Palembang | Mon 16 Nov 2009 23:30:00
INDONESIA sampai saat ini belum memiliki peta penggunaan tanah nasional dan juga belum mempunyai perencanaan nasional penggunaan lahan yang terpadu dan komprehensif.
Dengan demikian kerap menimbulkan tumpang tindih dan konflik lahan di masyarakat, kata Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) di Palembang, Senin (16/11).
Deputi Advokasi dan Kebijakan KPA Nasional itu, pada diskusi terbuka "Kepastian, Perlindungan Hak atas Tanah dan Penyelesaian Konflik untuk Pembaharuan Agraria" kerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatra Selatan (Sumsel), mengingatkan bahwa keberadaan peta penggunaan dan rencana pengelolaan lahan nasional itu sangat urgen keberadaannya.
"Tanpa itu, di lapangan semua akan jalan sendiri-sendiri nyaris tanpa koordinasi dan saling benturan satu sama lain," kata Iwan.
Korban yang paling besar dalam setiap terjadi konflik agraria, menurut dia, adalah masyarakat terutama para petani yang biasanya akan tergusur akibat lahannya diserobot atau diambil alih pihak lain, seperti perusahaan.
Dia menilai pula, hingga kini di Indonesia terus terjadi kompetisi dan konflik penggunaan ruang dengan tanah sebagai basis utamanya baik untuk penggunaan ekonomi, politik/pemerintahan, ekologi, cadangan, dan bahkan pertahanan keamanan akibat kebijakan hukum yang sektoralistik.
"Penurunan kualitas lahan dan juga konflik perebutan air terjadi serta berakibat pada meledaknya konflik turunan agraria, seperti penggusuran dan penyerobotan lahan," katanya.
Iwan menyebutkan fakta adanya krisis agraria itu, antara lain degradasi lahan dan hutan yang mencapai rata-rata 2,5 hingga 2,8 juta hektare per tahun, sedangkan rehabilitasi hanya 400.000-500.000 ha per tahun, dengan tingkat keberhasilan hanya 50 persen.
Belum lagi adanya alihfungsi lahan subur, terjadi pula krisis air dan kerusakan besar-besaran fungsi hidrologi, kerusakan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil, kebakaran lahan dan hutan serta perubahan iklim.
KPA mencatat pula terdapat 1.753 kasus konflik agraria struktural dengan luas lahan disengketakan mencapai 10,9 juta ha, dan telah mengakibatkan tidak kurang dari 1,2 juta KK menjadi korban di wilayah perkebunan dan kehutanan.
Ia juga mengingatkan bahwa jumlah penduduk bekerja di sektor pertanian mencapau 44,3 persen dari penduduk yang bekerja secara nasional. Namun hanya menyumbang 15,9 persen pendapatan kotor (PDB) nasional.
Akibatnya, menurut Iwan, terjadi distribusi kemiskinan di antara para petani itu, sehingga menyumbang angka kemiskinan yang tinggi mencapai 32,5 juta jiwa atau 14,2 persen dari jumlah penduduk.
"Laju percepatan kemiskinan di Indonesia untuk wilayah perkotaan mencapai 13,36 persen, dan di perdesaan mencapai 21,90 persen," kata Iwan.(Ant)
No comments:
Post a Comment