February 18, 2010
Pengadaan Tanah Bagi Rakyat Miskin
Oleh: Iwan Nurdin
Menurut BPS, penduduk miskin kita tahun lalu turun sebesar 2,43 juta jiwa, meski begitu jumlah penduduk miskin kita masih sangat besar yakni 32,5 juta jiwa atau 14,2 persen dari jumlah penduduk. Angka tersebut menandakan bahwa selama ini pemerintah gagal mengenal siapa kaum miskin itu sesungguhnya.
Sampai sekarang, sebagian besar orang miskin bertempat tinggal di pedesaan dan mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani. Dari total 28 juta Rumah Tangga Petani (RTP) yang ada di Indonesia, terdapat 6.1 juta RTP di pulau Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memiliki, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Jadi dengan kata lain saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah petani subsisten sampai sekarang belum pernah mendapatkan program nyata yang tepat dari pemerintah untuk menyelesaikan problem utama yang dihadapi mereka yaitu ketiadaan lahan.
Pada awal tahun 2007, SBY pernah menjanjikan segera melaksanakan rencana redistribusi lahan seluas 8.1 juta hektar kepada rakyat miskin. Program ini oleh BPN kemudian dikenalkan dengan sebutan PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasioal). Sampai sekarang, program ini belum beranjak dari ranah wacana alias jalan ditempat dan kemudian kalah pamor dengan program seperti KUR dan PNPM dll. Padahal, dengan melihat siapa sesungguhnya kaum miskin, program yang saat ini tengah dijalankan pemerintah tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan dasar mayoritas kelompok miskin.
Akibat mandegnya PPAN, ada beberapa hal memprihatinkan yang terus menerus terjadi: Pertama, konflik agraria masih marak dan belum menjadi perhatian penuh dari lembaga negara dan pemerintah. Konflik agraria tersebut diakibatkan oleh carut marutnya hukum pertanahan dan pengelolaan sumber daya alam seperti UU Sumber Daya Air, UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU Migas dan UU Mineral dan Pertambangan yang saling tumpang tindih dengan UU Pokok Agraria yang seharusnya menjadi acuan utama. Jadi konflik agraria sesungguhnya disebabkan oleh politik hukum agraria yang jauh dari semangat kerakyatan sehingga penyelesaiannya juga harus dalam kerangka politik yang jelas. Kedua, kegagalan dalam menumbuhkan pertumbuhan ekonomi yang adil melalui pedesaan dan pertanian sehingga konsentrasi kemiskinan masih berada di pedesaan. Ketiga, persoalan tesebut mengekalkan keadaan selama ini yaitu kesenjangan pedesaan dan perkotaan, pertanian dan industri yang mendiskriminasi dan menindas kaum tani dan penduduk pendesaan.
Melunasi Hutang
Jika menoleh kebelakang, ada beberapa sebab utama mengapa PPAN tidak segera dapat diimplementasikan. Pertama, program ini disandarkan kepada BPN sebuah lembaga pemerintah non departemen yang terlalu lemah untuk menjalankan agenda yang begitu besar. Kedua, telah terjadi ego sektoral antar departemen yang selama ini mengelola sumber daya alam dan agraria sehingga hambatan birokrasi menjadi dominan. Ketiga, belum tersedianya payung hukum untuk menjalankan program yang sesungguhnya lintas sektoral tersebut. Keempat, lemahnya dukungan organisasi masyarakat sipil akibat proses PPAN yang cenderung tertutup bagi proses partisipasi dan kritik masyarakat.
Persoalan diatas menandakan dua hal yang saling berkaitan yakni lemahnya komitmen presiden terhadap program yang telah diucapkannya dan diperkuat oleh lemahnya kabinet SBY khususnya Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian dan BPN dalam menerjemahkan kedalam langkah aksi dan implementasi.
Ada beberapa langkah utama yang harus segara dilakukan presiden. Pertama, presiden SBY seharusnya secara politik memimpin langsung program ini dan segera mengeluarkan PP tentang Pembaruan Agraria yang dijanjikan. Kedua, presiden membentuk lembaga adhoc untuk melaksanakan Pembaruan Agraria Ketiga, memastikan komposisi kabinet yang mengelola sumber-sumber kekayaan alam, pertanian, kehutanan dan pertanahan dalam pemerintahan kedepan benar-benar se-visi dalam hal pengentasan kemiskinan melalui pelaksanaan Pembaruan Agraria.
Ditengah puluhan juta rakyat miskin, tentu tak elok jika pemerintah sekarang dan kedepan masih saja menyia-nyiakan 1.5 juta hektar lahan objek landreform, 650.000 hektar lahan terlantar dan 7.1 juta lahan hutan produksi konversi (HPK). Dia atas lahan tersebut ada hak konstitusional rakyat miskin untuk memperolehnya sehingga hidup mereka bisa berubah dibawah pergantian pucuk kekuasaan saat ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment