July 26, 2007

Libatkan Rakyat dalam Reforma Agraria


[JAKARTA-Suara Pembaruan] Sejumlah pihak menyambut baik pernyataan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto bahwa program reforma agraria sudah siap dilakukan.

Tapi program tersebut sebaiknya melibatkan rakyat, dalam arti sejauh mana rakyat diberi ruang dan peluang untuk terlibat secara aktif dalam persiapan, pelaksanaan, pengawasan hingga penilaian akhir atas program tersebut.

Hal itu dikatakan Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Usep Setiawan di Jakarta, Kamis (7/6), mengomentari pernyataan Kepala BPN soal program reforma agraria.

Menurut Usep, pernyataan Kepala BPN merupakan konsensus nasional baru dalam menata struktur dan sistem agraria untuk keadilan sosial seluruh rakyat. "Secara umum desain mengenai objek (tanah), subjek (rakyat), mekanisme pembagian tanah, dan kelembagaan dalam pelaksanaan reforma agraria yang disampaikan Kepala BPN sudah cukup memadai. Yang perlu diperjelas dan dipertegas adalah mengenai detail dari keseluruhan desain implementasi program ini yang masih kita tunggu," katanya.

Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) Lalu Misbah Hidayat dan Ali Mubarak S dalam diskusi bertajuk "Kaji Ulang Kebijakan Agraria, PSDA dan Lingkungan Hidup" di Jakarta, Rabu (6/6), sependapat bahwa pada prinsipnya pengelolaan tanah dan kekayaan bumi negeri ini harus bermuara untuk kesejahteraan rakyat.

Masalah kesejahteraan rakyat, menurut Ali Mubarak, sudah ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945. Namun penjelasan dan tafsir dari Pasal 33 tersebut masih harus didefinisikan secara jelas dan konkret agar ti- dak disalahgunakan oleh penguasa.


Konflik Tanah

Sementara itu, pengamat ekonomi dari UGM, Revrison Baswier dalam diskusi tersebut mengatakan, terjadinya kekerasan dalam konflik tanah antara rakyat dengan TNI, pemerintah, dan pengusaha akhir-akhir ini akibat struktur ekonomi Indonesia masih mempertahankan warisan kolonial. Bahkan pasca reformasi 1998, kebijakan pemerintah melalui produk undang-undang dan berbagai peraturan yang lain makin mempertegas dan mematangkan neokolonialisme kapitalis.

Usep mengatakan, konflik tanah seperti yang terjadi di Pasuruan pada 30 Mei lalu membuktikan otoritarianisme masih belum berubah, perlindungan HAM bagi rakyat masih jauh, dan rencana pelaksanaan pembaruan agraria dikhawatirkan tersandera oleh sikap represif aparat TNI maupun Polri. Dari 1.753 kasus sejak 1970 hingga 2001, tidak kurang 29 persen melibatkan TNI.

Usep mencatat sepanjang Januari - April 2007 terjadi peningkatan kekerasan terhadap petani di sejumlah tempat di Indonesia. Intesnitas kekerasan itu kata Usep, terkait dengan diberlakukannya berbagai produk kebijakan yang membuka pintu represi terhadap rakyat. Seperti UU Perkebunan, UU Sumberdaya Air, UU kehutanan, UU pertambangan, UU Penanaman Modal, dan Perpres 65/2006.

Karena begitu banyak sengketa tanah yang melibatkan militer di Jawa Timur yang secara kuantitatif berhadapan dengan institusi resmi (TNI AD, TNI AL, TNI AU), sehingga telah melahirkan sebuah tanda tanya besar ada apa di balik sengeketa tanah dengan militer, atau sengketa tanah yang disebabkan perampasan tanah oleh militer?

Mencermati tingginya keterlibatan militer dalam konflik tanah di Indonesia dan hampir semua konflik itu berujung pada kekerasan dan jatuhnya korban jiwa, KPA menyatakan "jadikan tanah rakyat yang dikuasai militer secara tidak sah sebagai obyek land reform!" dengan menyerukan agar pemerintah mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menertibkan segala bentuk penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria oleh militer yang dikuasai rakyat.

Tanah-tanah yang dikuasai militer yang berasal dari tanah rakyat yang penguasaannya diperoleh melalui cara-cara kekerasan dan sedang dituntut agar dijadikan objek land reform dan dikembalikan kepada rakyat. [L-8]