Peringatan hari buruh internasional (1 Mei) selalu diisi dengan aksi demonstrasi puluhan ribu massa buruh di kota-kota besar di berbagai belahan dunia. Untuk Indonesia yang masih agraris, di tengah gemuruh tuntutan buruh, soal buruh tani tampaknya belum banyak disuarakan.
Mari simak realitas sosial bangsa kita. Kawasan perdesaan dengan luas kurang lebih 80 persen dari keseluruhan wilayah Indonesia, pada tahun 2009 dihuni 135 juta jiwa atau 57 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang hidup di 67.172 desa. Yang menyedihkan, 16,56 persen penduduk desa hidup dalam kondisi miskin (BPS: 2010) dengan infrastruktur dasar yang minim.
Sebagian besar penduduk desa ialah petani gurem dan buruh tani. Dari 28,3 juta Rumah Tangga Petani (RTP), sebanyak 6,1 juta RTP di Pulau Jawa dan 5 juta RTP di luar Jawa adalah petani tak bertanah alias buruh tani. Dengan perhitungan kasar, saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah bagian dari keluarga buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah bagian dari keluarga petani subsisten (Bonnie Setiawan: 2009). Siapa peduli nasib buruh tani?
Usaha pemerintah selama lebih dari empat dekade terakhir ialah menampung kelebihan tenaga kerja produktif asal perdesaan dengan menggenjot pertumbuhan sektor industri. Namun, agaknya usaha ini belum banyak membuahkan hasil. Terbukti, jumlah petani gurem dan buruh tani gurem di negara kita setiap tahun justru terus bertambah.
Apalagi cetak biru pembangunan industri nasional bertumpu pada relokasi industri dari negara maju dan utang luar negeri. Tidak mengherankan jika pembangunan industri nasional selama ini tak berelasi dengan pembangunan pertanian dan perdesaan yang dikembangkan.
Jebakan Kemiskinan
Munculnya fenomena buruh tani dengan upah uang secara formal mulai dikenal sejak hadirnya perkebunan dan industri gula di Jawa, khususnya melalui kontrak gula (suiker contract). Hadirnya industrialisasi pertanian dan perkebunan pada masa itu telah menggenjot secara fantastis nilai dan jumlah ekspor komoditas pertanian dan perkebunan Hindia Belanda.
Namun, pertumbuhan tersebut tak berkorelasi positif terhadap peningkatan kesejahteraan buruh. Bahkan, pertumbuhan petani gurem dan buruh tani terus meningkat dan menjamin ketersediaan buruh dalam sistem industri pertanian dan perkebunan milik penjajah (kolonial). Inilah yang menjadi salah satu dasar kesimpulan Gertz tentang gejala involusi pertanian dan sharing of poverty pada kehidupan petani Jawa.
Setelah kemerdekaan, dilahirkan pendekatan ekonomi politik untuk menyejahterakan petani gurem dan buruh tani melalui UU Pokok Agraria 1960, UU Pokok Bagi Hasil 1960, UU No 56/PRP Tahun 1960 yang mengatur tentang pembatasan kepemilikan lahan oleh perorangan, dan PP 224/1961 tentang Land Reform. Regulasi ini semangatnya menyediakan tanah bagi buruh tani, petani gurem, dan para penggarap.
Sejak Orde Baru, pendekatan ini ditinggalkan karena dianggap memicu konflik politik, keresahan sosial, dan polarisasi di perdesaan. Orde Baru memilih investasi pertanian berbasis modal besar untuk pendukung revolusi hijau, minus pembaruan agraria.
Di era reformasi, investasi pemerintah di bidang sarana dan prasarana pertanian sangat sedikit dilakukan. Bahkan, hal ini diperburuk dengan pencabutan subsidi, pembukaan pasar bebas, dan liberalisasi sumber-sumber agraria seperti tanah, kebun, hutan, tambang, dan air kepada investor bermodal besar.
Walhasil jebakan kemiskinan bagi penduduk perdesaan, khususnya buruh tani dan petani gurem, semakin dalam. Tidak ada proteksi dan subsidi bagi kaum buruh tani dan petani gurem, sehingga kehidupan mereka terus memburuk. Lantaran hasil keringat dari bekerja di atas tanah pertanian tak lagi cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya, maka migrasi ke luar desa (bahkan ke luar negeri) sering kali menjadi pilihan yang terpaksa mereka ambil.
