Sumutpos 4 November 2011
JAKARTA,sumutcyber -- Masyarakat yang tergabung dalam Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) atau Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), tak perlu putusa asa. Ada harapan besar mereka mendapatkan hak atas tanah adat yang hingga kini terus mereka perjuangkan.
Pasalnya, ada sejumlah kasus di daerah lain, masyarakat adat memenangkan gugatan. Hanya saja, prosesnya melalui persidangan panjang. Bukti-bukti dokumen asli perjanjian pinjam tanah oleh perusahaan-perusahaan perkebunan di jaman Belanda, yang setelah merdeka dinasionalisasi menjadi perkebunan PTPN. Bukti-bukti yang asli ini pun harus dilacak hingga ke negeri Belanda.
Deputi Sekjen, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menjelaskan, posisi BPRPI sebenarnya cukup kuat karena mereka memegang surat-surat peminjaman tanah adat kepada perusahaan-perusahaan jaman Belanda tempo dulu.
"Hanya saja, untuk proses pembuktian secara hukum, pihak pengadilan harus mencari dokumen perjanjian yang asli hingga ke Belanda. Di sejumlah daerah, ada yang menang," ujar Iwan Nurdin kepada koran ini di Jakarta, kemarin (3/11).
Jika masyarakat menang, lanjutnya, tidak mesti lantas pihak PTPN mengembalikan tanah ke mereka. "Bisa dalam bentuk konsesi lain," terangnya.
Pemprov Sumut, lanjutnya, bisa membantu masyarakat adat yang tergabung dalam BPRPI ini dengan membentuk Tim Khusus, yang melibatkan BPRPI dan BPN. "Tim ini bisa melacak dokumen asli hingga ke Belanda," sarannya.
Dijelaskan, sesuai UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, tanah-tanah HGU PTPN hasil nasionalisasi lahan perkebunan Belanda, mestinya paling lambat harus diselesaikan 20 tahun sejak UU PA itu diterbitkan.
Pada jaman Gubernur Sumut EWP Tambunan, pada 1980, upaya renegosiasi untuk land reform dengan masyarakat adat sudah dimulai. "Saat itu Kepala Kanwil BPN-nya Soejarwo," imbuh Iwan. Bentuknya berupa rencana distribusi lahan kepada masyarakat BPRPI sebanyak 9.085 hektar di Kabupaten Langkat dan Deliserdang.
"Nama-nama penerimanya juga sudah jelas, namun tidak dilanjutkan menjadi hak milik. Karena tidak jelas bagaimana pola dan cara distribusi. Pembagian kepada kelompok masyarakat adat juga tak diatur jelas. Yang jelas hanya kepada orang per orang. Malah ada yang pindah tangan ke orang per orang," ujarnya.
Karena tak cepat diselesaikan lanjutnya, persoalannya menjadi rumit. "Masyarakat pegang surat land reform, tapi lahan itu sudah jadi HGU yang secara hukum juga sah. Jadi ada tumpang tindih," bebernya.
Seperti diberitakan, massa dari BPRPI melakukan unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sumatera Utara, Senin (31/10). Para pengunjuk rasa meminta agar pemerintah segera mendistribusikan 9.085 hektar tanah adat kepada masyarakat seperti yang telah disepakati sebelumnya.
Harun Nuh selaku Ketua Umum BPRPI menuntut pemerintah untuk membentuk tim khusus."Karena hingga saat ini sejengkal tanah pun tidak pernah diterima masyarakat adat BPRPI," ungkap Harun. (sam)
JAKARTA,sumutcyber -- Masyarakat yang tergabung dalam Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) atau Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), tak perlu putusa asa. Ada harapan besar mereka mendapatkan hak atas tanah adat yang hingga kini terus mereka perjuangkan.
Pasalnya, ada sejumlah kasus di daerah lain, masyarakat adat memenangkan gugatan. Hanya saja, prosesnya melalui persidangan panjang. Bukti-bukti dokumen asli perjanjian pinjam tanah oleh perusahaan-perusahaan perkebunan di jaman Belanda, yang setelah merdeka dinasionalisasi menjadi perkebunan PTPN. Bukti-bukti yang asli ini pun harus dilacak hingga ke negeri Belanda.
Deputi Sekjen, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menjelaskan, posisi BPRPI sebenarnya cukup kuat karena mereka memegang surat-surat peminjaman tanah adat kepada perusahaan-perusahaan jaman Belanda tempo dulu.
"Hanya saja, untuk proses pembuktian secara hukum, pihak pengadilan harus mencari dokumen perjanjian yang asli hingga ke Belanda. Di sejumlah daerah, ada yang menang," ujar Iwan Nurdin kepada koran ini di Jakarta, kemarin (3/11).
Jika masyarakat menang, lanjutnya, tidak mesti lantas pihak PTPN mengembalikan tanah ke mereka. "Bisa dalam bentuk konsesi lain," terangnya.
Pemprov Sumut, lanjutnya, bisa membantu masyarakat adat yang tergabung dalam BPRPI ini dengan membentuk Tim Khusus, yang melibatkan BPRPI dan BPN. "Tim ini bisa melacak dokumen asli hingga ke Belanda," sarannya.
Dijelaskan, sesuai UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, tanah-tanah HGU PTPN hasil nasionalisasi lahan perkebunan Belanda, mestinya paling lambat harus diselesaikan 20 tahun sejak UU PA itu diterbitkan.
Pada jaman Gubernur Sumut EWP Tambunan, pada 1980, upaya renegosiasi untuk land reform dengan masyarakat adat sudah dimulai. "Saat itu Kepala Kanwil BPN-nya Soejarwo," imbuh Iwan. Bentuknya berupa rencana distribusi lahan kepada masyarakat BPRPI sebanyak 9.085 hektar di Kabupaten Langkat dan Deliserdang.
"Nama-nama penerimanya juga sudah jelas, namun tidak dilanjutkan menjadi hak milik. Karena tidak jelas bagaimana pola dan cara distribusi. Pembagian kepada kelompok masyarakat adat juga tak diatur jelas. Yang jelas hanya kepada orang per orang. Malah ada yang pindah tangan ke orang per orang," ujarnya.
Karena tak cepat diselesaikan lanjutnya, persoalannya menjadi rumit. "Masyarakat pegang surat land reform, tapi lahan itu sudah jadi HGU yang secara hukum juga sah. Jadi ada tumpang tindih," bebernya.
Seperti diberitakan, massa dari BPRPI melakukan unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sumatera Utara, Senin (31/10). Para pengunjuk rasa meminta agar pemerintah segera mendistribusikan 9.085 hektar tanah adat kepada masyarakat seperti yang telah disepakati sebelumnya.
Harun Nuh selaku Ketua Umum BPRPI menuntut pemerintah untuk membentuk tim khusus."Karena hingga saat ini sejengkal tanah pun tidak pernah diterima masyarakat adat BPRPI," ungkap Harun. (sam)
No comments:
Post a Comment