Hampir dua puluh tahun yang lalu, di awal tahun 90-an, diadakan serial pertemuan dan diskusi yang dinamakan Pertemuan Organisasi Tani Strategis (POTS). Pertemuan ini diselenggarakan oleh kalangan aktivis yang telah lama melakukan proses pembelaan dan advokasi tanah di Indonesia. Dari rangkaian pertemuan ini mengerucut ide untuk membangun sebuah organisasi jaringan para aktivis, intelektual, NGO, dan Organisasi Rakyat khususnya petani. Inilah cikal-bakal, awal pembuahan sebuah organisasi yang kelak lahir dan bernama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Meski sudah dirintis sejak awal 90-an, KPA didirikan di Bandung 24 September 1995 dan kemudian dideklarasikan di Jakarta 10 Desember 1995. Dua buah tanggal yang bermakna banyak bagi para pejuang agraria. 24 September adalah Hari Tani Nasional sekaligus Hari Lahir UUPA No.5/1960. Sementara, 10 Desember adalah hari Hak Asasi Manusia Sedunia. Pada akhir 2010, KPA telah genap berusia 15 tahun.
Sebenarnya, dari putaran diskusi POTS tersebut, mengerucut dua pandangan utama. Pertama, sudah saatnya dibangun sebuah organisasi yang mewadahi para aktivis yang melakukan pembelaan kasus tanah sekaligus mendorong organisasi tani hasil dari pendampingan kasus-kasus tanah secara nasional.
Pandangan ini berasal dari hasil refleksi dari proses pendampingan kasus tanah yang telah berlangsung lama, yakni: pendampingan kasus adalah reaksi dari konflik agrarian yang tengah terjadi. Sementara, konflik agrarian sendiri adalah sebuah konsekuensi dan kelaziman dari proses berputarnya rezim ekonomi kapitalis yang mewadahi hubungan agraria antar aktor masyarakat dengan korban terbesarnya adalah rakyat marginal. Kesemuanya tengah berlaku di Indonesia.
Jawaban dari persoalan ini ada dua. Pertama, dibutuhkan pelaksanaan pembaruan agraria sebagai jawaban dari penyelesaian problem agraria. Kedua, perjuangan pembaruan agraria tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan adanya organisasi sebagai alat perjuangan pelaksanaan pembaruan agraria.
Lalu dari mana harus memulai? Apakah membangun organisasi para aktivis terlebih dahulu, organisasi petani, atau dimulai secara bersamaan?
Nampaknya, pada masa itu, membangun kedua model organisasi semacam ini dalam waktu yang bersamaan bukan suatu yang mudah. Apalagi, di zaman orde baru. Semua ruang gerak berorganisasi alternatif praktis tertutup. Akhirnya, organisasi yang mewadahi aktivis dan serikat tani secara bersamaan lebih dahulu yang diutamakan. Itulah wujud awal KPA.
Demikian, penggalan cerita cikal bakal kelahiran KPA yang dituturkan oleh Usep Setiawan, mantan Sekjen KPA periode 2005-2009, kepada Suara Pembaruan Agraria pada suatu sore di Sekretariat Nasional KPA.
Awalnya, memang ada tiga kelompok utama dalam keanggotan KPA yaitu organisasi rakyat, NGO yang terkait dengan kerja-kerja pembaruan agrara, terakhir individu yang telah berkecimpung dalam advokasi atau terlibat dalam kajian mengenai agraria dan pedesaan. Namun, seiring perjalanannya, pada Munas V di Bogor 2009 lalu, KPA kemudian menghapus keanggotaan individu dan membatasi keanggotaan NGO, ungkap Idham Arsyad Sekjen KPA. Meski anggota individu dihapus, keberadaannya diganti menjadi anggota kehormatan yang tidak mempunyai hak suara dalam Munas.Perubahan ini bermakna bahwa KPA hendak mengorientasikan dirinya pada penguatan organisasi rakyat untuk semakin berkembang secara kuantitas dan kualitas, tambah Idham.
ARBL
Dimanakah letak posisi utama KPA sesungguhnya? Lebih condong pada advokasi kebijakan, kampanye dan publikasi wacana agraria, atau lebih memposisikan dirinya sebagai organisasi yang bertugas langsung di lapangan dalam usaha memperkuat organisasi rakyat. Nampaknya, ketiga pandangan ini selalu menjadi tema utama dalam mengevaluasi kinerja kepengerusan Seknas KPA pada setiap Musyawarah Nasional KPA.
Idealnya, ketiga hal tersebut terwadahi dalam kerja-kerja harian KPA. Sebab ketiga hal ini adalah pekerjaan wajib bagi organisasi KPA. Ketiganya adalah alasan sejarah keberadaan KPA dalam perjuangan pembaruan agraria di Indonesia, jelas Idham Arsyad Sekjen KPA. Namun, bukan mudah mengemas ketiganya dalam pekerjaan utama KPA.
Meski demikian, mengapa ketiga hal ini selalu menjadi diskusi dan debat panjang dalam setiap Munas sesungguhnya terkait dengan apa sesungguhnya posisi utama yang harus dimainkan KPA sebagai sebuah organisasi jaringan. Hal ini, tidak dapat dipisahkan dari sebuah gagasan utama KPA yakni: Agraria Reform By Leverage (ARBL). Sebuah gagasan yang ditawarkan oleh Gunawan Wiradi, guru kalangan pejuang pembaruan agraria di Indonesia.
Gagasan ini sebenarnya berasal dari refleksi pelaksanaan pembaruan agraria di banyak tempat, pada berbagai waktu dan ideologi yang melingkupi pelaksanaan pembaruan agraria termasuk Indonesia.
Menurutnya, pembaruan agraria harus diperjuangkan oleh rakyat melalui organisasi
Tani, perempuan, buruh, dll (reform by leverage) bukan bergantung pada kedermawanan dan inisiatif negara (reform by grace). Sebab, ada pembaruan agraria yang dijalankan karena kebaikan hati dan inisiatif pemerintah (agraria reform by grace), namun saat pendulum politik berubah, reforma agraria ditinggalkan bahkan bisa saja dijadikan barang haram oleh pemerintah selanjutnya. Hal ini bisa kita lihat dalam pengalaman di Indonesia pada peralihan rezim Soekarno ke Orde Baru.
Namun, meski namanya ARBL, reforma agraria tetap tidak dapat meninggalkan peran-peran negara, sebab hanya Negara yang mempunyai kekuasaan pemaksa untuk menjalankan refom, ujar Pak GWR melalui telepon kepada Suara Pembaruan Agraria. Namun, ide ARBL ini menunjuk pada sebuah tesis bahwa kematangan dan kesuksesan utama reforma agraria harus berasal dari inisiatif organisasi rakyat yang mendorong agar pemerintah atau negara segera menjalankan agenda ini, tambahnya.
Menurut Iwan Nurdin, Deputi Sekjen KPA, banyak anggota KPA menerjemahkan ARBL sebagai sebuah gerakan reclaiming atau okupasi tanah di lapangan. Apalagi gerakan ini berhasil merombak struktur agraria di wilayah atau desa tertentu secara dramatis dan bahkan sangat revolusioner. Misalnya, sebuah desa yang sebelumnya diisi oleh para buruh kebun berubah menjadi petani yang memiliki tanah dan menanam tanaman pangan karena gerakan reklaiming. Tugas pokok KPA adalah mendorong penyelesaian problem-problem yang menyertai gerakan ini seperti penangkapan dan penanganan konflik.
Ada juga intrepretasi lain dari ARBL kedalam pekerjaaan KPA. Misalnya ARBL diterjemahkan kedalam tugas untuk KPA dalam rangka membuka peluang selebar dan seluas mungkin bagi hadirnya organisasi gerakan reforma agraria di wilayah-wilayah. Dalam terjemahan kedua ini, posisi KPA adalah Penguatan Organisasi Rakyat secara langsung, sementara advokasi kebijakan, advokasi kasus dan kampanye menjadi pilar-pilar pendukung bagi penguatan organisasi rakyat khususnya para anggota KPA.
Beragam intrepretasi dari pengurus seknas hingga anggota tentang apa sesungguhnya ARBL tentu sah-sah saja. Intrepretasi yang beragam juga melahirkan strategi yang berbeda dalam memajukan gerakan reforma agraria pada masing-masing periode kepengurusan di KPA. Yang terpenting adalah keberlanjutan, pembagian peran, pembagian tugas seluruh komponen dalam KPA harus terkoordinasi dan bersinergi dengan baik, papar Iwan.
Gagasan ARBL yang diusung KPA harus dikondolidasikan dan dituliskan kembali dengan baik. Ini sangat penting bagi KPA, selain untuk menerjemahkan gagasan ini kedalam praktek, juga untuk merumuskan arah perubahan bagi organisasi KPA untuk mencapai kematangannya sesuai dengan garis-garis ARBL.
Arah kesana sudah dimulai dengan serangkaian pertemuan Dewan Pakar, Pengurus Seknas, Dewan Nasional untuk merumuskan apa sesungguhnya ARBL itu kedalam kerangka teori dan praktek, jelas Idham. Selain itu, kita juga sedang memproses sebuah pembacaan tentang “Agrarian Question” atau “Masalah Agraria” di Indonesia. Harapannya, dengan terumuskannya agrarian question ini dengan baik dapat menjadi panduan bagi gerakan agraria di Indonesia dan arah perubahan agraria.
Dimuat Dalam Bulletin Suara Pembaruan Agraria Setahun lalu
No comments:
Post a Comment