JAKARTA, KOMPAS.com - Indra, Anggota Tim Reformasi Agraria Fraksi Partai Keadilan Sejahetera di Jakarta, Senin (6/2/2012) menilai, menggunungnya persoalan sengketa agraria tersebut disebabkan oleh tidak sinkronnya perundang - undangan terkait agraria dan adanya penyalahgunaan kekuasan oleh penguasa.
Sengketa agraria yang mencuat dan menjadi perhatian publik akhir-akhir ini, seperti kasus Mesuji di Lampung (warga adat dan PT Silva Inhutani di tanah register 45 di kawasan Way Buayaserta warga Desa Sri Tanjung, Nipah Kuning, dan Keagungan Dalam versus PT Barat Selatan Makmur Investindo), Mesuji di Sumatera Selatan (di derah desa sungai sodong OKI bersengketa dengan PT SWA).
Kasus di Riau, penembakan enam masyarakat oleh Brimob dari Polda Sumatera Utara (warga desa Batang Kumuh, kecamatan Tambusai, kabupaten Rokan Hulu, Riauversus PT Mazumah Agro Indonesia), Pulau Padang yang sekarang sedang kemah di depan DPR (antara warga Pulau Padang, Kabupaten Meranti dan PT RAPP), Bima, dan Papua.
Semua kasus ini merupakan puncak gunung es dari Sengketa Agraria yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Tahun 2011 lalu, Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin di Kompas, Senin (5/2) mengatakan, terjadi konflik agraria sebanyak 69.975 keluarga yang melibatkan areal seluas 472.048,44 hektar lahan.
Dalam analisis substansi hukum, Indra menganggap perlu sinkronisasi UU No 5 tahun 1960 tentang Pokok - Pokok Agaraia dengan UU lainnya agar bisa menyelesaikan masalah tanpa masalah.
"Berbicara substansi banyak sekali benturan antara satu UU dengan UU lainnya, seperti UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Kehutanan, UU perkebunan,UU Perikanan, UU Migas , UU Lingkungan Hidup, UU Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil " jelasnya.
Dalam hal pelaksanaan peraturan perundang - undangan yang saling berbenturan tersebut diperparah dengan sikap dan mentalitas Instansi terkait, mulai dari BPN, Kementrian Kehutanan, Kementrian ESDM, dan Pemerintah Daerah yang kerapkali menjadi alat bagi pegusaha dalam mengembangkan usahanya, yang tentu akan mengabaikan hak dan kepentingan masyarakat kecil.
Tidak heran jika tanah ulayat, tanah adat, dan bahkan tanah bersertifikatpun dirampas dan diabaikan eksistensinya demi kepentingan para pemodal dan dengan dalih investasi.
"Padahal kita mengetahui secara nyata Spirit Pengelolaan agrarian yang baik dan benar telah dituntun Pasal 33ayat 3 UUD 1945 bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan Negara merujuk pada prinsip pengayoman oleh instansi pemerintah terkait, bukan memanfaatkan kekuasaan untuk menyengsarakan rakyat dengan mengambil dan menyerahkan kepada investor asing maupun dalam negeri," ujarnya.
Sengketa agraria yang mencuat dan menjadi perhatian publik akhir-akhir ini, seperti kasus Mesuji di Lampung (warga adat dan PT Silva Inhutani di tanah register 45 di kawasan Way Buayaserta warga Desa Sri Tanjung, Nipah Kuning, dan Keagungan Dalam versus PT Barat Selatan Makmur Investindo), Mesuji di Sumatera Selatan (di derah desa sungai sodong OKI bersengketa dengan PT SWA).
Kasus di Riau, penembakan enam masyarakat oleh Brimob dari Polda Sumatera Utara (warga desa Batang Kumuh, kecamatan Tambusai, kabupaten Rokan Hulu, Riauversus PT Mazumah Agro Indonesia), Pulau Padang yang sekarang sedang kemah di depan DPR (antara warga Pulau Padang, Kabupaten Meranti dan PT RAPP), Bima, dan Papua.
Semua kasus ini merupakan puncak gunung es dari Sengketa Agraria yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Tahun 2011 lalu, Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin di Kompas, Senin (5/2) mengatakan, terjadi konflik agraria sebanyak 69.975 keluarga yang melibatkan areal seluas 472.048,44 hektar lahan.
Dalam analisis substansi hukum, Indra menganggap perlu sinkronisasi UU No 5 tahun 1960 tentang Pokok - Pokok Agaraia dengan UU lainnya agar bisa menyelesaikan masalah tanpa masalah.
"Berbicara substansi banyak sekali benturan antara satu UU dengan UU lainnya, seperti UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Kehutanan, UU perkebunan,UU Perikanan, UU Migas , UU Lingkungan Hidup, UU Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil " jelasnya.
Dalam hal pelaksanaan peraturan perundang - undangan yang saling berbenturan tersebut diperparah dengan sikap dan mentalitas Instansi terkait, mulai dari BPN, Kementrian Kehutanan, Kementrian ESDM, dan Pemerintah Daerah yang kerapkali menjadi alat bagi pegusaha dalam mengembangkan usahanya, yang tentu akan mengabaikan hak dan kepentingan masyarakat kecil.
Tidak heran jika tanah ulayat, tanah adat, dan bahkan tanah bersertifikatpun dirampas dan diabaikan eksistensinya demi kepentingan para pemodal dan dengan dalih investasi.
"Padahal kita mengetahui secara nyata Spirit Pengelolaan agrarian yang baik dan benar telah dituntun Pasal 33ayat 3 UUD 1945 bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan Negara merujuk pada prinsip pengayoman oleh instansi pemerintah terkait, bukan memanfaatkan kekuasaan untuk menyengsarakan rakyat dengan mengambil dan menyerahkan kepada investor asing maupun dalam negeri," ujarnya.
No comments:
Post a Comment