April 8, 2008

KELUAR DARI ANCAMAN KELAPARAN

Oleh: Iwan Nurdin

Setelah Teguh Miswadi siswa kelas 5 SDN Pupus 02, Lembeyan, Magetan tewas gantung diri karena tak tahan harus menahan lapar setiap hari (Surya, 24/2). Kelanjutan kisah tragis ini kemudian terjadi di Makassar. Daeng Besse, yang sedang mengandung tujuh bulan dan anaknya, Fahril, meninggal dunia akibat kelaparan (Fajar, 1/3). Sambung menyambung kemudian kejadian serupa terjadi di NTT, Sulawesi, Sumatera dan berbagai daerah.

Tidaklah berlebihan jika keadaan sekarang kita kategorikan sebagai kondisi dibawah ancaman bahaya kelaparan. Tanda-tanda kondisi ini sangat terang benderang, harga pangan dunia sedang naik yang disebabkan oleh meningkatnya konversi bahan makanan manusia menjadi biofuel, naiknya biaya pengiriman barang akibat naiknya harga bahan bakar, kegagalan panen di sentra-sentra penghasil pangan dunia akibat bencana alam dan perubahan iklim.

Padahal, di negeri kita semua hal-hal diatas terjadi secara bersamaan. Bencana banjir di Jawa sebagai sentra penghasil beras telah mengancam gagal panen sedikitnya 15.000 ha tanah sawah di Pantura Jawa. Sementara, naiknya harga BBM dunia dan efek domino dari resesi ekonomi AS sebagai pasar utama ekspor nasional bakal membuat kapasitas dan ketahanan ekonomi nasional dalam memenuhi hak atas pangan dan pekerjaan semakin menurun.

Bahaya kelaparan seringkali terjadi di daerah yang jauh, sulit dijangkau karena infrastruktur buruk (remote area), sedang atau baru saja mengalami bencana alam/cuaca buruk, juga pada wilayah-wilayah yang penduduknya didominasi penduduk miskin baik di wilayah pedesaan maupun di perkotaan.

Deteksi dini lainnya juga dapat kita lihat dari naiknya harga bahan pangan dalam waktu lama, menurunnya daya beli masyarakat, ditemukannya korban gizi buruk yang dialami oleh balita dan ibu-ibu, sampai akhirnya menjadi bencana kelaparan.

Langkah Penting PPAN
Melihat kenaikan harga pangan juga tengah terjadi di tingkat global, langkah jangka pendek yang dilakukan pemerintah seperti menurunkan bea-masuk impor, melakukan subsidi harga penjualan, subsidi biaya pengangkutan. Barangkali, langkah demikian ini ditengah kemampuan penganggaran yang buruk akibat resesi ekonomi global dan nasional tentu sebuah pilihan yang berat dan pahit.

Namun, mengabaikan kebijakan ini berarti melakukan pembiaran kelaparan dan pelanggaran serius terhadap upaya pemenuhan hak atas pangan bagi rakyat. Bukan mustahil tragedi kelaparan di Yahukimo, Papua, atau di NTT tahun-tahun lalu kembali berulang.

Keadaannya memang telah menjadi buah simalakama. Namun langkah jangka pendek diatas bias saja tetap dilakukan pemerintah sembari melakukan koreksi dan mengubah total dasar-dasar dalam pembangunan ekonomi nasional kita selama ini yang berjalan sekehendak pelaku pasar semata.

Salah satu caranya adalah segera merealisasikan rencana besar pemerintah seperti pelaksanaan PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) yang dijanjikan setahun lalu. PPAN yang berencana membagikan tanah negara seluas 9.15 juta hektar tanah kepada rakyat miskin entah mengapa saat ini seolah menguap begitu saja dari panggung kebijakan politik pemerintah.
Mestinya, PPAN bisa menjadi salah satu peluang dalam membangun hubungan baru antara desa-kota, pertanian dan industri nasional kita menjadi saling menguatkan. Bukan hubungan yang menghisap pertanian dan desa seperti sekarang ini.

Pengabaian pembangunan pertanian dan pedesaan melalui Pembaruan Agraria selama ini telah membuahkan ketergantungan pada impor pangan pertahun seperti beras 0,75 juta ton, gandum 5,0 juta ton, gula 2 juta ton, kedelai 1,2 juta ton, jagung 1,3 juta ton, garam 1,5 juta ton, sapi 550.000 ekor bahkan impor susu hingga pakan ternak (Fery. J.Juliantono: 2008).

Memang bukan usaha mudah untuk mengajak percaya bahwa bagian terpenting untuk menjadi bangsa besar yang sejahtera tetap berada di sektor pertanian dan pedesaan. Sebab, usia krisis desa dan pertanian kita, telah berumur 178 tahun. Ini jika diukur sejak era tanam paksa di tahun 1830 hingga era perdagangan bebas sekarang. Situasi krisis tersebut telah menghasilkan keadaan umum seperti: kelebihan tenaga kerja produktif (pengangguran), kekurangan dan ketimpangan pemilikan tanah, rendahnya teknologi dan akses pasar yang kesemuanya bermuara pada kemiskinan.

Namun, 60 persen penduduk kita tetaplah kaum petani kecil dan buruh tani yang berteduh di 68.000 desa yang tersebar di seluruh negeri. Usaha jangka pendek pemerintah memerangi rawan pangan harus segera dibarengi dengan usaha sungguh-sungguh untuk memperluas areal lahan pertanian untuk petani kecil dan buruh tani, mendesain mereka kedalam badan usaha bersama milik petani, badan usaha bersama milik desa. Dengan begitu desa menjadi halaman depan dari proses pembangunan nasional kita. Dan, pemerintah kita tidak harus selalu berubah menjadi pedagang eceran beras, terigu, minyak goreng setiap tahunnya.


Jakarta, 8 April 2008

Iwan Nurdin

1 comment:

Anonymous said...

bagaimana dengan ekskalasi kebrutalan invasi modal di sektor rill mining di indonesia? Sejak reformasi, penguasaat aset2 negri di sektor mining bukannya sesuatu yang kecil namun justru menggila.

Pertanian & perkebunan di indonesia tentunya segment ideal yang harus kita bangkitkan, namun paradigma birokrasi dan para pelaku bisnis ini jalan di tempat. Di tempat saya, hampir 90% modal beredar di bisnis mining, baik skala raksasa sampe yang kecil & ilegal. Setiap hari di kabupaten saya, hasil penyelidikan, terungkap batubara yg keluar setiap harinya bernilai 100 M rupiah (500.000 MT batubara)atau hampir 10 juta $. Semua itu margin bersih perusahaan dan disinyalir sebagai capital flight. Ini belum ditambah dengan perusahaan2 kecil baik yg resmi ataupun maling.

Semua dilandasi pragmatisme bahwa mining adalah mesin uang yg efektif untuk menumpuk kekayaan. Ini tidak salah, karena nilai yg didistribusikan selama ini seperti itu. Sedangkan pemahaman tentang nilai lebih di bisnis pertanian & perkebunan tampak di eleminir.

Dengan misalnya bermodal 1 M saja dalam waktu tiga hari mereka bisa mengeruk keuntungan minimal 250 juta dengan menjual batu bara (satu tongkang/ 8.000 MT). Semua itu dilakukan dengan mudah (broker). Muncul perbandingan yg sederhana jika dibenturkan dengan bertani atau berkebun. Di titik ini kita tdk bisa menceramahi mereka dgn nilai lebih bertani & kaitannya dengan kelestarian alam buat anak cucu mereka.

Menurut saya, ini sangat berkaitan erat dengan persoalan yang sesungguhnya paling utama, tentang pertanyaan, adakah realitas hubungan2 produksi & kaitannya dengan pengetahuan umum, membantu kita dalam pembuatan stategi2 pembangunan yang pas?.

Kenyataannya kita mengetahui bahwa gerak tubuh berkaitan erat dgn isi kepala (kecuali org gila). Jadi dari mana seharusnya kita memulai? adalah dari sistem pendidikan nasional atau program pendidikan alternatif dari kelompok subalternatif seperti kita.

Proses pendampingan harus dimaknai sebagai upaya kita menterjemahkan problem lokal dengan penafsiran2 baru yang jenius dan dalam rangka membuat gerakan2 perlawanan yang mencerahkan setiap individu di lokalitas tersebut. Salah satu cara kita adalah meramu kearifan lokal dengan cara2 khas yang dikenali mereka. Atau dengan membuat cara2 praktis (saya kira kita kekurangan penggerak yg ahli dalam bisang teknis)yang murah atau mendistribusikan info2 baru tentang komoditas2 baru yang menjanjikan lengkap dengan pasarnya.