January 16, 2012

Ketimpangan Penguasaan Lahan Menjadi Persoalan

Kompas Cetak, Jumat, 06 Januari 2012

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, biasa disebut UUPA, tidak membenarkan penguasaan tanah yang melampaui batas. Pengaturan batas minimum dimaksudkan supaya setiap orang mencapai skala usaha ekonomi dalam produksi pertanian. Batas maksimum dimaksudkan supaya setiap orang mengerjakan tanah berdasarkan kemampuannya. Bila penguasaan tanah melebihi kemampuan, berarti mempekerjakan buruh dalam mengelola tanah itu. Hal ini tidak dikehendaki UUPA.

Namun, menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Idham Arsyad, beberapa saat lalu, selama Orde Baru hingga masa reformasi, amanat UUPA diabaikan. Penguasaan tanah didasarkan pada sektoralisme hukum agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Misalnya, hutan oleh Kementerian Kehutanan dan perkebunan oleh Kementerian Pertanian. Selain itu terjadi penurunan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat akibat eksploitasi lahan yang berlebihan dan tidak terkendali sejak masa Orde Baru hingga kini.

Persoalan yang hampir selalu jadi pemicu konflik adalah ketimpangan penguasa dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah ataupun sumber daya alam. Pemerintah tampak membabi buta dalam memberikan izin dan hak eksploitasi hutan, lahan tambang, perkebunan besar, dan pembukaan tambak.

Menurut Idham, masalah ketimpangan bisa disaksikan dalam hal penguasaan aset produktif nasional. Hanya 0,2 persen penduduk negeri ini menguasi 56 persen aset nasional yang sebagian besar dalam bentuk tanah. Ketimpangan juga berlangsung di sektor kehutanan. Sampai kini sekitar 17,38 juta hektar diberikan kepada 248 perusahaan dalam bentuk izin usaha pengusahaan hasil hutan dan kayu (IUPHHK) dan 8,8 juta hektar untuk hutan tanaman industri (HTI). Sekitar 15 juta hektar untuk hak guna usaha (HGU) bidang perkebunan.

Ketimpangan agraria juga ditunjukan dengan 35 persen daratan Indonesia dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batu bara. Ironisnya, terjadi peningkatan jumlah petani kecil. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada periode 1993-2003, jumlah petani gurem meningkat dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta orang.

Idham menyodorkan kondisi getir petani Indonesia. Dari total 28 juta rumah tangga petani (RTP) di Indonesia, terdapat 6,1 juta RTP di Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Bagi mereka yang memiliki lahan, rata-rata pemilikannya hanya 0,36 hektar.

Rentetan kasus konflik agraria pun hanyalah puncak gunung es dari persoalan agraria yang hingga kini tidak pernah terselesaikan pemerintah. Dari catatan KPA, di tahun 2011 saja tercatat 163 konflik agraria di seluruh Indonesia, yang melibatkan 69.975 keluarga dengan luasan areal konflik mencapai 472.048,44 hektar. Tahun 2011, warga yang tewas akibat konflik agraria mencapai 22 orang. Dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah konflik dan warga yang tewas meningkat tajam. Tahun 2010 terdapat 106 konflik agraria dengan tiga korban jiwa.

Iwan Nurdin dari KPA pun melacak eskalasi konflik agraria yang meningkat pasca pengesahan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Begitu UU itu disahkan, investasi yang paling banyak masuk ke negeri ini adalah perkebunan dan pertambangan. Tahun 2008-2009 bisa dikatakan sebagai tahun pengurusan izin oleh investor. Tahun 2010 tahapannya negosiasi dengan masyarakat, sosialisasi pemerintah daerah (pemda), kepada rakyatnya soal investor yang masuk ke daerah.

”Tahun 2011 saatnya rakyat memakai instrumen demokrasi untuk menolak. Mereka melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan ke DPR,” kata Iwan. Tanpa upaya tegas melaksanakan pembaruan agraria, konflik yang lebih besar terjadi di masa mendatang.

No comments: