OLEH: USEP SETIAWAN
Pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI, hari ini, untuk periode kedua dan pembentukan kabinet baru yang akan bekerja untuk lima tahun ke depan, berlangsung dalam kondisi bangsa yang belum cukup menggembirakan.
Salah satu masalah yang belum juga teratasi adalah kemiskinan. Kemiskinan yang mendera bangsa masih saja jadi kenyataan pahit tak berkesudahan. Sementara penguasa politik, di atas singgasananya baru pandai menebar janji yang tak kunjung terlunasi. Sudah banyak kajian ilmiah, prakarsa masyarakat dan tak sedikit program pemerintah yang diklaim guna mengatasi kemiskinan, tapi angka kemiskinan tetap saja tinggi dan tak menyentuh akar penyebabnya.
Dalam paparan visi dan misinya, SBY bertekad untuk melanjutkan keberhasilan pembangunan Indonesia seperti yang telah dilaksanakan dalam periode lima tahun yang lalu, meneruskan yang sudah baik dan melakukan perubahan yang diperlukan untuk hal-hal yang belum berhasil dilaksanakan. Tentunya untuk mencapai hasil yang lebih baik lagi untuk memajukan bangsa dan negara dan memberikan kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia. Program Pembangunan yang dilaksanakan adalah pembangunan yang inklusif serta berkeadilan (www.presidenku.com).
Salah satu fokus utama yang dijanjikan SBY dalam lima tahun ke depan adalah menurunkan angka kemiskinan. Menurut BPS (2009), penduduk miskin di Indonesia telah turun sebesar 2,43 juta jiwa. Meski begitu, jumlah penduduk miskin masih sangat besar, yakni 32,5 juta jiwa atau 14,2 persen dari jumlah penduduk. Angka tersebut menandakan bahwa selama ini pemerintah gagal mengenali siapa kaum miskin itu sesungguhnya.
Bantuan Langsung Tanah
Sampai sekarang, sebagian besar orang miskin bertempat tinggal di perdesaan dan mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani. Dari total 28 juta rumah tangga petani (RTP) yang ada di Indonesia, terdapat 6,1 juta RTP di Pulau Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memilikinya, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektare. Jadi, dengan kata lain, saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah petani subsisten (Bonnie Setiawan: 2009). Mereka belum pernah menikmati program nyata yang tepat dari pemerintah untuk menyelesaikan problem utama berupa ketiadaan lahan.
Awal 2007, SBY menjanjikan redistribusi lahan seluas 8,1 juta hektare kepada rakyat miskin. Program ini oleh Badan Pertanahan Nasional RI kemudian diperkenalkan sebagai Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Sampai sekarang, program ini masih jalan di tempat dan seolah kalah pamor dengan program BLT, KUR dan PNPM dan sebagainya (Iwan Nurdin, 2009). Padahal, bukan BLT dalam bentuk uang tunai yang paling dibutuhkan rakyat miskin itu, melainkan BLT dalam arti “bantuan langsung tanah” sebagai matriks dasar kehidupan manusia dalam mencapai kesejahteraan hidupnya secara paripurna. Di negeri agraris, menyediakan tanah bagi rakyat miskin itu jalan keluar utama dari realitas kemiskinan.
Jika negara ini hendak mengentaskan kemiskinan di perdesaan, maka mau tidak mau rakyat miskin harus diberikan aset tanah. Selanjutnya, tentu saja harus diikuti dengan peningkatan akses terhadap modal, teknologi, dan pasar. Dalam kerangka inilah pentingnya menjalankan reformasi agraria sebagai jalan keluar untuk mengatasi persoalan struktural yang dihadapi oleh petani.
Melunasi Utang
Ada beberapa penyebab utama mengapa PPAN tak segera terlaksana. Pertama, program ini disandarkan pada BPN, sebuah lembaga pemerintah nondepartemen yang kurang kuat untuk menjalankan agenda besar ini. Kedua, telah terjadi ego sektoral antar-departemen yang mengelola sumber daya alam sehingga hambatan birokrasi menjadi dominan. Ketiga, belum tersedianya payung hukum untuk menjalankan program yang lintas sektoral tersebut. Keempat, lemahnya dukungan organisasi masyarakat sipil akibat proses PPAN yang cenderung tertutup bagi proses partisipasi dan kritik masyarakat (KPA, 2009).
Ini menandakan dua hal yang saling berkelindan, yakni tak cukup kuatnya komitmen Presiden SBY terhadap program yang telah diucapkannya, dan lemahnya Kabinet Indonesia Bersatu dalam menerjemahkan agenda reformasi agraria ke dalam langkah aksi dan implementasi di masing-masing sektor/bidang. Khusus terkait peran para menteri di kabinet sebagai pembantu presiden, tentu saja perlu dipilih orang-orang yang satu garis komitmen, pemikiran dan praktik dengan presiden untuk menjalankan reformasi agraria. Ketidakpahaman atau ketidakmauan satu atau sejumlah menteri untuk merealisasikan reformasi agraria hendaknya tak terjadi lagi pada kabinet baru yang dibentuk SBY untuk lima tahun ke depan.
Beberapa langkah utama mestinya dilakukan. Presiden SBY memimpin langsung program ini dan segera mengeluarkan UU atau PP pelaksanaan pembaruan agraria yang dijanjikan. Presiden juga membentuk lembaga adhoc pelaksana pembaruan agraria. Komposisi kabinet yang mengelola sumber kekayaan alam, pertanian, kehutanan, kelautan, perkebunan dan pertanahan harus satu visi dalam memberantas kemiskinan struktural melalui realisasi pembaruan agraria.
Di tengah puluhan juta rakyat miskin, tak elok jika pemerintahan SBY Jilid II masih saja ragu dan menyia-nyiakan potensi berupa jutaan hektare tanah objek landreform, tanah telantar, lahan hutan produksi konversi dan tanah kategori lainnya yang layak dinikmati rakyat jelata. Pemerintahan SBY-Boediono punya kesempatan emas untuk melunasi utang bagi rakyat miskin yang memilihnya dengan jalan melanjutkan program pembaruan agraria nasional—tentu saja dengan perbaikan arah, konsep dan kebijakannya. Untuk menjadikan reformasi agraria bergerak dari wacana ke dalam praktik, dari persiapan menuju pelaksanaan.
Hendaknya, pembaruan agraria yang akan dilaksanakan menempatkan kaum miskin sebagai subjek utama yang terlibat secara aktif dan menerima manfaat dari program ini. Prasyaratnya, tentu saja semua menteri di kabinet baru yang dibentuk SBY dan seluruh jajaran pemerintahan pusat hingga daerah juga mesti sepenuhnya mendukung pelaksanaan reformasi agraria sejati, demi rakyat miskin.
Diterbitkan Sinar Harapan,Selasa,20 Oktober 2009
Penulis adalah Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
No comments:
Post a Comment