangat rendah. Dalam catatan SPKS, produksi TBS perkebunan milik perusahaan hanya 17 Ton/ Ha/ Tahun sementara petani binaan perusahaan hanya 14 Ton/ha/ Tahun. Berbeda hal perkebunan sawit Milik Malaysia yang tingkat produksi TBS nya 23 Ton/ ha / Tahun dan luasannya setengah dari luasan perkebunan Indonesia, namun tingkat produksi TBS hampir sama.
Konflik menjadi perhatian utama di dalam perkebunan kelapa sawit, karena terkait dengan kehilangan sumber kehidupan masyarakat serta terdapat kekerasan di dalamnya dan ketidakadilan bagi petani kelapa sawit yang bermitra dengan perkebunan besar. Hal ini menjadi perhatian khusus, karena terdapat proyek revitalisasi perkebunan yang di dalamnya terdapat perluasan perkebunan kelapa sawit dan peremajaan kebun tua. Proyek ini berlangsung sejak tahun 2006 hingga saat ini dan sudah terdapat banyak persoalan krusial terkait konflik dengan petani sawit dan masyarakat pemilik lahan yang menurut kami penting bagi pemerintah untuk meninjau kembali.
Terdapat beberapa catatan terutama konflik perkebunan antara perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit.
Pertama; Peruntukan tanah untuk perkebunan besar. Benturan kepentingan dalam penguasaan tanah untuk pengusahaan tanah untuk perkebunan. Masyarakat merasa memiliki hak atas tanah yang ditentukan kepemilikannya secara turun temurun. Namun negara memiliki kekuasaan lebih untuk menyerahkan tanah milik masyarakat untuk pengusaha perkebunan dalam bentuk pemberian ijin perkebunan.
Kedua adalah perusahaan perkebunan setengah hati membangun kebun plasma. Ini dapat di lihat dari penyerahan kebun plasma kepada petani yang tidak memenuhi standar perkebunan. Penyelewengan kredit oleh perusahaan dapat terlihat dalam proses ini, dengan melihat kondisi kebun yang di serahkan inti tidak optimal.
Ketiga; konflik atas hasil produksi di mana petani tidak memperoleh keuntungan yang cukup dari hasil penjualan Tandan Buah Segar dengan pemotongan secara sepihak melalui indek K dan sortasi buah dalam sistem penentuan Harga TBS.
Pemerintah Indonesia tidak henti-hentinya menawarkan bahkan memaksa proyek perluasan perkebunan skala besar melalui kebijakan revitalisasi perkebunan. Walau sudah memiliki banyak catatan,  revitalisasi itu gagal di beberapa tempat, namun pemerintah terus memberikan tekanan untuk pembukaan kebun baru melalui penegasan-penegasan dalam revitalisasi.
Beberapa cantoh yang dapat di lihat adalah, pemerintah provinsi Kalimantan timur menarget hingga akhir masa jabatannya akan terbangun  perkebunan kelapa sawit hingga satu juta Ha. Di provinsi jambi akan membuka lagi kebun sawit seluas satu juja ha dan kemudian di Riau dan tempat-tempat lainnya akan melakukan hal yang sama walau hanya perbedaan tingkat proyeksi luasan.
Proyeksi luasan dari beberapa pemerintah daerah di Indonesia tidak mempertimbangkan kualitas produksi Tandan Buah Sawit yang rendah yang di pengaruhi banyak factor seperti;
Pertama: Masalah pupuk yang kurang terjamin untuk perkebunan. Pemerintah Indonesia kurang memperhatikan keadilan distribusi pupuk untuk petani dengan membandingkan distribusi bagi perkebunan besar. Perusahaan mendapatkan akses langsung dengan pabrik pupuk sementara tidak bagi petani. Begitupun halnya kelangkaan pupuk Urea yang masih di jawab oleh pemerintah dengan eksport pupuk urea. Banyak petani menjerit akibat kelangkaan pupuk namun tidak di hiraukan dengan keadilan distribusi dan akses.
Kedua: Kondisi kehidupan Buruh yang tidak sejahtera dan banyak di antaranya buruh harian lepas yang juga turut mempengaruhi kerja buruh yang lebih baik untuk perawatan kebun dan perusahaan perkebunan tidak memperhatikan kualitas dengan penguatan kapasitas buruh perkebunan.
Ketiga: Pengawasan sector pemerintah terkait skema kemitraan yang tidak adil bagi petani sawit, dan keempat adalah korupsi penggelapan kredit pembangunan perkebunan untuk rakyat oleh perusahaan perkebunan dengan melihat kualitas dan kelengkapan infrastruktur pembangunan dan perawatan selama masa investasi. Sehingga dari target produksi nasional yang kurang memadai, di deskripsikan di daerah dengan menambah produksi nasional dengan perluasan perkebunan besar.
Kerterbatasan lahan untuk budidaya perkebunan besar, memaksa harus mengalihkan kawasan kelola milik masyarakat dan kawasan-kawasan lindung lainnya yang menjadi sumber pokok kehidupan masyarakat. Selain berkonflik dengan masyarakat, pembukaan perkebunan baru dengan skema kemitraan revitalisasi perkebunan oleh perusahaan juga berkonflik dengan petani kelapa sawit akibat ketidakadilan skema kemitraan seperti yang terjadi di PT. Tribakti Sari Mas di Kuansing Riau, PT. Kebun Ganda Prima di Sanggau, PT. Kresna Duta Agro di jambi, dan PT. Prediksi Guna Tama di Paser Kalimantan Timur. 
Karena itu penting bagi pemerintah untuk mengoptimalisasikan perkebunan-perkebun an yang sudah ada untuk meminimalisir konflik-konflik dari dampak perluasan baru sehingga pemerintah di seluruh Indonesia lebih focus pada optimalisasi perkebunan dan penyelesaian konflik-konflik perkebunan lama.

No comments: