November 18, 2009

Sumsel Peringkat Tujuh

KORAN SINDO, Monday, 16 November 2009
PALEMBANG(SI) – Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) konflik agraria di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) ternyata menduduki peringkat tujuh secara nasional.


Manajer wilayah Sumatera Eksekutif Nasional Walhi Mukri Friatna mengungkapkan, sebanyak 30% dari 3 juta hektare kawasan hutan di Sumsel, diantaranya mengandung konflik agraria. Mayoritas konflik terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan serta pihak pengelola hutan. Dia mengatakan, peringkat tersebut tergolong tinggi. Daerah dengan konflik pertanahan terbanyak di Indonesia atau peringkat pertama adalah Nusa Tenggara Timur (NTT),disusul Lampung,Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Poso, dan Kalimantan Timur serta Sumsel.

Data peringkat konflik ini adalah data per tahun 2008 lalu. “Dari hampir 3 juta hektar kawasan hutan di Sumsel, 30% diantaranya mengandung konflik agraria,”ujar Mukri dalam diskusi terbuka mengenai pertanahan dengan tema kepastian, perlindungan hak atas tanah dan penyelesaian konflik untuk pembaruan agraria di hotel Bumi Asih Palembang,kemarin. Dia mengatakan, konflik menyangkut lahan agraria di Sumsel tertinggi terjadi di Kabupaten OKI dan MUBA.

Menurut dia,konflik yang muncul menyangkut akses kelola lahan oleh masyarakat. Contohnya ada tanah ulayat yang tidak diakui pihak manapun serta soal praktik langsung hak kelolanya.“Oleh karena hak kelola masyarakat tidak diakui,maka masyarakat tidak bisa mengakses tanah itu,” ujar Mukri sembari mengkritisi pemerintahan SBY yang hingga kini belum merealisasikan reformasi agraria seperti yang telah dijanjikan pada masa kampanye. Anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menilai peta penggunaan tanah tidak jelas.

Selain itu ketiadaan lahan menjadi persoalan pertanahan di Indonesia. Di sisi lain terus terjadi kompetisi dan konflik penggunaan ruang tanah oleh pihak tertentu, antara masyarakat dengan perusahaan atau lainnya.“Sebagian besar lahan-lahan tersebut dikuasai oleh perusahaan besar,”ujarnya. Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Sumsel Mulyadin Roham mengatakan, sedikitdemisedikitkonflik tanah berhasil diatasi. Saat ini berhasil diatasi 50% konflik tanah dari yang ada di Sumsel. Dia mengakui konflik yang terjadi antara perusahaan perkebunan dan masyarakat.

“Dari data yang tercatat di Pemprov Sumsel ada 91 konflik pertanahan yang tersebar di seluruh Sumsel. Namun separuhnya kini sudah mendekati penyelesaian konflik. Melalui upaya penyelesaian bersama dengan Pemkab/Pemkot, konflik itu sudah mulai berkurang,” ujar nya. Dia menjelaskan,penyelesaian konflik agraria dinilai tidak mudah, membutuhkan ketelitian serta data-data pendukung dari instansi terkait yang akurat.Surat tanah atau surat lain yang berkaitan dengan tanah yang disengketakan serta batas-batas tanah pun perlu diteliti kembali.

Dia mengungkapkan perlunya mereformasi birokrasi di tingkat desa, kelurahan atau kecamatan. Alasannya para pejabat pemerintahan tersebut sering mengeluarkan surat keterangan tanah di wilayah masing-masing.Akibatnya sering muncul konflik pertanahan. (jimmy octa harto)

No comments: