Suara Pembaruan. Sabtu, 21 November 2009
[JAKARTA] Reformasi agraria saat ini belum dijalankan. Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007 lalu, untuk mendistribusikan jutaan hektare tanah kepada rakyat miskin, belum terealisasi. Akibatnya, penduduk miskin semakin miskin, sementara tanah telantar ada di mana-mana.
"Ironis memang, kita negara agraris dengan mayoritas penduduknya petani, tetapi tidak punya tanah. Akibatnya, kemiskinan dan pengangguran merajalela di mana-mana. Sementara itu, tanah telantar, ada di mana-mana," kata Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Usep Setiawan di Jakarta, Jumat (20/11).
Melihat itu, KPA mendesak Presiden Yudhoyono untuk tegas melakukan reformasi agraria, agar janji yang disampaikannya beberapa tahun lalu tidak menjadi pepesan kosong.
Mengenai kinerja Badan Pertanahan Nasional (BPN), Usep mengatakan, badan ini seharusnya menjadi ujung tombak reformasi agraria. Namun, sayangnya, BPN tidak bekerja maksimal. BPN, katanya, punya program kerja 100 hari, di antaranya, mempercepat munculnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang reformasi agraria.
Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) merilis data dari BPN bahwa tanah telantar di Indonesia mencapai 7,3 hektare. Luas tersebut sama dengan 133 kali luas Singapura. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada 1999, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 47,97 juta jiwa, dan turun pada tahun 2003 menjadi 35,68 juta jiwa.
Dari jumlah 35,68 juta jiwa itu, 22,69 juta orang berada di pedesaan. Karena sebagian besar warga pedesaan bermata pencaharian sebagai petani, maka artinya sebagaian besar masyarakat miskin negeri ini adalah mereka yang status mata pencahariannya bertani, atau disebut dengan petani. Data pada 2001 mengungkapkan 55% dari penduduk miskin di Indonesia adalah petani.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG), Idrus Marham di Jakarta, Jumat, mengatakan, untuk memuluskan agenda reformasi agraria yang dicanangkan Presiden Yudhoyono, tidak ada cara lain kecuali mengganti posisi Kepala BPN Joyo Winoto dengan orang baru, yang memahami peta pertanahan nasional. [E-7/L-8]
No comments:
Post a Comment