KOMPAS, Selasa, 17 November 2009 | 04:21 WIB
Palembang, Kompas - Jumlah kasus konflik tanah di Provinsi Sumatera Selatan termasuk tinggi karena menduduki peringkat ketujuh se-Indonesia. Peringkat tersebut berdasarkan data yang dihimpun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia pada tahun 2008.
Demikian dikatakan Manajer Regional Sumatera Walhi Mukri Friatna di sela-sela diskusi bertema ”Kepastian dan Perlindungan Atas Tanah dan Penyelesaian Konflik untuk Pembaruan Agraria”, Senin (16/11) di Palembang.
Mukri menjelaskan, sebagian besar konflik tanah di Sumsel adalah konflik antara petani dan perusahaan perkebunan ataupun konflik antara petani dan pemerintah.
Penyebabnya, keberadaan tanah ulayat tidak diakui dan hak masyarakat yang sudah menggarap tanah selama bertahun-tahun juga tidak diakui. Penyelesaian konflik tanah pun tidak mudah.
”Lahan gambut bisa diklaim sebagai milik perusahaan, padahal ada masyarakat di situ yang sudah menggarap lahan secara turun-temurun. Tanah ulayat dipandang tidak memiliki kekuatan hukum,” kata Mukri.
Menurut Mukri, dari luas hutan di Sumsel yang mencapai 3 juta hektar, sekitar 30 persen di antaranya adalah lahan yang menjadi konflik.
Adapun provinsi yang menempati peringkat pertama dalam jumlah konflik tanah adalah Nusa Tenggara Timur, di mana 50 persen dari luas hutannya menjadi konflik. Pada urutan kedua adalah Provinsi Lampung, ketiga Kalimantan Barat, keempat Sumatera Utara, kelima Sulawesi Tengah, dan keenam Kalimantan Timur.
Mukri menuturkan, di seluruh Indonesia terdapat 372 kasus konflik tanah yang didampingi oleh Walhi dan diharapkan selesai tahun 2012. Di Sumsel terdapat 15 kasus konflik tanah yang didampingi Walhi Sumsel.
Perlu sertifikat
Menurut Kepala Biro Pemerintahan Pemprov Sumsel Mulyadin Roham, pemerintah kabupaten/kota sebagai pemilik wilayah seharusnya menganggarkan dana untuk membantu masyarakat membuat sertifikat tanah. Dengan adanya sertifikat, kepastian hukum terhadap tanah masyarakat menjadi jelas.
Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaharuan Agraria mengutarakan, konflik tanah terus terjadi karena pemerintah tidak punya peta peruntukan tanah. Setiap departemen punya program sendiri dan berjalan sendiri dalam memanfaatkan lahan sehingga menyebabkan konflik perebutan tanah, perebutan sumber air, dan degradasi lahan. (WAD)
No comments:
Post a Comment