Oleh: Iwan Nurdin
A. Pendahuluan
Untuk mengajak mengingat kembali, pada tahun 2005 kita sebagai bangsa pernah mengalami keadaan meluasnya bencana rawan pangan, mal nutrisi, busung lapar, hingga bencana kelaparan di beberapa titik di Indonesia. Kemudian, keadaan memuncak dengan terjadinya tragedi kelaparan di Kab. Yahukimo, Provinsi Papua setelah sebelumnya telah terjadi rawan pangan, mal nutrisi, dan busung lapar di Lombok, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Lampung bahkan di DKI Jakarta.
Kemudian, berita tersebut berangsur-angsur mulai menghilang, berganti dengan wacana pemerintah dalam menjalankan rencana Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK).
Hampir tiga tahun setelah wacana RPPK digulirkan, pada akhir tahun 2007 hingga awal 2008, kita kembali mendapatkan sekumpulan berita naiknya harga kebutuhan pangan semisal beras, kedelai, minyak goring, tepung terigu. Naiknya harga-harga ini sebenarnya sebuah sinyal nyata menuju situasi rawan pangan dan bahkan bencana kelaparan pada kelompok-kelompok rakyat miskin di perdesaan dan perkotaan.
Menurut kawan-kawan ini adalah bukti nyata bahwa pemerintah ini sebenarnya sangat sulit dalam menggeser kemampuan berwacananya kedalam praktek. Namun, sebagian yang lain menyatakan bahwa ini adalah buah langsung kebijakan RPPK. Sebab melakukan revitalisasi kebijakan pertanian Orde Baru.
Lepas dari perdebatan ini, telah diketahui bersama bahwa kantong-kantong kemiskinan utama di Indonesia sebenarnya adalah wilayah perdesaan. Persoalan ini tidak lain karena peruntukan sumber-sumber agraria di pedesaan lebih diutamakan untuk kepentingan korporasi ketimbang rakyat.
Sementara, hasil dari pemiskinan di pedesaan sebenarnya bisa kita lihat dengan jelas mulai dari kelompok miskin diperkotaaan yang sebelumnya banyak berasal dari desa hinga tenaga kerja migrant di luar negeri yang tidak mendapatkan perlindungan secara hukum, sosial dan ekonomi.
B. Ketimpangan Agraria
Peruntukan sumber-sumber agraria khususnya tanah, air dan kekayaan alam di dalamnya kepada korporasi ketimbang rakyat telah menyebabkan meningkatnya ketimpangan struktur kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan agraria di Indonesia.
Sebenarnya, persoalan agraria di Indonesia berupa kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian yang sempit dan timpang di pedesaan bukan hal baru. Sejak awal abad XX pemerintah Belanda menyadari hal ini melalui survei yang dilakukan tahun 1903. hasilnya menunjukkan bahwa hampir separuh petani menguasai lahan kurang 0.50 Ha (Mubyarto, 2003) .
Kondisi ini tidak banyak berubah setelah kita merdeka. Hasil Sensus Pertanian 1983, rata-rata penguasaan tanah untuk setiap Rumah Tangga Petani Indonesia 0.98 Ha. Sementara di dalamnya, khusus di pulau Jawa 0.58 Ha dan 1.58 Ha diluar Jawa. Kenyataan tersebut semakin parah dalam satu dekade berikutnya. Menurut hasil Sensus Pertanian tahun 1993, pemilikan rata-rata menjadi 0.83 Ha untuk setiap Rumah Tangga Petani dan di dalamnya adalah rata-rata 0.47 Ha untuk Jawa dan 1.27 Ha untuk di luar Jawa .
Dalam realitas kepemilikan dan penguasaan tanah tersebut diatas, jumlah petani gurem (dengan kepemilikan tanah kurang atau sama dengan 0.20 Ha) terus bertambah. Pada tahun 1983 jumlah petani gurem sebesar 9.532.000 dan menjadi 10.937.000 pada tahun 1993 . Sementara, menurut sensus pertanian 2003 jumlah petani gurem (<0.5Ha) telah bertambah dari 10,9 juta KK pada tahun 1993 menjadi 13, 7 juta KK pada tahun 2003 .
Juga, angka Nilai Tukar Petani (NTP) yang merupakan rasio antara indeks harga yang diterima petani (IT) dengan indeks harga yang harus dibayar petani (IB) dan dinyatakan dinyatakan dalam persen juga terus menurun. Menurut data BPS, angka NTP Februari 2005 sebesar 100,05 persen. Angka itu turun 1,22 persen dibandingkan dengan angka Januari 2005 sebesar 101,29%. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan IT sebesar 0,77 persen dan pada saat yang sama terjadi kenaikan IB sebesar 0.46persen
Dari sekumpulan data tersebut, maka kesimpulan yang mengarahkan bahwa telah terjadi proses pemiskinan terus menerus selama puluhan tahun dalam dunia tani nasional kita bukanlah isapan jempol belaka. Proses pemiskinan menahun tersebut menjadi biang keladi utama tidak terpenuhinya hak atas pangan untuk rakyat.
C. Hak Atas Pangan
Hak atas pangan dapat ditafsirkan sebagai rights not to be hungry, yaitu hak bagi setiap orang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat, wilayah, atau suatu negara untuk mendapatkan kecukupan makanan yang dibutuhkan bagi keperluan menjalankan aktivitas hidupnya, seperti bekerja dalam batas-batas yang masih memenuhi ukuran kesehatan . Dalam panggung pergaulan antar bangsa, Hak Atas Pangan diatur dalam payung hukum Kovenan Internasional tentang hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESR), yakni pasal 11 ayat (2). Di bawah pasal 11 ayat (2) Kovenan ini, dimana negara-negara pihak telah mengakui bahwa hak dasar setiap orang untuk bebas dari kelaparan, maka kewajiban-kewajiban negara yang turut meratifikasi dinyatakan berikut ini :
“Negara-negara peserta perjanjian,… akan mengambil berbagai tindakan, baik secara individual maupun melalui kerjasama internasional, termasuk program-program khusus yang diperlukan bagi:
a) Perbaikan terhadap metode-metode produksi, konservasi, dan distribusi pangan dengan menggunakan secara penuh pengetahuan ilmiah dan tekbis, dengan penyebaran pengetahuan tentang prinsip-prinsip nutrisi dan dengan mengembangkan atau memperbarui sistem-sistem agraria (reforming agraria systems) sedemikian rupa sehingga mampu mencapai pengambangan dan penggunaan berbagai macam sumber daya alam dengan sangat efisien.
b) Mempertimbangkan sejumlah masalah dari negara-negara pengekspor maupun pengimpor pangan, untuk menjamin distribusi yang sama atas suplai pangan dunia menurut kebutuhan.
Indonesia sendiri, pada September tahun 2005 ini adalah negara yang telah meratifikasi Kovenan Internasional ini, sebuah Kovenan yang lazim kita kenal sebagai Kovenan Internasional hak Ekosob. Sehingga, sebagai negara peratifikasi, kewajiban negara untuk menjalankan terpenuhinya hak atas pangan semakin kuat basis hukumnya, baik hukum internasional dan tentu saja konstitusi nasional kita sendiri.
D. Reforma Agraria Sebagai Upaya Pemenuhan Hak Atas Pangan
Kebijakan ekonomi negara khususnya dibidang pangan dan produksi pangan adalah titik yang krusial. Berbicara tentang kebijakan pangan dan produksi, sebagai sebuah negara agraris, hal ini tentu sangat berkait erat dengan sumber-sumber agraria yang diperlihatkan dalam struktur kepemilikan dan pengelolaan terhadap sumber-sumber agraria yang tengah terjadi di dalam masyarakat. Di depan telah dipaparkan tentang ketimpangan agraria yang sangat mencolok yang tengah terjadi di Indonesia.
Semakin dijauhkannya rakyat khususnya petani, nelayan dan masyarakat adat dari akses produktif agraria mereka yakni tanah secara pasti telah meningkatkan kemiskinan. Tentusaja kemiskinan akan semakin menjauhkan rakyat dengan akses terhadap pangan. Jadi, berangkat dari alur berpikir yang dipaparkan oleh Revrisond Baswir di atas, kata kunci pemenuhan hak atas pangan tetaplah pada ada tidaknya akses rakyat yang luas terhadap tanah sebagai faktor produksi terpenting bagi petani, nelayan dan masyarakat adat.
E. Landreform sebagai inti Reforma Agraria
Pada tahun 2005 ini, di sektor pertanian penguasaan lahan pertanian perkapita adalah 360m2/kapita sawah dan <500m2/kapita sawah dan lahan kering. Makin banyaknya petani gurem 13,7 Juta dengan laju peningkatan 2.6 persen pertahun. Sementara ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan lahan lahan yakni 13 persen luas lahan harus digarap oleh 70 persen petani, sedang 30 persen sisanya yakni non petani menguasai 87 persen lahan.
Ketimpangan kepemilikan agraria yang tengah terjadi di Tanah Air dengan sedemikian akutnya adalah alasan utama kebutuhan sebuah program reforma agraria secara nasional. Sebab, reforma agraria adalah jawaban yang paling logis dari berbagai masalah struktur agraria pada masyarakat manapun.
Reforma Agraria agraria adalah “upaya-upaya yang dilakukan oleh negara dan masyarakat dalam mengubah hubungan-hubungan sosial agraria dan bentuk penguasaan tanah dan sumber daya alam kearah keadilan dan pemerataan, melalui mekanisme dan sistem politik yang demokratis dan terbuka”
Inti dari reforma agraria adalah landreform atau redistribusi tanah dengan segala segi-segi pendukungnya. Tanpa landreform, maka reforma agraria yang dijalankan adalah palsu dan sebuah kebohongan belaka.
Pentingnya landreform sebagai fondasi ekonomi yang kokoh bagi sebuah negara dan tumbuhnya demokrasi yang stabil telah banyak dicontohkan. Pengalaman-pengalaman negara yang berhasil sebagai negara yang kuat secara ekonomi politik sebab mengawali pembangunannya dengan menjalankan landreform adalah Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan China. Mereka ini adalah sebuah contoh sukses negara di Asia yang berhasil membangun kekuatan ekonomi disebabkan landreform.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan landreform mampu menghasilkan sebuah landasan bagi kekuatan ekonomi nasional yang kokoh dan juga demokrasi yang stabil, yakni :
1. Redistribusi tanah akan membuat rakyat mempunyai lahan sehingga lebih mampu berproduksi dengan hasil panen yang lebih besar, pada akhirnya daya petani akan lebih meningkat. Peningkatan daya beli ini akan menggerakkan sektor ekonomi lainnya yakni industri industri nasional yang sedang tumbuh memperoleh pasar dalam negeri yang besar. Dengan demikian, tanpa landreform upaya menghasilkan sebuah basis industri nasional yang kuat adalah mimpi belaka.
2. Meningkatnya daya beli berarti meningkatnya penghasilan rakyat. Peningkatan penghasilan atau pendapatan rakyat akan sangat berarti dalam peningkatan tabungan nasional masyarakat khususnya tabungan pertanian. Rendahnya tabungan nasional masyarakat selama ini telah menyebabkan negara mengambil jalan pintas dengan mengandalkan hutang luar negeri dan pengutamaan datangnya investasi asing. Keduanya dalam jangka pendek dan jangka panjang nyata-nyata telah merugikan masyarakat kebanyakan dan melemahkan kedaulatan ekonomi politik bangsa secara keseluruhan. Maka: tanpa landreform yang terjadi adalah disinvestasi sehingga lama kelamaan yang terjadi adalah petani semakin kehilangan lahan pertaniannya.
3. Terbukanya akses bagi rakyat dalam pengelolaan sumber-sumber agraria dan meningkatnya hasil produksi rakyat akibat program landreform tersebut juga menjamin ketersediaan bahan baku untuk tumbuhnya industri kecil dan industri rumah tangga bahkan industri nasional yang tengah dibangun. Dengan land reforma berarti ketergantungan bahan baku impor akan berkurang. Maka keengganan pemerintah dalam menjalankan landreform akan menjadikan industri kecil dan rumah tangga, jasa dan sirkulasi uang menjadi melemah sehingga menjadi tergantung dengan kota. Maka, tidak mengherankan jika negara-negara yang tidak menjalankan landreform akan menemui pola hubungan penghisapan dan pemerasan kota terhadap desa.
4. Redistribusi tanah akan menghasilkan diferensiasi kerja di tengah-tengah masyarakat. Proses ini akan melahirkan kelompok kepentingan dan asosiasi-asosiasi kepentingan yang baru. Sehingga, demokrasi dapat lebih tumbuh sebab didorong oleh kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan yang tengah tumbuh dalam masyarakat. Tahapan ini akan memunculkan sebuah karakter demokrasi yang lebih substantif.
5. Tanpa landreform tanah akan menjadi objek spekulasi. Sebab tanah tidak mampu dipergunakan secara produktif oleh kaum petani. Akibat relasi penghisapan dan pemerasan kota terhadap desa tanah-tanah akan dikuasai oleh orang kota dan sebagian besar hanya dijadikan sebagai objek spkeluasi. Pada titik ini tanah akan menjadi sebuah komoditas ketimbang sebagai faktor prouksi yang mempunyai fungsi sosial.
Dengan beberapa faktor diatas, dapat dilihat betapa pentingnya reforma agraria sebagai sebuah upaya yang bukan semata-mata dalam rangka memenuhi hak atas pangan, namun lebih dari itu, yakni sebuah upaya dalam menentukan arah sebuah bangsa secara keseluruhan.
Jakarta, 27 Januari 2008
Iwan Nurdin
No comments:
Post a Comment