BISNIS INDONESIA Rabu, 18/11/2009
900.000 Hektare hutan di Sumsel jadi lahan sengketa
PALEMBANG: Lahan seluas 900.000 hektare dari 3 juta hektare kawasan hutan di Sumsel masih berstatus lahan sengketa antara masyarakat dan perusahaan perkebunan.
Mukri Friatna, Manajer Wilayah Sumatra Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), mengungkapkan dengan kondisi tersebut Sumsel menempati peringkat ke tujuh secara nasional dan masih tergolong tinggi mengenai konflik pertanahan Tanah Air, selain Nusa Tenggara Timur, Lampung, Kalimantan Barat, Sumatra Utara, Poso, dan Kalimantan Timur.
"Hampir 3 juta hektare kawasan hutan di Sumsel, 30% mengandung konflik agraria. Konflik menyangkut lahan agraria di Sumsel tertinggi, yakni terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin, "ujarnya dalam diskusi terbuka mengenai pertanahan dengan tema Kepastian, Perlindungan Hak atas Tanah dan Penyelesaian Konflik untuk Pembaruan Agraria, kemarin.
Menurut dia, konflik yang muncul menyangkut akses kelola lahan oleh masyarakat, misalnya ada tanah ulayat yang tidak diakui oleh pihak mana pun serta soal praktik langsung hak kelolanya.
Oleh karena itu, lanjutnya, hak kelola masyarakat tidak diakui masyarakat tidak bisa mengakses tanah itu.
Anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menambahkan dengan banyaknya konflik di Sumsel itu menandakan peta penggunaan tanah tidak jelas.
Di sisi lain, katanya, terus terjadi kompetisi dan konflik penggunaan ruang tanah oleh pihak tertentu, antara masyarakat dan perusahaan atau lainnya.
Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Sumsel Mulyadin Roham mengatakan sedikit demi sedikit konflik tanah berhasil diatasi.
Saat ini, ungkapnya, konflik lahan tersebut sudah berhasil diatasi 50% antara perusahaan dan rakyat.
"Dari data yang tercatat di Pemprov Sumsel ada 91 konflik pertanahan yang tersebar di seluruh Sumsel. Namun, separuhnya kini sudah mendekati penyelesaian konflik," ungkapnya.
Dia menjelaskan melalui upaya penyelesaian bersama dengan pemkab/ pemkot konflik itu mulai berkurang.
Menurut Mulyadin, penyelesaian konflik agraria dinilai tidak mudah karena membutuhkan ketelitian serta data-data pendukung dari instansi terkait yang akurat.
Selain itu, jelasnya, surat tanah atau surat lain yang berkaitan dengan tanah yang disengketakan serta batas-batas tanah pun perlu diteliti kembali. (k49)
Bisnis Indonesia
No comments:
Post a Comment