February 12, 2010

Dalih Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah

Proyek infrastruktur kita yang berjalan bak siput telah menuduh proses pengadaan tanah sebagai biang keladi persoalannya. Bayangkan, selama 3 tahun terakhir, dari 21 ruas atau 1700 KM rencana jalan tol trans Jawa yang membutuhkan tanah seluas 6734 Ha, baru 14 persen atau 939 Ha tanah yang bisa dibebaskan.

Berdasarkan hal tersebut dan sejalan dengan rekomendasi national summit, pemerintah menjawab dengan mengusulkan RUU Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum. Sebab, peraturan yang selama ini dipakai Perpres 36/2005 jo 65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum dan Pembangunan dinilai terlalu lembek.

Hak masyarakat terkait tanah diatur oleh UU, tentu menimbulkan masalah ketika hendak diambil alih dengan dalih kepentingan umum hanya menggunakan Perpes yang kekuatan hukumnya dibawah UU. Kesimpulannya, secara teknis dan momentum, hukum pengadaan tanah dinilai sebagai langkah tepat.

Ruwetnya Pengadaan Tanah
Sekarang ini, sebuah proyek untuk kepentingan umum harus melalui penetapan izin lokasi kepada pemda atau pusat sesuai dengan luasan dan cakupan wilayahnya. Setelah lokasi diperoleh, proses dilanjutkan dengan pembebasan tanah, dan terakhir mendaftarkan tanah yang sudah dibebaskan untuk memperoleh hak kepada BPN.

Selama ini, lambatnya proses pengadaan tanah sebenarnya lebih disebabkan oleh simpangsiurnya kewenangan dan pola hubungan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten terkait dengan tanah. Keruwetan telah dimulai sejak dari penetapan lokasi proyek untuk kepentingan umum. Rumitnya, proyek kepentingan umum kerapkali adalah proyek dadakan dan tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat. Sehingga, proyek tersebut harus terlebih dahulu merubah RTRW melalui perda.

Selesai penetapan lokasi, soal berpindah pada proses pembebasan lahan. Mekanisme yang populer dipakai adalah beli-putus. Memang dimungkinkan proses lain seperti bagi hasil dan penyertaan modal melalui kepemilikan saham. Namun, aturan ini hanya bersifat pilihan non wajib bagi perusahaan. Rumitnya pembebasan lahan telah membuat perusahaan meng-subkontrakkan pekerjaan ini kepada perusahaan lain, makelar tanah, bahkan kelompok jawara. Disini, warga yang terkena proyek seringkali diintimidasi.

Rampung membebaskan lahan, pemakai tanah wajib mendaftarkan tanah tersebut kepada BPN. Sudah rahasia umum, selain membayar pajak, perusahaan harus membayar pajak tak resmi kepada oknum Pemda dan BPN sejak dari kabupaten hingga pusat.

Menelusuri alur teknis pengadaan tanah diatas, problem keseluruhan sesungguhnya lebih banyak berada di pemerintah. Beban biaya dalam pengadaan tanah banyak disebabkan oleh perilaku aparat pemerintah melalui jalur tidak resmi.


Kalau soalnya demikian, soal yang datang kemudian adalah, RUU ini tidak membahas alur proses pengadaan tanah. Ia hanya mengambil jalan pintas bahwa pengadaan tanah terhambat karena masyarakat banyak menentang dan meminta gantirugi yang tidak wajar.

Secara substansi, ada beberapa masalah utama yang mengganjal dalam RUU ini: pertama, oleh RUU ini, definisi sebuah proyek berstatus kepentingan umum ditetapkan oleh presiden. Ini hal yang berbahaya, pengalaman selama ini Hak Menguasai Negara (HMN) di bidang agraria yang diwakilkan kepada departemen sektoral seperti kehutanan, tambang dan pertanahan dengan alasan demi kepentingan nasional terbukti telah menjadi celah paling sering disalahtafsirkan dan merugikan rakyat. Tidak ada jaminan kejadian semacam ini tidak berulang. Bahkan, dimungkinkan kelak setiap proyek yang mengalami kesulitan dalam pengadaan tanah memohon kepada presiden untuk ditetapkan sebagai kepentingan umum. Bukankah tidak ada satupun dasar kuat sebuah proyek tidak dapat disebut sebagai proyek yang mewakili kepentingan umum. Semua terbuka untuk diinterpretasi.

Kedua, tidak ada perubahan paradigma dalam proses restitusi tanah yang berlaku selama ini yaitu ganti kerugian. Azas gantirugi yang dipakai adalah persamaan dan kesetaraan. Ini mengherankan, sebab dalam proses pengambilalihan tanah azas yang dipakai seharusnya perlindungan hak asasi korban. Walhasil, RUU ini masih mengedepankan model ganti rugi beli-putus dengan harga penetapan (musyawarah atau pengadilan). Skema lain berupa pemukiman kembali, penyertaan modal hanyalah mekanisme yang bisa dipilih oleh pihak yang memerlukan tanah bukan kewajiban.

Ketiga, dalam prakteknya RUU ini hendak mewujudkan proses pengadaan tanah secara lebih cepat, murah, efisien, dan menjamin kepastian hukum. Poin ini telah menaruh beban berat pengadaan tanah kepada para calon korban yang akan digusur. Sehingga berpotensi menimbulkan perlawanan dari masyarakat. Tentusaja konflik pertanahan yang begitu marak akan terus terjadi.

Keempat, RUU ini bakal hadir ditengah ketiadaan peta perencanaan pengunaan tanah nasional (land use national map planing) yang telah sejak lama diharapkan kehadirannya. Ketiadaan peta penggunaan tanah telah mengakibatkan terjadinya kompetisi dan konflik penggunaan ruang dengan tanah sebagai basis utamanya baik untuk penggunaan ekonomi, politik dan pemerintahan, ekologi, cadangan, dan bahkan pertahanan keamanan. Selama ini, semua departemen dan pemerintah merumuskan hal ini secara parsial dan sesuai dengan ego sektoralnya sendiri-sendiri. Turunan dari persoalan ini telah mengakibatkan meledaknya konflik seperti penggusuran, penyerobotan tanah.

Terakhir, yang lebih menyedihkan, RUU ini adalah buah dari makelar kebijakan yang malang melintang di tanah air. Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2007, Asian Development Bank (ADB) telah mengasistensi BPN-RI untuk mengusulkan Undang-Undang Pengadaan Tanah melalui proyek yang bernama ”Enhancing the Legal and Administrative Framework for Land Project”. Anehnya, draft UU Pengadaan Tanah mengakomodir semua hal yang diinginkan oleh ADB. Padahal, inti dari usulan ADB bermuara pada liberalisasi properti dan tanah di tanah air. Telah banyak terbukti, liberalisasi yang diteken selama ini kerap dilakukan tanpa pikir panjang dan akhirnya lebih banyak menyulitkan ketimbang memberi untung masyarakat banyak.

No comments: