Sudah berulangkali dan terasa basi membahas petani yang terus menerus dibunuh oleh aparat karena konflik agraria. Maksud saya, sudah sejak zaman gelap Orde Baru Soeharto hingga saat ini dua belas tahun setelah reformasi bergulir. Petani setiap tahun selalu saja ada yang masti terbunuh oleh aparat
Tidak ada perang, tapi rakyat banyak yang mati terbunuh, demikian saya pernah membaca syair alm.WS Rendra.
Peluru mudah sekali ditembakkan kepada petani, tetapi tidak ada aparat yang dijerat hukum. Meski laporan sudah diberikan kepada Mabes Polri, Komnas HAM dan DPR RI. Justru dengan gagah, mereka berkilah. Sebagai contoh, Kapolda Jambi Brigjen (Pol) Bambang S berkilah di media massa bahwa petani Jambi tewas karena peluru karet dan recosset (peluru mantul) yang ditembakkan aparat. Ini bukan kali pertama aparat selalu merasa benar sendiri. Sebab "hukum" toh ditangan mereka. Miris membacanya. Sebab petani tembus kepalanya oleh peluru tajam.
Mengapa rakyat rela menyabung nyawanya? Sebab tanah sumber penghidupan mereka yang utama telah dirampas oleh perusahaan lewat tangan peraturan pemerintah. Petani tanpa tanah pastilah kehilangan masa depan untuk diri dan keluarganya.
Sebagai pembanding, masyarakat Jakarta saja begitu marah ketika uang koin kembaliannya di supermarket dikembalikan dalam wujud permen. Apalagi masyarakat tani yang melihat tanah perkebunannya diambil pemerintah tanpa permisi.Melihat padinya yang sedang menguning digusur oleh alat-alat berat dengan kawalan aparat. Atau melihat karet dan sawitnya yang sedang menghijau dirobohkan oleh bolduser.
Kapan disadari oleh aparat bahwa membunuh rakyat adalah tindakan yang sungguh-sungguh biadab. Apalagi membunuh rakyat karena mereka sedang merebut haknya yang dicuri. lebih kejam lagi karena sipelaku yang membunuh tidak dijerat hukum dan bahkan terkesan dilindungi.
hmmmm, barangkali ada benarnya celetukan kawan, seburuk-buruknya generasi muda sekarang dimana kami ada didalamnya, jauh lebih jahat dan lebih buruk perilaku generasi tua atas bangsa ini.
(petani dirimu masih saja sendiri).
Tidak ada perang, tapi rakyat banyak yang mati terbunuh, demikian saya pernah membaca syair alm.WS Rendra.
Peluru mudah sekali ditembakkan kepada petani, tetapi tidak ada aparat yang dijerat hukum. Meski laporan sudah diberikan kepada Mabes Polri, Komnas HAM dan DPR RI. Justru dengan gagah, mereka berkilah. Sebagai contoh, Kapolda Jambi Brigjen (Pol) Bambang S berkilah di media massa bahwa petani Jambi tewas karena peluru karet dan recosset (peluru mantul) yang ditembakkan aparat. Ini bukan kali pertama aparat selalu merasa benar sendiri. Sebab "hukum" toh ditangan mereka. Miris membacanya. Sebab petani tembus kepalanya oleh peluru tajam.
Mengapa rakyat rela menyabung nyawanya? Sebab tanah sumber penghidupan mereka yang utama telah dirampas oleh perusahaan lewat tangan peraturan pemerintah. Petani tanpa tanah pastilah kehilangan masa depan untuk diri dan keluarganya.
Sebagai pembanding, masyarakat Jakarta saja begitu marah ketika uang koin kembaliannya di supermarket dikembalikan dalam wujud permen. Apalagi masyarakat tani yang melihat tanah perkebunannya diambil pemerintah tanpa permisi.Melihat padinya yang sedang menguning digusur oleh alat-alat berat dengan kawalan aparat. Atau melihat karet dan sawitnya yang sedang menghijau dirobohkan oleh bolduser.
Kapan disadari oleh aparat bahwa membunuh rakyat adalah tindakan yang sungguh-sungguh biadab. Apalagi membunuh rakyat karena mereka sedang merebut haknya yang dicuri. lebih kejam lagi karena sipelaku yang membunuh tidak dijerat hukum dan bahkan terkesan dilindungi.
hmmmm, barangkali ada benarnya celetukan kawan, seburuk-buruknya generasi muda sekarang dimana kami ada didalamnya, jauh lebih jahat dan lebih buruk perilaku generasi tua atas bangsa ini.
(petani dirimu masih saja sendiri).
No comments:
Post a Comment