Kompas, Kamis, 05 januari 2012
Mata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkaca-kaca, mulutnya tertahan sejenak tak mampu melanjutkan pidatonya. Presiden tak kuasa menahan haru, lalu menitikkan air mata. Itu terjadi di Istana Bogor pada 21 Oktober 2010 dalam peringatan ke-50 Hari Agraria.
”Saya terharu melihat tadi,” ujar Presiden kala itu. Untuk sesaat, ia seperti tak mampu melanjutkan kata-katanya.
Sebelumnya, Presiden menyaksikan tayangan video tentang permasalahan tanah dan petani di Cilacap, Jawa Tengah. Tak berapa lama, Presiden pun melanjutkan pidato. Kata dia, tema besar yang diusung pemerintah adalah tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.
”Mari camkan betul tema besar ini, misi besar ini agar di negeri kita rakyat menjadi tuan tanah, menjadi tuan yang memiliki bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,” ujar Presiden.
Saat itu, Presiden membagikan sertifikat tanah kepada 10 petani. Mereka bagian dari 5.100 keluarga dari empat desa di Cilacap yang memenuhi syarat mendapat redistribusi lahan seluas 266 hektar.
Pencitraan
Banyak yang mengganggap air mata Presiden ketika itu merupakan bagian dari politik pencitraan semata. Baca misalnya bagaiman Direktur Reform Institute Yudi Latif dalam kolomnya di Kompas saat itu mengatakan, makna air mata tersebut hanya Presiden yang tahu. Itu karena, menurut Yudi, satu hal yang pasti, jeritan harapan keadilan korban lumpur Lapindo belum kunjung terkabulkan. Sementara itu, selama masa pemerintahan Yudhoyono, otoritas Badan Pertanahan Nasional mengizinkan jutaan hektar tanah dikuasai segelintir orang (terutama modal asing) yang kian meminggirkan akses rakyat kecil atas lahan. Yudi pun bertanya, apakah Presiden tak menyadarinya?
Bagi Yudi, dengan kesenjangan yang lebar antara ekspresi keharuan dan ekspresi keadilan, tetes air mata Presiden belum sanggup meneteskan air mata rakyatnya. Terlebih klaim redistribusi lahan kepada 5.100 keluarga petani di Cilacap belakangan ternyata diketahui hanya akal-akalan yang dibuat seolah memang telah ada tanah yang dibagi-bagikan kepada petani.
Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengungkapkan, 266 hektar yang dibagikan kepada petani Cilacap tersebut sejak 1960-an memang merupakan areal yang hendak dibagikan kepada rakyat dalam bentuk Surat Keputusan Redistribusi. Belakangan, tanah tersebut dikuasai PT Rumpun Sari Antan. Setelah masa hak guna usaha perusahaan itu habis, rakyat akhirnya mendapatkan haknya yang tertunda puluhan tahun. ”Dan, tidak gratis karena rakyat harus bayar Rp 15.000 per meter,” kata Iwan.
Jadi, menurut Iwan, sertifikat tanah yang dibagikan Presiden tersebut bukanlah bagian dari redistribusi lahan yang menjadi inti pembaruan agraria. Hal ini karena sejak awal memang tanah tersebut hak petani Cilacap.
Tangisan Presiden makin terlihat sebagai bagian pencitraan jika kita melacak lebih ke belakang saat dia hendak maju dalam Pemilu Presiden 2004 bersama Jusuf Kalla. Saat itu, Yudhoyono-Kalla membuat buku visi, misi, dan program capres dan cawapres dengan judul Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera. Yudhoyono menulis, agenda pembangunan yang dia janjikan selama 2004-2009 salah satunya adalah mendorong pelaksanaan refroma agraria (halaman 56). Janji revitalisasi pertanian dan pedesaan Yudhoyono kala itu dengan jelas disebutkan, salah satunya melaksanakan reforma agraria.
Inti pembaruan agraria adalah land reform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah (Usep Setiawan, 2010). Sekretaris Jenderal, KPA Idham Arsyad mengatakan, land reform dalam pengertian sempit adalah redistribusi tanah kepada orang yang tidak bertanah. Dalam pengertian yang lebih luas, land reform bermakna sebagai upaya untuk menata struktur kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah dan sumber daya alam yang timpang untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan. Dengan demikian, UUPA tidak menghendaki adanya ketimpangan penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah dan sumber daya alam.
Sudahkah tunaikah janji Presiden Yudhoyono melakukan pembaruan agraria? Konflik tanah di Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan, hingga bentrokan warga yang menolak pertambangan dengan aparat di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, membuat kita membuka mata konflik agraria seperti bom waktu yang bisa meledak kapan pun selama pemerintah tak pernah tuntas menyelesaikan pembaruan agraria.
Di masa Presiden Soekarno, pemerintah memiliki perangkat lengkap untuk melakukan pembaruan agraria melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal dengan sebutan UUPA). Menurut Idham, UUPA disusun agar tanah dan sumber daya alam benar-benar digunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. UUPA menjadi hukum agraria nasional baru menggantikan kebijakan agraria kolonial. UUPA sebagai perwujudan Indonesia merdeka agar tanah dan sumber daya alam menjadi alat kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Sejak dikeluarkan UUPA pada 1960, semua peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada Agrarische Wet 1870 dinyatakan tidak berlaku.