Industrialisasi Perdesaan
Tekanan global dan minimnya perhatian pemerintah telah membuat pertumbuhan pertanian amat lambat. Kontribusi pertanian terhadap PDB tahun lalu hanya 2,7 persen saja. Padahal, manusia yang terlibat di dalamnya hampir setengah dari total populasi. Pertumbuhan industri juga sangat lambat untuk menyerap kelebihan tenaga perdesaan.
Dengan persoalan yang demikian berat, menangani persoalan buruh tani dan petani gurem tidak dapat dijalankan dengan pendekatan biasa. Dibutuhkan terobosan kebijakan yang bersifat lompatan jauh ke depan, khususnya tekait pembangunan pertanian dan pedesaan yang dipadukan dengan pembangunan perkotaan yang ramah terhadap rakyat miskin.
Yang perlu ditempuh ialah mempercepat industrialisasi pedesaan dengan dasar pelaksanaan pembaruan agraria atau agrarian reform. Pemerintah harus mendesain pembentukan badan usaha milik desa atau milik petani dalam wadah koperasi. Hal ini didukung penyediaan lahan, bibit, kredit murah, pendampingan, dan infrastruktur lain yang dibutuhkan.
Pengadaan lahan dapat dilakukan melalui penerapan PP No 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar serta melalui pembukaan lahan baru. Banyaknya buruh tani dan petani gurem dapat pula diselesaikan dengan pembangunan sistem pertanian terpadu. Pengembangan pertanian, perikanan, dan peternakan dalam badan usaha juga perlu disinkronkan.
Sangat dibutuhkan dukungan teknologi tepat guna untuk memperkecil ketergantungan pada input produksi. Sistem perlindungan pasar produk pertanian nasional juga mutlak dibutuhkan agar kaum tani punya kekuatan mandiri dalam menghadapi tekanan keras perdagangan internasional.
Lompatan jauh ke depan butuh kepemimpinan politik yang tangguh dan sungguh bekerja untuk rakyat. Bagaimanapun, membaiknya kehidupan kaum buruh merupakan indikator penting dalam memaknai kemerdekaan bangsa ini. Selamat hari buruh internasional 2011.
(Sumber: Sinar Harapan, 4 Mei 2011)
Tentang Penulis :
Iwan Nurdin dan Usep Setiawan dua penulis adalah penggiat Konsorsium Pembaruan Agraria.
Mari simak realitas sosial bangsa kita. Kawasan perdesaan dengan luas kurang lebih 80 persen dari keseluruhan wilayah Indonesia, pada tahun 2009 dihuni 135 juta jiwa atau 57 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang hidup di 67.172 desa. Yang menyedihkan, 16,56 persen penduduk desa hidup dalam kondisi miskin (BPS: 2010) dengan infrastruktur dasar yang minim.
Sebagian besar penduduk desa ialah petani gurem dan buruh tani. Dari 28,3 juta Rumah Tangga Petani (RTP), sebanyak 6,1 juta RTP di Pulau Jawa dan 5 juta RTP di luar Jawa adalah petani tak bertanah alias buruh tani. Dengan perhitungan kasar, saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah bagian dari keluarga buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah bagian dari keluarga petani subsisten (Bonnie Setiawan: 2009). Siapa peduli nasib buruh tani?
Usaha pemerintah selama lebih dari empat dekade terakhir ialah menampung kelebihan tenaga kerja produktif asal perdesaan dengan menggenjot pertumbuhan sektor industri. Namun, agaknya usaha ini belum banyak membuahkan hasil. Terbukti, jumlah petani gurem dan buruh tani gurem di negara kita setiap tahun justru terus bertambah.
Apalagi cetak biru pembangunan industri nasional bertumpu pada relokasi industri dari negara maju dan utang luar negeri. Tidak mengherankan jika pembangunan industri nasional selama ini tak berelasi dengan pembangunan pertanian dan perdesaan yang dikembangkan.
Jebakan Kemiskinan
Munculnya fenomena buruh tani dengan upah uang secara formal mulai dikenal sejak hadirnya perkebunan dan industri gula di Jawa, khususnya melalui kontrak gula (suiker contract). Hadirnya industrialisasi pertanian dan perkebunan pada masa itu telah menggenjot secara fantastis nilai dan jumlah ekspor komoditas pertanian dan perkebunan Hindia Belanda.
Namun, pertumbuhan tersebut tak berkorelasi positif terhadap peningkatan kesejahteraan buruh. Bahkan, pertumbuhan petani gurem dan buruh tani terus meningkat dan menjamin ketersediaan buruh dalam sistem industri pertanian dan perkebunan milik penjajah (kolonial). Inilah yang menjadi salah satu dasar kesimpulan Gertz tentang gejala involusi pertanian dan sharing of poverty pada kehidupan petani Jawa.
Setelah kemerdekaan, dilahirkan pendekatan ekonomi politik untuk menyejahterakan petani gurem dan buruh tani melalui UU Pokok Agraria 1960, UU Pokok Bagi Hasil 1960, UU No 56/PRP Tahun 1960 yang mengatur tentang pembatasan kepemilikan lahan oleh perorangan, dan PP 224/1961 tentang Land Reform. Regulasi ini semangatnya menyediakan tanah bagi buruh tani, petani gurem, dan para penggarap.
Sejak Orde Baru, pendekatan ini ditinggalkan karena dianggap memicu konflik politik, keresahan sosial, dan polarisasi di perdesaan. Orde Baru memilih investasi pertanian berbasis modal besar untuk pendukung revolusi hijau, minus pembaruan agraria.
Di era reformasi, investasi pemerintah di bidang sarana dan prasarana pertanian sangat sedikit dilakukan. Bahkan, hal ini diperburuk dengan pencabutan subsidi, pembukaan pasar bebas, dan liberalisasi sumber-sumber agraria seperti tanah, kebun, hutan, tambang, dan air kepada investor bermodal besar.
Walhasil jebakan kemiskinan bagi penduduk perdesaan, khususnya buruh tani dan petani gurem, semakin dalam. Tidak ada proteksi dan subsidi bagi kaum buruh tani dan petani gurem, sehingga kehidupan mereka terus memburuk. Lantaran hasil keringat dari bekerja di atas tanah pertanian tak lagi cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya, maka migrasi ke luar desa (bahkan ke luar negeri) sering kali menjadi pilihan yang terpaksa mereka ambil.
Industrialisasi Perdesaan
Tekanan global dan minimnya perhatian pemerintah telah membuat pertumbuhan pertanian amat lambat. Kontribusi pertanian terhadap PDB tahun lalu hanya 2,7 persen saja. Padahal, manusia yang terlibat di dalamnya hampir setengah dari total populasi. Pertumbuhan industri juga sangat lambat untuk menyerap kelebihan tenaga perdesaan.
Dengan persoalan yang demikian berat, menangani persoalan buruh tani dan petani gurem tidak dapat dijalankan dengan pendekatan biasa. Dibutuhkan terobosan kebijakan yang bersifat lompatan jauh ke depan, khususnya tekait pembangunan pertanian dan pedesaan yang dipadukan dengan pembangunan perkotaan yang ramah terhadap rakyat miskin.
Yang perlu ditempuh ialah mempercepat industrialisasi pedesaan dengan dasar pelaksanaan pembaruan agraria atau agrarian reform. Pemerintah harus mendesain pembentukan badan usaha milik desa atau milik petani dalam wadah koperasi. Hal ini didukung penyediaan lahan, bibit, kredit murah, pendampingan, dan infrastruktur lain yang dibutuhkan.
Pengadaan lahan dapat dilakukan melalui penerapan PP No 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar serta melalui pembukaan lahan baru. Banyaknya buruh tani dan petani gurem dapat pula diselesaikan dengan pembangunan sistem pertanian terpadu. Pengembangan pertanian, perikanan, dan peternakan dalam badan usaha juga perlu disinkronkan.
Sangat dibutuhkan dukungan teknologi tepat guna untuk memperkecil ketergantungan pada input produksi. Sistem perlindungan pasar produk pertanian nasional juga mutlak dibutuhkan agar kaum tani punya kekuatan mandiri dalam menghadapi tekanan keras perdagangan internasional.
Lompatan jauh ke depan butuh kepemimpinan politik yang tangguh dan sungguh bekerja untuk rakyat. Bagaimanapun, membaiknya kehidupan kaum buruh merupakan indikator penting dalam memaknai kemerdekaan bangsa ini. Selamat hari buruh internasional 2011.
(Sumber: Sinar Harapan, 4 Mei 2011)
Tentang Penulis :
Iwan Nurdin dan Usep Setiawan dua penulis adalah penggiat Konsorsium Pembaruan Agraria.
No comments:
Post a Comment