June 1, 2010

Polisi dan Tentara Masih Terlibat dalam Konflik Agraria


Setahun lalu, di lokasi perusahaan PT. AA Bengkalis Riau, polisi dan security perusahaan membakar pondok-pondok warga, melepaskan anjing untuk memburu warga, dan melepaskan tembakan peluru karet. Saat itu Brimob Polda Riau, Polres Bengkalis dipimpin oleh Kombes Alex Mandalika melakukan operasi pengusiran terhadap warga yang dianggap menyerobot areal izin HTI PT.AA.

Sulit dipercaya bahwa polisi mengerahkan helikopter untuk mengejar-mengejar warga yang kocar-kacir, menjatuhkan sejenis napalm untuk membakar pondok warga hingga seorang bayi dilaporkan tewas. Bulan Agustus 2009, Brimob Sulsel juga menembaki warga di Takalar Sulsel. Ini juga soal konflik tanah. kemudian awal desember 2009 ini kembali Brimob menembaki warga di Ogan Ilir Sumsel.

Mengapa polisi terlibat dan melibatkan diri  dalam konflik tanah? Apakah polisi kita cukup memahami  hukum agraria nasional. Sebab soal tanah bukan ranah polisi.

Dalam soal tanah dengan perusahaan,  proses konflik diawali oleh Bupati dan atau  Gubernur  memberikan izin lokasi. Izin lokasi ini pastinya berada diatas lahan-lahan atau kebun masyarakat. Namun, tidak semua lahan dan kebun dan rumah masyarakat ada sertifikatnya. Bahkan dengan enteng bisa saja dikatakan bahwa areal masyarakat ini berada dalam kawasan kehutanan. Padahal, penetapan  kawasan Kehutanan juga mengharuskan pemerintah mengecek langsung di lapangan. Namun ini tidak pernah dilakukan cukup lewat peta saja. Jadilah izin lokasi dianggap sebagai hak yang bisa dibela oleh aparat polisi. Padahal, izin lokasi harus dilanjutkan dengan pembebasan lahan, dan setelah itu perusahaan wajib mendaftarkan tanah yang sudah dibebaskan dengan ganti kerugian, mereka bisa mendapatkan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atau hak Guna Bangunan (HGB). jJka perusahaan membangun perkebunan diatas kawasan hutan maka terlebih dahulu mendapatkan  perusahaan mendapatkan SK pelepasan kawasan dari menhut dan pemda. Sementara jika perusahaan tersebut bergerak dibidang kehutanan maka ia harus mendapatkan izin perusahaan HTI dari menhut.

Kalaupun perusahaan perkebunan dikarenakan birokrasi kita yang buruk sudah mendapatkan sertifikat HGU atau HGB apakah masyarakat juga boleh diusir-usir.  Harus diingat bahwa sertifikat hanya bisa lahir karena tidak konflik dan klaim dari pihak lain. Kalau ia bisa terbit tentu ada KKN disana, dan jika polisi dipakai untuk mengusir dan menembaki warga, maka selain keblingernya polisi juga dikarenakan BPN dan perusahaan bisa jadi hendak cuci tangan saja. Satu hal lagi, sejak tahun 2007 BPN menjalin kerjasama MOU dengan Mabes Polri. Akibat dari kerjasama ini adalah penangkapan dan penembakan petani menjadi lebih sering.

No comments: