June 1, 2010
Habibie, Gusdur dan Pembaruan Agraria
Tulisan ini dimaksudkan untuk melengkapi tulisan sebelumnya di blog ini yang membahas para presiden kita dengan Pembaruan Agraria.
Habibie
Jatuhnya Soeharto 21 Mei 1998 memang tidak diprediksikan sebelumnya. Memang lebih tepatnya bukan tidak diprediksi, tapi sebenarnya para aktivis jalanan waktu tidak menyangka Soeharto akan mundur secepat itu oleh aksi-aksi massa. Ini membuat kalangan aktivis tergagap-gagap membaca perubahan. Sebab, konsolidasi program-program kerakyatan belum utuh, sementara simbol kejahatan telah keburu mengundurkan diri. Walhasil, agenda kerakyatan banyak tertutup dari pembicaraan oleh agenda kelas menengah yang berebut ingin berkuasa setelah Soeharto mundur.
Kekuasaan Soeharto dilanjutkan oleh Habibie. Pada masa itu, saat kekuasaan kehilangan kewibawaannya, setiap hari media massa memberitakan tentang pendudukan tanah. Tidak hanya tanah perkebunan, bahkan lapangan golf dicangkuli untuk ditanami ubi kayu, dan sayur mayur oleh petani.
Sesungguhnya ini adalah ekspresi kemarahan dan balas dendam rakyat akibat perampasan tanah yang begitu massif semasa Soeharto berkuasa. Itulah sebabnya, kalangan pembaruan agraria tidak menyebut aksi petani ini dengan perampasan atau penjarahan tanah. Aksi ini disebut sabagai re-klaiming atau aksi pendudukan kembali tanah-tanah rakyat yang pernah diserobot oleh penguasa.Beruntung media massa juga tidak menyebut aksi-aksi rakyat tersebut sebagai penjarahan tanah.
Mencermati tuntutan rakyat yang sedemikian besar. Khususnya pendudukan tanah yang terus terjadi.
Presiden Habibie waktu itu mengeluarkan Kepres No.48/1999 tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Rangka Landreform. Tim ini bertanggung jawab langsung kepada presiden, diketuai oleh menteri kehakiman dan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN sebagai wakilnya. Anggota dari tim ini adalah: Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah; Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Negara Perumahan dan Permukiman. Ketua Tim adalah Prof Muladi, SH. Berdasarkan Kepres yang ditandatangani bulan Mei 1999. Artinya tepat setahun setelah Soeharto mundur. Namun, akibat pergantian presiden, hasil dari kajian dan rekomendasi tim ini menghilang. Kajiannya sendiri belum pernah diuraikan ke publik.
Gusdur
Sewaktu menjabat sebagai presiden, Gusdur membuat sebuah pernyataan yang begitu kontroversial dan mengganggu perusahaan perkebunan. Mengapa? beliau dengan enteng mengatakan bawa 40 persen tanah-tanah perkebunan dahulunya mencuri tanah-tanah rakyat. Sebaiknya sebagian tanahnya dibagikan kepada rakyat.
Gusdur tidak bohong, perkebunan yang ada di Indonesia khususnya perkebunan milik negara bekas perusahaan perkebunan milik perusahaan era Belanda dahulunya mencuri tanah-tanah rakyat. Mencuri dengan paksaan atau atas dasar hukum agraria masa Belanda. Hukum Belanda waktu itu menganut azas Domein Verklaring (mudahnya, sebuah tanah tidak dapat dibuktikan kepemilikannya melalui bukti legal khususnya surat-menyurat maka tanah tersebut adalah tanah negara). Anda tentu tahu siapa pula yang bisa buktikan surat dan bukti legal lainnya dimasa itu. Lalu, yang disebut negara sendiri adalah Pemerintah Hindia Belanda. Di tempat lain, khususnya di Sumatera Timur, perusahaan menyewa tanah-tanah rakyat melalui izin konsesi Sultan.
Tanah-tanah tersebut, dipakai oleh perusahaan dengan menggunakan Hak Erfpacht selama 75 tahun. Sampai sekarang, tanah-tanah tersebut tidak pernah dikembalikan kepada masyarakat sekitar perkebunan yang dahulunya nenek moyang mereka adalah pemilik tanah-tanah tersebut. UUPA sendiri mengatur peralihan hak-hak barat khususnya eks perkebunan Belanda ini selama-lamanya 20 puluh tahun sejak UUPA 1960 disahkan. Sayangnya, pengembalian tanah tersebut tidak pernah terjadi. Pemerintah Orba enggan mengembalikan tanah-tanah tersebut dengan mengeluarkan Keppres RI No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 3 tahun 1979 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.
Beberapa alasan dikeluarkannya aturan tersebut dikarenakan sebagian besar perkebunan tersebut telah dinasionalisasi dan dijadikan BUMN sekaligus melihat kenyataan bahwa sebagian besar direksi dan komisaris perusahaan ini adalah para pensiunan pejabat tinggi atau perwira militer yang dirasa penting diberi priveledge. Hilanglah kesempatan rakyat mendapatkan kembali tanahnya.
Itulah Gusdur, dia bicara dengan lugas dan blak-blakan. Banyak yang tidak paham maksud dan latar belakang bicaranya. Kalau tidak salah, ucapan Gusdur tersebut juga mengkritik ulama-ulama dan tokoh masyarakat Jawa Timur waktu itu yang secara gegabah mengharamkan rakyat Kali Bakar, Malang Selatan yang menduduki tanah-tanah perkebunan di sekeliling mereka. Masyarakat menyebut gerakannya sebagai aksi reklaiming. Mengklaim kembali tanah-tanah perkebunan yang mereka anggap sebagai milik mereka yang sejak lama dirampas.
Tentu ucapan Gusdur juga menyindir perusahaan perkebunan baru, bukan hanya eks Belanda. Ini juga bisa dipahami kebenarannya. UUPA 1960 memuat aturan soal Hak Menguasai Negara (HMN). Dan, pelaksanaan aturan ini, semenjak Orde Baru hingga sekarang mirip-mirip dengan aturan Domein Verklaring. Bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Apalagi sejak lahirnya PP 40/1996 tentang HGU yang membuat masa berlaku HGU bisa mencapai 90 tahun. Selama itu, banyak tanah-tanah masyarakat khususnya masyarakat adat di luar Jawa dijadikan perkebunan. Saat ini, perkebunan-perkebunan tersebut bahkan banyak telah terjual kepada perusahaan-perusahaan asing.
Gusdur telah memberi jalan bagi lahirnya Tap MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang hingga sekarang belum dijalankan pemerintah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment