Setidaknya telah empat kali Presiden SBY menjanjikan pelaksanaan pembaruan agraria. Ini jika dihitung sejak periode pemerintahan pertama hingga sekarang. Namun, hingga sekarang, janji tersebut belum juga berujung pada lahirnya PP Pembaruan Agraria.
Begini kisahnya.
28 September 2006, setelah sidang kabinet terbatas, pemerintah melalui Menteri Pertanian Anton A. Apriantono, Menteri Kehutanan MS. Kaban dan Kepala BPN-RI Joyo Winoto, mengumumkan akan membagikan tanah kepada rakyat miskin tanah seluas 8.15 juta hektar. Pengumuman ini dilakukan di Istana Negara dan dipandu oleh Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng.
Pengumuman ini tentu erat kaitannya dengan janji kampanye mereka dalam pemilihan presiden di tahun 2004.
Menurut Iwan Nurdin, Deputi Sekjen KPA, pemerintah mengumumkan hal tersebut karena kuatnya desakan masyarakat sipil. Pada saat itu, marak demonstrasi buruh dan petani yang mengecam kenaikan harga BBM, Revisi UU Tenaga Kerja, terbitnya Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah dan Revisi UU Pokok Agraria. Aneka kebijakan ini dibuat hampir secara bersamaan dan telah membuat popularitas presiden belum lama terpilih merosot tajam.
Rencana bag-bagi tanah ini disambut positif oleh kalangan masyarakat sipil. Untuk mengecek kebenaran pengumuman tersebut, kalangan masyarakat sipil melakukan audiensi dengan Menhut dan Kepala BPN. Hasil dari audiensi ini memperlihatkan bahwa inisiatif dan kepemimpinan rencana pemerintah ini berada di BPN. Arah advokasi ke BPN untuk rencana besar ini dimulai.
Pintu mulai terbuka lebar ketika BPN-RI, KPA dan Brighten Institute bekerjasama melakukan serial Simposiun Nasional Pembaruan Agraria di Medan, Makassar, Jakarta, Bogor dan Yogyakarta untuk mematangkan sisi konsep dan implementasi pembaruan agraria. Akhirnya, dari simposium ini, dikenal sebuah istilah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) untuk menamakan rencana pemerintah melakukan redistribusi tanah yang telah diumumkan sebelumnya.
Setelah hasil kajian melalui simposium selesai dilakukan. Presiden kembali mengumumkan rencananya meredistribusi tanah kepada khalayak dalam pidato kenegaraan tanggal 31 Januari 2007. Suasana menjadi hangat dan bergairah.
Anehnya, setelah pidato ini, tak ada langkah nyata. Publik menunggu kapan presiden menandatangani RPP tentang Reforma Agraria sebagai pertanda dimulainya pelaksanaan pembaruan agraria.
Sementara sepi pembicaraan soal pembaruan agraria, BPN-RI melakukan ujicoba pelaksanaan Reforma Agraria di tingkat provinsi dan mengirimkan para stafnya untuk belajar singkat soal RA di Amerika Latin dan Taiwan. Tahun 2007 ditutup oleh BPN dengan evaluasi ujicoba pelaksanaan RA oleh BPN.
Sebenarnya, tanda-tanda bahwa PP Pembaruan Agraria mulai mendapat perlawanan dari lingkar kabinet mulai terbaca di tahun 2007. Menengarai hal ini, Iwan memaparkan bahwa RA mendapat perlawanan dari internal pemerintahan SBY secara nyata pada akhir 2007. Pada proses pembahasan RAPBN 2008, usulan BPN-RI untuk membentuk Badan Pembiayaan dan Pengelolaan RA telah dihapus oleh Kementerian Keuangan. Sementara, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian seolah sudah melupakan janji redistribusi tanah. Yang pasti, semua menjadi tak tentu arahan presiden terhadap agenda ini belum kuat, ujar Iwan.
Memasuki bulan April 2008, kembali BPN-RI melakukan ujicoba pelaksanaan Reforma Agraria. Kali ini adalah Reforma Agraria di Jawa Bagian Selatan. Ujicoba ini dilakukan di 34 Kabupaten di Lima Provinsi di Jawa (minus DKI). ‘’Dengan demikian, isu pembaruan agraria kembali menjadi isu pinggiran, bahkan hanya menjadi sub prioritas dari agenda BPN, alih-alih menjadi agenda bangsa’’ tambah Iwan.
Pada penghujung 2008, kembali presiden menjanjikan tentang pelaksanaan RA. Kali ini janji tersebut diucapkan di pelataran Candi Prambanan dalam acara peresmian LARASITA (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Pertanahan). Pada acara ini, presiden mengungkapkan kembali janjinya untuk segera meredistribusikan tanah kepada rakyat miskin.
Di tahun 2009, sebagai tahun politik, tidak ada hal yang resmi dibicarakan terkait dengan pembaruan agraria. Namun, patut dicatat bahwa selama dalam kampanye, Tim Sukses dan Juru Kampanye SBY memasang iklan di media massa telah menjalankan Pembaruan Agraria selama periode pertama pemerintahannya dan akan melanjutkan agenda ini jika terpilih kembali. Nyatanya SBY kembali terpilih menjadi presiden.
Periode kedua SBY dimulai sejak pelantikan pada 20 Oktober 2009. Tak lama berselang, pada 15 Januari 2010, bertempat di Marunda, Jakarta Utara, SBY kembali menjanjkan rencana redistribusi tanah kepada rakyat miskin. Pada acara ini, Presiden SBY meresmikan program strategis pertanahan untuk keadilan dan kesejahteraan dengan motor utamanya adalah Reforma Agraria. Janji reforma agraria kali ini diucapkan presiden didepan Ketua MPR Taufik Kiemas dan jajaran menteri-menteri utama pemerintahan SBY jilid II.
Sembilan bulan setelahnya, presiden kembali mengucapkan janji reforma agraria, ujar Iwan. Pada Bulan Oktober 2010, di Istana Bogor, SBY bahkan berjanji sambil meneteskan air mata dihadapan ribuan petani penerima sertifikat redistribusi tanah.
Sayang, kesemua janji ini tak juga berujung pada penandatanganan RPP Reforma Agraria. Padahal, kabar yang beredar, RPP tersebut telah lama berada di meja Presiden untuk ditandatangani. Semua menteri telah menyetujuinya kelahiran PP Reforma Agraria, ujar pejabat penting BPN-RI. Jadi, sekarang berpulang pada kemauan presiden, tutup Iwan Nurdin berkisah.
Apa Pentingnya PP Reforma Agraria?
Apa pentingnya sebuah PP tentang Reforma Agraria? Bukankah peraturan tentang land reform sudah ada, dan belum dijalankan oleh pemerintah dengan benar. Bagaimana posisi peraturan ini dengan PP 224/1961 yang sebelumnya telah mengatur pembagian tanah?
Sebenarnya, aneka peraturan lama tentang land reform seudah lebih dari cukup kalau pimpinan tertinggi pemerintahan kita yakni presiden memang berkehendak menjalankan pembaruan agraria, jelas Iwan Nurdin.
Jika pertanyaannya apakah peraturan tersebut masih relevan? Saya memastikan bahwa peraturan tentang land reform di Indonesia masih relevan, misalnya pembatasan tanah pertanian, peraturan bagi hasil, pembagian tanah dan ganti kerugian, peradilan land reform, dll. Menjadi tidak relevan karena tidak ada kelembagaan yang mewadahi peraturan ini. karena land reform sudah lama tidak dijalankan.
Meski demikian tetap diperlukan peraturan baru soal reforma agraria untuk memperluas cakupan objek tanah yang bisa diredistribusikan kepada rakyat. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa objek tanah reforma agraria paling luas bukanlah tanah kelebihan maksimum yang diatur oleh peraturan lama, tetapi objek paling luas adalah “Tanah Negara” yang dikuasai perkebunan dan kehutanan.
Selain itu, perlu juga mewadahi keterlibatan organisasi tani dalam memastikan objek dan subjek RA. Lebih-lebih kalau organisasi tani ingin menjadi penerima manfaat dalam bentuk kelompok atau mekanisme penguatan ha katas tanah terhadap areal masyarakat adat, tambah Iwan Nurdin. Jadi, PP yang mengatur soal Reforma Agraria sangat penting dan melengkapi peraturan pemerintah sebelumnya.
Jika PP ini demikian penting, apakah RPP tentang Reforma Agraria telah mengatur hal-hal yang diinginkan oleh kalangan reforma agraria?
Disinilah letak problem lain, RPP tentang Reforma Agraria jauh dari harapan, ujar Iwan Nurdin. Ada beberapa hal krusial yang mengganjal dalam RPP ini, yakni: definisi yang dipakai mengenail Reforma Agraria ini mengacu pada Tap MPR No.IX/2001 yang menyatakan bahwa RA adalah sebuah langkah yang berkesinambungan/berkelanjutan bukan operasi cepat merubah struktur agraria.
Selain itu, peranan organisasi tani dalam melaksanakan Pembaruan Agraria dipastikan nihil. Padahal, reforma agraria tanpa keterlibatan aktif organisasi rakyat khususnya petani tidak akan berhasil mencapai tujuan-tujuan utama reform.
Dengan dua kategori ini, masih perlukah menunggu-nunggu RPP Reforma Agraria ditandatangi SBY?
Catt: dimuat dalam Bulletin Suara Pembaruan Agraria
1 comment:
ditunggu malah belum diterbitkan juga. apakah ini pertanda SBY tidak serius dengan reformasi agraria nasional???
Post a Comment