Mata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkaca-kaca, mulutnya tertahan sejenak tak mampu melanjutkan pidatonya. Presiden tak kuasa menahan haru, lalu menitikkan air mata. Itu terjadi di Istana Bogor pada 21 Oktober 2010 dalam peringatan ke-50 Hari Agraria.
”Saya terharu melihat tadi,” ujar Presiden kala itu. Untuk sesaat, ia seperti tak mampu melanjutkan kata-katanya.
Sebelumnya, Presiden menyaksikan tayangan video tentang permasalahan tanah dan petani di Cilacap, Jawa Tengah. Tak berapa lama, Presiden pun melanjutkan pidato. Kata dia, tema besar yang diusung pemerintah adalah tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.
”Mari camkan betul tema besar ini, misi besar ini agar di negeri kita rakyat menjadi tuan tanah, menjadi tuan yang memiliki bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,” ujar Presiden.
Saat itu, Presiden membagikan sertifikat tanah kepada 10 petani. Mereka bagian dari 5.100 keluarga dari empat desa di Cilacap yang memenuhi syarat mendapat redistribusi lahan seluas 266 hektar.
Pencitraan
Banyak yang mengganggap air mata Presiden ketika itu merupakan bagian dari politik pencitraan semata. Baca misalnya bagaiman Direktur Reform Institute Yudi Latif dalam kolomnya di Kompas saat itu mengatakan, makna air mata tersebut hanya Presiden yang tahu. Itu karena, menurut Yudi, satu hal yang pasti, jeritan harapan keadilan korban lumpur Lapindo belum kunjung terkabulkan. Sementara itu, selama masa pemerintahan Yudhoyono, otoritas Badan Pertanahan Nasional mengizinkan jutaan hektar tanah dikuasai segelintir orang (terutama modal asing) yang kian meminggirkan akses rakyat kecil atas lahan. Yudi pun bertanya, apakah Presiden tak menyadarinya?
Bagi Yudi, dengan kesenjangan yang lebar antara ekspresi keharuan dan ekspresi keadilan, tetes air mata Presiden belum sanggup meneteskan air mata rakyatnya. Terlebih klaim redistribusi lahan kepada 5.100 keluarga petani di Cilacap belakangan ternyata diketahui hanya akal-akalan yang dibuat seolah memang telah ada tanah yang dibagi-bagikan kepada petani.
Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengungkapkan, 266 hektar yang dibagikan kepada petani Cilacap tersebut sejak 1960-an memang merupakan areal yang hendak dibagikan kepada rakyat dalam bentuk Surat Keputusan Redistribusi. Belakangan, tanah tersebut dikuasai PT Rumpun Sari Antan. Setelah masa hak guna usaha perusahaan itu habis, rakyat akhirnya mendapatkan haknya yang tertunda puluhan tahun. ”Dan, tidak gratis karena rakyat harus bayar Rp 15.000 per meter,” kata Iwan.
Jadi, menurut Iwan, sertifikat tanah yang dibagikan Presiden tersebut bukanlah bagian dari redistribusi lahan yang menjadi inti pembaruan agraria. Hal ini karena sejak awal memang tanah tersebut hak petani Cilacap.
Tangisan Presiden makin terlihat sebagai bagian pencitraan jika kita melacak lebih ke belakang saat dia hendak maju dalam Pemilu Presiden 2004 bersama Jusuf Kalla. Saat itu, Yudhoyono-Kalla membuat buku visi, misi, dan program capres dan cawapres dengan judul Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera. Yudhoyono menulis, agenda pembangunan yang dia janjikan selama 2004-2009 salah satunya adalah mendorong pelaksanaan refroma agraria (halaman 56). Janji revitalisasi pertanian dan pedesaan Yudhoyono kala itu dengan jelas disebutkan, salah satunya melaksanakan reforma agraria.
Inti pembaruan agraria adalah land reform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah (Usep Setiawan, 2010). Sekretaris Jenderal, KPA Idham Arsyad mengatakan, land reform dalam pengertian sempit adalah redistribusi tanah kepada orang yang tidak bertanah. Dalam pengertian yang lebih luas, land reform bermakna sebagai upaya untuk menata struktur kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah dan sumber daya alam yang timpang untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan. Dengan demikian, UUPA tidak menghendaki adanya ketimpangan penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah dan sumber daya alam.
Sudahkah tunaikah janji Presiden Yudhoyono melakukan pembaruan agraria? Konflik tanah di Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan, hingga bentrokan warga yang menolak pertambangan dengan aparat di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, membuat kita membuka mata konflik agraria seperti bom waktu yang bisa meledak kapan pun selama pemerintah tak pernah tuntas menyelesaikan pembaruan agraria.
Di masa Presiden Soekarno, pemerintah memiliki perangkat lengkap untuk melakukan pembaruan agraria melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal dengan sebutan UUPA). Menurut Idham, UUPA disusun agar tanah dan sumber daya alam benar-benar digunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. UUPA menjadi hukum agraria nasional baru menggantikan kebijakan agraria kolonial. UUPA sebagai perwujudan Indonesia merdeka agar tanah dan sumber daya alam menjadi alat kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Sejak dikeluarkan UUPA pada 1960, semua peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada Agrarische Wet 1870 dinyatakan tidak berlaku.
No comments:
Post a Comment