November 20, 2009

Masihkah Jawa Lumbung Beras Nasional?

Kompas, Rabu, 18 November 2009 | 04.44 WIB

Khudori

Sebagai lumbung beras nasional, Pulau Jawa ada di titik amat kritis. Di satu sisi, karena ketergantungan akut semua perut warga pada beras, swasembada beras menjadi keharusan bagi siapa pun yang memerintah negeri ini.

Beras adalah pangan mahapenting di negeri berpenduduk 230 juta ini, tak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga sosial-politik. Karena itu, sejak Orde Baru hingga kini, baik harga, pasokan, maupun distribusi beras dikendalikan. Posisi Jawa menjadi penting karena memasok 56-60 persen beras nasional.

Di sisi lain, Jawa merupakan episentrum aktivitas ekonomi nasional. Sekitar 70 persen uang negeri ini berputar di Jawa (Baswir, 2003). Hal ini membuat aktivitas ekonomi di Jawa berputar bak gasing. Laju industrialisasi, transformasi ekonomi, dan jumlah penduduk yang besar membuat tekanan pada lahan menjadi panas. Pertumbuhan ekonomi mendongkrak mutu sosial-ekonomi lahan nonpertanian.

Di simpang jalan

Perkawinan antara permintaan dan rente lahan nonpertanian yang terus meningkat ini membuat tekanan pada lahan berjalan masif. Ini membuat keberadaan hutan, sawah, dan ladang ada di simpang jalan: tetap dipertahankan sebagai kawasan penyangga dan penghasil pangan atau dikonversi.

Dampak dari tekanan pada lahan itu bisa dilihat dari rutinitas banjir, longsor, dan kekeringan di sejumlah kota di Jawa. Namun, sejauh mana kondisi tutupan hutan dan daerah aliran sungai (DAS) sebagai penyuplai air irigasi, khususnya terkait jaminan produksi pangan dari sawah, belum banyak diketahui. Ketersediaan informasi ini penting sebagai penanda kritis-tidaknya Pulau Jawa sebagai penyangga pangan nasional.

Hasil interpretasi citra Landsat 2006/2007 oleh Barus dan kawan-kawan (2009) menunjukkan, tutupan lahan hutan total di Jawa tinggal 14 persen, jauh dari angka ideal (30 persen) untuk menjaga lingkungan fisik dan areal sawah. Dari 156 DAS di Jawa, hanya 10 DAS (6,4 persen) yang punya tutupan luas hutan lebih dari 30 persen, bahkan 50 DAS (32 persen) di antaranya tutupan hutannya nol persen. Akibatnya, sebagian besar sub-DAS di Jawa berpotensi besar dilanda banjir/longsor rutin. Air hujan yang seharusnya bisa mengisi air tanah dan pelan-pelan dialirkan karena adanya tutupan hutan, berubah menjadi air limpasan permukaan, yang tidak saja mubazir, tetapi juga menjadi menggerus lapisan subur tanah.

Menurut Barus dkk, dari empat kelas daerah rawan longsor (1-4, dari rendah/tidak ada sampai besar), kategori kelas tiga menempati rerata 80 persen dari tiap sub-DAS dan kelas 4 menempati areal 10 persen.

Dari empat kelas daerah rawan banjir, kategori kelas tiga mempunyai rerata 65 persen dari tiap sub-DAS, dan kelas empat sekitar 20 persen. Berpijak dari kombinasi ketiga kondisi itu—DAS kritis, rawan banjir, dan rawan longsor—sebenarnya lingkungan fisik di Jawa sudah rusak/kritis.

Apabila musim hujan, sebagian besar sawah akan banjir dan longsor. Sebaliknya, sawah akan kekeringan pada musim kemarau. Rutinitas banjir dan longsor akan membuat padi puso, DAS dan jaringan irigasi rusak. Padi adalah tanaman rakus air. Tanpa ketersediaan air memadai, produksi padi ada di zona bahaya. Banjir, longsor, dan kekeringan akan mengancam eksistensi Jawa sebagai lumbung padi nasional.

Jawa, basis produksi beras

Untuk mempertahankan Jawa sebagai basis produksi beras, harus dilakukan aneka langkah cepat dan simultan.

Pertama, menetapkan zonasi agroekologi sawah. Konsep pewilayahan ini didasari kenyataan, tiap tanaman memiliki perbedaan tingkat kesesuaian lahan. Dari zonasi agroekologi sawah oleh Nurwadjedi (2009), luas sawah mencapai 2,87 juta hektar (40 persen) dari 7,16 juta hektar kawasan budidaya di Jawa. Sebagian besar (93 persen) sawah itu berjenis tanah fluvial dan volkanik yang amat subur dibandingkan dengan tanah di luar Jawa, dengan kondisi irigasi beragam (dari teknis hingga tadah hujan). Dengan penetapan ini, sawah dalam zonasi harus dilindungi eksistensinya.

Penetapan dan perlindungan lahan ini merupakan amanat UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, ditetapkan 16 September 2009. Melalui UU ini, kawasan dan lahan pertanian pangan ditetapkan (jangka panjang, menengah, dan tahunan) lewat perencanaan kabupaten/kota, provinsi, dan nasional (Pasal 11-17).

Keberadaan kawasan dan lahan dilindungi hanya bisa dikonversi untuk kepentingan umum. Itu pun dengan syarat mahaberat (Pasal 44-46): didahului kajian kelayakan dan rencana alih fungsi, pembebasan kepemilikan, dan ada lahan pengganti 1-3 kali yang dikonversi plus infrastruktur. Siapa yang melakukan alih fungsi lahan yang dilindungi bisa dipidana 2-7 tahun dan denda Rp 1 miliar-Rp 7 miliar. Pidana ditambah jika pelakunya pejabat (Pasal 72-74).

Kedua, segera dilakukan rehabilitasi tutupan lahan hutan, menekan laju degradasi lahan dan bencana banjir. Terkait ini, penerapan pengelolaan sumber daya air terpadu dan prinsip hilir membayar hulu tidak bisa ditunda-tunda. Karakteristik air terkait daerah hulu-hilir. Konsekuensinya, batas hidrologis tidak selalu identik dengan batas administratif.

Pengelolaan sumber daya air harus menimbang kesatuan hidrologis sebagai satu kesatuan wilayah. Ini penting karena DAS- DAS besar di Jawa, seperti DAS Solo, Ciliwung, dan Citanduy, bersifat lintas provinsi dan melewati puluhan kabupaten/kota. Daerah hilir sebagai pengguna (irigasi, PAM) harus memberi insentif hulu untuk melakukan usaha konservasi dan rehabilitasi. Tanpa dua langkah ini, degradasi sawah terus berlangsung. Jika itu terjadi, lumbung beras Jawa tinggal cerita.

Khudori Penulis Buku Ironi Negeri Beras; Peminat Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi

No comments: