JAKARTA – Tim Terpadu penanganan sengketa lahan yang dibentuk Pemprov Sumut dan instansi terkait lainnya, barangkali bisa menjadikan pemetaan konflik yang dibuat Konsorium Pembaharuan Agraria (KPA) ini sebagai masukan penting.
KPA mengidentifikasi, ada dua wilayah di Sumut yang merupakan area panas sengketa lahan. Pertama, area yang merupakan bekas perkebunan Deli yang dibangun Belanda di tahun 1917 ke bawah. Areanya antara lain mencakup kawasan pantai timur Sumut.
KPA mengidentifikasi, ada dua wilayah di Sumut yang merupakan area panas sengketa lahan. Pertama, area yang merupakan bekas perkebunan Deli yang dibangun Belanda di tahun 1917 ke bawah. Areanya antara lain mencakup kawasan pantai timur Sumut.
“Mulai dari Asahan, Binjai, Deliserdang, hingga yang jauh Pematangsiantar,” terang Deputi Sekertaris Jendral KPA, Iwan Nurdin, kepada JPNN di Jakarta, Rabu (18/1).
Model sengketa untuk kawasan ini menyangkut lahan eks perkebunan jaman Belanda, yang di era awal kemerdekaaan dinasionalisasi menjadi lahan PTPN. Belanda mengambil lahan dari tanah milik masyarakat dan atau masyarakat adat.
Selanjutnya, pada 1979 pernah ada upaya redistribusi tanah, yang menurut UU Pokok Agraria, lahan yang diduduki warga harus dikeluarkan dari area perkebunan. Sebelumnya, tahun 1960-an, ada sejumlah surat land reform yang dikeluarkan. Sebagian tanah di Sumut sudah mendapatkan surat land reform ini.
“Tapi karena ada masalah politik, tanah tak jadi didistribusikan, tapi malah balik lagi ke PTPN. Ini harus diselesaikan sendiri sesuai tipe konfliknya,” beber Iwan.
Yang kedua adalah konflik lahan di area perkebunan yang izinnya dikeluarkan di era Orde Baru hingga era sekarang. Ini biasanya lahan kebun sawit dan HTI. Areanya sebagian besar di kawasan Tapanuli bagian Selatan.
Sumber konflik menyangkut masalah kawasan hutan yang dilepas menjadi area perkebunan, padahal di sana ada tanah-tanah garapan masyarakat atau masyarakat adat. Juga dipicu masalah dengan perusahaan perkebunan inti plasma.
Iwan menjelaskan, di wilayah panas kedua ini, konflik bisa muncul di beberapa fase. Fase pertama adalah fase normatif berupa izin lokasi perkebunan hingga yang diberikan oleh bupati atau gubernur, izin usaha perkebunan dimana kewenangan ada daerah dengan dasar regulasi menteri pertanian, dan hak guna usaha (HGU) yang kewenangan ada di BPN.
Jenis-jenis konflik pada fase ini adalah tumpang tindih lahan dengan penduduk, ganti kerugian tidak wajar kepada penduduk yang tanahnya dicaplok perkebunan hingga penerbitan sertifikat HGU yang cacat prosedur.
Fase kedua, masih menurut Iwan, adalah fase pembangunan kebun. Banyak masyarakat yang diajak untuk menjadi mitra perkebunan dan menyerahkan lahan pertanian mereka untuk bergabung dalam pola plasma inti perkebunan.
Seringkali kesepakatan-kesepakatan plasma tersebut tidak menguntungkan petani, tertutup, bahkan manipulatif. Namun karena ketiadaan pendamping dari sisi masyarakat mereka akhirnya menandatangai MoU dengan perkebunan.
Pada proses ini, lanjut Iwan, seharusnya pemda dan dinas pertanian hadir untuk melindungi warga agar tidak tertipu atau memahami dengan benar skema yang ditawarkan perusahaan.
“Karena itu, sering ditemukan, lahan-lahan yang diserahkan masyarakat kepada perkebunan untuk dibangun kebun plasma justru banyak yang dimasukkan kedalam sertifikat HGU perusahaan,” paparnya.
“Karena itu, sering ditemukan, lahan-lahan yang diserahkan masyarakat kepada perkebunan untuk dibangun kebun plasma justru banyak yang dimasukkan kedalam sertifikat HGU perusahaan,” paparnya.
Sehingga, ketika rakyat menerima kebun plasma justru lahannya jauh dari lokasi rumah warga, bukan tanah pertanian mereka sebelumnya, kurang baik kesuburannya, jenis bibit tanaman kualitas asalan, hingga jumlah tanaman yang sedikit dari seharusnya.
Lebih jauh, banyak petani tidak mendapatkan lahan yang dijanjikan karena perkebunan mengisi plasma dengan daftar nama orang lain, daftar nama fiktif hingga oknum aparat dan pejabat. “Tak heran konflik tanah menjadi semakin semrawut, kusut dan dalam menyelesaikannya banyak kepentingan terlibat,” terang itu.
Pada fase ketiga adalah fase produksi. Dijelaskan Iwan, biasanya konflik perkebunan dengan petani plasma karena penentuan harga pembelian oleh perusahaan yang tidak wajar dan pungutan panen yang tinggi. Padahal petani plasma tersebut harus membayar cicilan kredit plasma.
“Akhirnya karena frustasi yang tinggi, banyak petani memilih agar lahan-lahan mereka dikembalikan saja seperti semula seperti sebelum masuknya perkebunan,” kata aktivis yang lama konsen ke masalah pertanahan itu.
Pada fase ketiga adalah fase produksi. Dijelaskan Iwan, biasanya konflik perkebunan dengan petani plasma karena penentuan harga pembelian oleh perusahaan yang tidak wajar dan pungutan panen yang tinggi. Padahal petani plasma tersebut harus membayar cicilan kredit plasma.
“Akhirnya karena frustasi yang tinggi, banyak petani memilih agar lahan-lahan mereka dikembalikan saja seperti semula seperti sebelum masuknya perkebunan,” kata aktivis yang lama konsen ke masalah pertanahan itu.
“Fase-fase konflik ini kerap terjadi dalam konflik kebun. Ini terjadi karena bisnis perkebunan tidak di awasi dengan benar oleh pemerintah,” imbuhnya.
Iwan menilai, selama ini pengawasan terhadap perkebunan oleh pemerintah sangat lemah. Kementerian Pertanian dalam hal ini Dirjen Perkebunan dan Dinas Pertanian/Perkebunan di pemda, menurutnya, harus dievaluasi karena tidak pernah terlihat turun tangan secara aktif untuk menghentikan konflik-konflik perkebunan. (sam/jpnn)