October 28, 2009

Kabinet Baru, Kemiskinan, dan Reformasi Agraria

OLEH: USEP SETIAWAN

Pelantikan Susilo Bam­bang Yudho­yono (SBY) sebagai Pre­siden RI, hari ini, untuk periode ke­dua dan pembentukan kabinet baru yang akan bekerja untuk lima tahun ke depan, berlangsung dalam kondisi bangsa yang belum cukup menggembirakan.

Salah satu masalah yang belum juga teratasi adalah kemiskinan. Kemiskinan yang mendera bangsa masih saja jadi kenyataan pahit tak berkesudahan. Sementara penguasa politik, di atas singgasananya baru pandai menebar janji yang tak kunjung terlunasi. Su­dah banyak kajian ilmiah, pra­karsa masyarakat dan tak se­dikit program pemerintah yang di­klaim guna mengatasi ke­mis­kinan, tapi angka kemiskinan tetap saja tinggi dan tak me­nyentuh akar penyebabnya.
Dalam paparan visi dan mi­sinya, SBY bertekad untuk me­lanjutkan keberhasilan pemba­ngunan Indonesia seperti yang telah dilaksanakan dalam periode lima tahun yang lalu, me­neruskan yang sudah baik dan melakukan perubahan yang diperlukan untuk hal-hal yang belum berhasil dilaksanakan. Tentunya untuk mencapai hasil yang lebih baik lagi untuk memajukan bangsa dan negara dan memberikan kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia. Program Pembangunan yang di­laksanakan adalah pemba­ngu­nan yang inklusif serta ber­keadilan (www.presidenku.com).
Salah satu fokus utama yang dijanjikan SBY dalam lima tahun ke depan adalah menurunkan angka kemiskinan. Menurut BPS (2009), penduduk miskin di Indonesia telah turun sebesar 2,43 juta jiwa. Meski begitu, jumlah penduduk miskin masih sangat besar, yakni 32,5 juta jiwa atau 14,2 persen dari jumlah penduduk. Angka tersebut menan­da­kan bahwa selama ini pe­me­rintah gagal mengenali siapa kaum miskin itu sesungguhnya.

Bantuan Langsung Tanah
Sampai sekarang, sebagian besar orang miskin bertempat tinggal di perdesaan dan mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani. Dari total 28 juta rumah tangga petani (RTP) yang ada di Indonesia, terdapat 6,1 juta RTP di Pulau Jawa yang tidak memiliki lahan sa­ma sekali dan 5 juta RTP tak ber­­tanah di luar Jawa. Se­dang­kan bagi mereka yang memilikinya, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektare. Jadi, dengan kata lain, saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah petani subsisten (Bonnie Setia­wan: 2009). Mereka belum pernah menikmati program nyata yang tepat dari pemerintah untuk menyelesaikan problem utama berupa ketiadaan lahan.
Awal 2007, SBY menjanjikan redistribusi lahan seluas 8,1 juta hektare kepada rakyat miskin. Program ini oleh Badan Pertanahan Nasional RI kemudian diperkenalkan sebagai Pro­gram Pembaruan Agraria Na­sional (PPAN). Sampai seka­rang, program ini masih jalan di tempat dan seolah kalah pa­mor dengan program BLT, KUR dan PNPM dan sebagai­nya (Iwan Nurdin, 2009). Padahal, bukan BLT dalam bentuk uang tunai yang paling dibutuhkan rakyat miskin itu, melainkan BLT dalam arti “ban­tuan langsung tanah” se­bagai matriks dasar kehidupan manusia dalam mencapai kesejahteraan hidupnya secara paripurna. Di negeri agraris, menyediakan tanah bagi rakyat miskin itu jalan keluar utama dari realitas kemiskinan.
Jika negara ini hendak me­ngentaskan kemiskinan di per­desaan, maka mau tidak mau rakyat miskin harus diberikan aset tanah. Selanjutnya, tentu saja harus diikuti dengan pe­ning­katan akses terhadap mo­dal, teknologi, dan pasar. Da­lam kerangka inilah penting­nya menjalankan reformasi ag­raria sebagai jalan keluar un­tuk mengatasi persoalan struk­tu­ral yang dihadapi oleh petani.

Melunasi Utang
Ada beberapa penyebab utama mengapa PPAN tak se­gera terlaksana. Pertama, program ini disandarkan pada BPN, sebuah lembaga pemerintah nondepartemen yang ku­rang kuat untuk menjalankan agenda besar ini. Kedua, telah ter­jadi ego sektoral antar-de­partemen yang mengelola sumber daya alam sehingga hambatan birokrasi menjadi dominan. Ketiga, belum tersedianya payung hukum untuk menjalankan program yang lintas sektoral tersebut. Keempat, lemahnya dukungan organisasi masyarakat sipil akibat proses PPAN yang cenderung tertutup bagi proses partisipasi dan kritik masyarakat (KPA, 2009).
Ini menandakan dua hal yang saling berkelindan, yakni tak cukup kuatnya komitmen Presiden SBY terhadap program yang telah diucapkannya, dan lemahnya Kabinet Indo­nesia Bersatu dalam menerje­mah­kan agenda reformasi ag­raria ke dalam langkah aksi dan implementasi di masing-ma­sing sektor/bidang. Khusus ter­kait peran para menteri di ka­binet sebagai pembantu pre­siden, tentu saja perlu dipilih orang-orang yang satu garis ko­mitmen, pemikiran dan praktik dengan presiden untuk menjalankan reformasi agraria. Ketidakpahaman atau ketidak­ma­uan satu atau sejumlah menteri untuk merealisasikan reformasi agraria hendaknya tak terjadi lagi pada kabinet baru yang dibentuk SBY untuk lima tahun ke depan.
Beberapa langkah utama mestinya dilakukan. Presiden SBY memimpin langsung program ini dan segera menge­luar­kan UU atau PP pelaksanaan pembaruan agraria yang dijanjikan. Presiden juga membentuk lembaga adhoc pelaksana pem­baruan agraria. Komposisi kabinet yang mengelola sumber kekayaan alam, pertanian, kehutanan, kelautan, perkebunan dan pertanahan harus satu visi dalam memberantas ke­miskinan struktural melalui realisasi pembaruan agraria.
Di tengah puluhan juta rak­yat miskin, tak elok jika peme­rintahan SBY Jilid II masih saja ragu dan menyia-nyiakan po­tensi berupa jutaan hektare ta­nah objek landreform, tanah te­lantar, lahan hutan produksi kon­­­versi dan tanah kategori lain­­­nya yang layak dinikmati rak­­yat jelata. Pemerintahan SBY-Boediono punya kesempa­tan emas untuk melunasi utang ba­gi rakyat miskin yang me­mi­lih­nya dengan jalan me­lan­jut­kan program pembaruan ag­ra­ria nasional—tentu saja de­ngan perbaikan arah, konsep dan ke­bijakannya. Untuk men­ja­dikan reformasi agraria bergerak dari wacana ke dalam prak­tik, dari persiapan menuju pelaksanaan.
Hendaknya, pembaruan ag­raria yang akan dilaksanakan menempatkan kaum miskin sebagai subjek utama yang terlibat secara aktif dan menerima manfaat dari program ini. Pra­syaratnya, tentu saja semua menteri di kabinet baru yang di­bentuk SBY dan seluruh ja­jaran pemerintahan pusat hing­­ga daerah juga mesti sepe­nuhnya mendukung pelaksa­naan reformasi agraria sejati, de­mi rakyat miskin.

Diterbitkan Sinar Harapan,Selasa,20 Oktober 2009
Penulis adalah Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

No comments: