Komisaris Jenderal Timur Pradopo telah diangkat menjadi Kapolri menggantikan Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri. Calon tunggal usulan Presiden SBY ini dianggap patut dan layak oleh anggota Komisi III DPR-RI dari Sembilan fraksi.
Publik tentu berharap bahwa pergantian kepemimpinan akan membawa angin segar bagi reformasi di tubuh kepolisian. Salah satu persoalan penting yang mendapat sorotan publik adalah penuntasan sejumlah kasus dan pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan polisi. Hasil penilaian Komnas HAM atas rekam jejak Timur Pradopo sepanjang kariernya menjabat di kepolisian, tentu akan menjadi barometer yang secara terus menerus dinilai oleh masyarakat luas.
Pelanggaran HAM
Tak dapat dipungkiri bahwa kepolisian kerap terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia. Tahun 2009, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) merilis bahwa polisi menempati urutan tertinggi pengaduan kasus HAM. Dari 4.928 kasus pengaduan yang masuk ke Komnas HAM, terdapat 1.302 kasus yang ditujukan kepada polisi.
Kasus-kasus tersebut terdiri dari 891 kasus yang dialami selama proses penyidikan, legalitas penahanan 177 kasus, sengketa tanah 4 kasus, kekerasan 184 kasus, 30 kasus menyangkut kedisiplinan, dan 17 kasus mengenai kepegawaian. (Kompas, 30/12/2009).
Khusus untuk sengketa pertanahan, pelanggaran HAM kerap terjadi saat polisi terlibat langsung dalam menangani konflik agraria antara rakyat dan pengusaha. Pelanggaran HAM yang terjadi dalam konflik agraria ini adalah akibat dari pendekatan keamanan (security approach) dan penggunaan cara-cara kekerasan oleh polisi dalam menangani konflik.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sampai Juni 2010, cara-cara kekerasan dan pendekatan keamanan oleh Polri dalam menangani konflik agraria, khususnya konflik di perkebunan sawit, telah mengakibatkan 64 orang petani di tangkap, dan satu orang meninggal dunia. Sebagai ilustrasi adalah penembakan satuan Brimob yang mengakibatkan kematian Yuniar (45 tahun), petani di Desa Koto Cengar, Kuasing Riau. Kasus ini adalah buntut dari konflik petani dengan perkebunan sawit PT.Tri Bakti Sarimas.
Bila dicermati, keterlibatan polisi dalam konflik agraria sesungguhnya menyimpang dari semangat reformasi kepolisian. Penangan konflik agraria tidak bisa disamakan dengan tindakan kriminal murni. Sebab konflik agraria yang terjadi adalah akibat dari ketidakadilan agraria yang sedang berlangsung di negeri ini. Hak rakyat atas tanah sebagai sumber penghidupan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh kepolisian.
Sehingga pendekatan keamanan (security approach) oleh polisi dalam menangani konflik agraria, dengan sendirinya melanggar hak asasi manusia. Sebab menurut undang-undang kepolisian, bahwa dalam menjalankan fungsinya untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum, polisi haruslah menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Reposisi
Meneruskan reformasi kepolisian menuju polisi pengayom masyarakat dan penopang tegaknya hak asasi manusia adalah salah satu tugas Kapolri baru. Timur harus mampu mengurangi intensitas pelanggaran hak asasi manusia di lapangan agraria menjadi harapan bagi semua petani di Indonesia.
Selama ini, kaum tani sering berhadap-hadapan langsung dengan pihak kepolisian dalam konflik agraria. Hal ini terjadi karena polisi mengambil posisi sebagai pengawal dan penjaga keamanan dari pemilik modal yang menyewa jasanya. Konflik agraria yang kategorinya konflik perdata biasa berubah menjadi kriminal karena polisi tidak bersikap netral. Bagi kaum tani, tindakan ini disebut sebagai proses kriminalisasi yang bertujuan untuk mematahkan perjuangan petani dalam merebut haknya.
Sebagai Kapolri baru, Timur Pradopo harus melakukan reposisi peran dan fungsi polisi dalam penyelesaian konflik agraria. Ia harus secara tegas melarang polisi terlibat dalam konflik agraria yang melibatkan rakyat dengan pemilik modal, dan menindak anggota polisi yang menjual “jasa pengamanan” bagi pemilik modal di lapangan agraria.
Penyelesaian konflik agraria secara adil adalah prioritas presiden SBY sejak dulu. Program ini menjadi bagian dari rencana pelaksanaan reforma agraria yang ditegaskan dalam pidato presiden SBY, Januari 2007. Karenanya polisi perlu segera mereposisi diri dari aktor pemicu konflik menjadi pengawal rakyat tani untuk mendapatkan hak atas tanah.
Mengabaikannya, berarti membiarkan polisi dibawa bayang-bayang sebagai institusi pelanggar HAM tertingi di Indonesia. Selamat bertugas pak Jendral.
Idham Arsyad, Sekjen KPA
Publik tentu berharap bahwa pergantian kepemimpinan akan membawa angin segar bagi reformasi di tubuh kepolisian. Salah satu persoalan penting yang mendapat sorotan publik adalah penuntasan sejumlah kasus dan pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan polisi. Hasil penilaian Komnas HAM atas rekam jejak Timur Pradopo sepanjang kariernya menjabat di kepolisian, tentu akan menjadi barometer yang secara terus menerus dinilai oleh masyarakat luas.
Pelanggaran HAM
Tak dapat dipungkiri bahwa kepolisian kerap terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia. Tahun 2009, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) merilis bahwa polisi menempati urutan tertinggi pengaduan kasus HAM. Dari 4.928 kasus pengaduan yang masuk ke Komnas HAM, terdapat 1.302 kasus yang ditujukan kepada polisi.
Kasus-kasus tersebut terdiri dari 891 kasus yang dialami selama proses penyidikan, legalitas penahanan 177 kasus, sengketa tanah 4 kasus, kekerasan 184 kasus, 30 kasus menyangkut kedisiplinan, dan 17 kasus mengenai kepegawaian. (Kompas, 30/12/2009).
Khusus untuk sengketa pertanahan, pelanggaran HAM kerap terjadi saat polisi terlibat langsung dalam menangani konflik agraria antara rakyat dan pengusaha. Pelanggaran HAM yang terjadi dalam konflik agraria ini adalah akibat dari pendekatan keamanan (security approach) dan penggunaan cara-cara kekerasan oleh polisi dalam menangani konflik.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sampai Juni 2010, cara-cara kekerasan dan pendekatan keamanan oleh Polri dalam menangani konflik agraria, khususnya konflik di perkebunan sawit, telah mengakibatkan 64 orang petani di tangkap, dan satu orang meninggal dunia. Sebagai ilustrasi adalah penembakan satuan Brimob yang mengakibatkan kematian Yuniar (45 tahun), petani di Desa Koto Cengar, Kuasing Riau. Kasus ini adalah buntut dari konflik petani dengan perkebunan sawit PT.Tri Bakti Sarimas.
Bila dicermati, keterlibatan polisi dalam konflik agraria sesungguhnya menyimpang dari semangat reformasi kepolisian. Penangan konflik agraria tidak bisa disamakan dengan tindakan kriminal murni. Sebab konflik agraria yang terjadi adalah akibat dari ketidakadilan agraria yang sedang berlangsung di negeri ini. Hak rakyat atas tanah sebagai sumber penghidupan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh kepolisian.
Sehingga pendekatan keamanan (security approach) oleh polisi dalam menangani konflik agraria, dengan sendirinya melanggar hak asasi manusia. Sebab menurut undang-undang kepolisian, bahwa dalam menjalankan fungsinya untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum, polisi haruslah menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Reposisi
Meneruskan reformasi kepolisian menuju polisi pengayom masyarakat dan penopang tegaknya hak asasi manusia adalah salah satu tugas Kapolri baru. Timur harus mampu mengurangi intensitas pelanggaran hak asasi manusia di lapangan agraria menjadi harapan bagi semua petani di Indonesia.
Selama ini, kaum tani sering berhadap-hadapan langsung dengan pihak kepolisian dalam konflik agraria. Hal ini terjadi karena polisi mengambil posisi sebagai pengawal dan penjaga keamanan dari pemilik modal yang menyewa jasanya. Konflik agraria yang kategorinya konflik perdata biasa berubah menjadi kriminal karena polisi tidak bersikap netral. Bagi kaum tani, tindakan ini disebut sebagai proses kriminalisasi yang bertujuan untuk mematahkan perjuangan petani dalam merebut haknya.
Sebagai Kapolri baru, Timur Pradopo harus melakukan reposisi peran dan fungsi polisi dalam penyelesaian konflik agraria. Ia harus secara tegas melarang polisi terlibat dalam konflik agraria yang melibatkan rakyat dengan pemilik modal, dan menindak anggota polisi yang menjual “jasa pengamanan” bagi pemilik modal di lapangan agraria.
Penyelesaian konflik agraria secara adil adalah prioritas presiden SBY sejak dulu. Program ini menjadi bagian dari rencana pelaksanaan reforma agraria yang ditegaskan dalam pidato presiden SBY, Januari 2007. Karenanya polisi perlu segera mereposisi diri dari aktor pemicu konflik menjadi pengawal rakyat tani untuk mendapatkan hak atas tanah.
Mengabaikannya, berarti membiarkan polisi dibawa bayang-bayang sebagai institusi pelanggar HAM tertingi di Indonesia. Selamat bertugas pak Jendral.
Idham Arsyad, Sekjen KPA