Oleh: Iwan Nurdin
Globalisasi adalah sebuah rentangan proses yang kompleks yang digerakkan oleh berbagai pengaruh politis dan ekonomis. Globalisasi telah mengubah kehidupan sehari-hari, terutama dinegara-negara berkembang, dan pada saat yang sama ia menciptakan sistem-sistem dan kekuatan-kekuatan transnasional baru. Ia lebih dari menjadi sebuah kebijakan-kebijakan kontemporer, globalisasi telah mentransformasikan institusi-institusi masyarakat dimana kita berada (Giddens:1999).
Penyebaran dan dominasi dari wacana-wacana globalisasi yang setali tiga uang dengan neoliberalisme; pasar bebas; menjadi sebuah iman baru dalam masyarakat dunia dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari apa yang diungkapkan oleh Gramsci sebagai sebuah proses Hegemoni. Hegemoni pasar telah merasuk kedalam sebuah iman yang sembrono: bahwa kesejahteraan dunia akan berbanding lurus dengan semakin diterimanya secara penuh ideologi pasar.
Sebuah hegemoni membutuhkan institusi yang bertugas sebagai penjaga gawang sekaligus penyerang aktifnya, hegemoni dalam pandangan positivis akan selalu mengarahkan pada sebuah kebutuhan pelembagaan dari tata nilai yang telah dihegemonikan. Dalam sistem pasar rezim penjaga neoliberal yang paling utama adalah Bank Dunia, IMF dan WTO. Globalisasi macam inilah yang secara gencar dipromosikan oleh tiga lembaga ini.
Bank Dunia, mempunyai peran besar dalam diseminasi ideology neo-liberal, karena selain bekerja layaknya sebuah Bank yang membiayai proyek pembangunan sebuah negara bangsa, WB juga adalah sebuah lembaga yang memproduksi pengetahuan (knowledge of bank).
Beberapa Evolusi kebijakan Bank Dunia dalam bidang pertanahan adalah sbb:
Sampai dengan tahun 1970-an, WB masih meyakini bahwa kepemilikan tanah yang terkonsentrasi pada segelintir orang hanyalah salah satu (dari banyak) penghambat bagi peningkatan pertumbuhan (produksi) ekonomi dan efisiensi pertanian. Kebijakan utama Bank Dunia masa itu, masih berkutat pada upaya memodernisasi dan industrialisasi aktivitas pertanian lewat sebuah kebijakan yang dikenal dengan nama “Revolusi Hijau”.
Namun, pada tahun 1975, Bank Dunia mengeluarkan sebuah paper dengan nama “Land Refom Policies Paper (LRPP)” yang didalamnya mulai menyadari bahwa telah terjadi kemiskinan dan pengangguran yang mendalam di pedesaan. Dokumen ini kemudian menyarankan agar usaha-usaha memberikan jaminan kepemilikan dan akses lebih lanjut untuk memproduktifkan tanah bagi para keluarga miskin adalah sebuah upaya penting dalam mewujudkan efisiensi ekonomi dan keadilan sosial.
Namun, kebijakan ini belum pernah diimplementasikan. Sebab, sampai dengan awal 1980-an, resep ekonomi yang diberikan kepada negara-negara Amerika Latin yang tengah seiring dengan krisis ekonomi yang tengah melanda wilayah Amerika Latin, WB dan IMF lebih mengkonsentrasikan energi mereka untuk mensukseskan prinsip Washington Consensus lewat program-program penyesuaian struktural (SAPs) seperti privatisasi dll.
Di tahun 1990an, SAPs mendapatkan banyak mendapat kritik tajam dari para ilmuan dan tentu saja mendapatkan perlawanan sengit dari kalangan gerakan sosial, sebab kebijakan neo-liberal tersebut nyata-nyata telah menyebabkan meluasnya kemiskinan. Sehingga pada tahun 90-an, WB mengumumkan sebuah kebijakan yang kerap mereka sebut sebagai sebuah upaya global memerangi kemiskinan.
Dalam kebijakan ini, landreform kembali menjadi wilayah penting dalam kebijakan WB tentu saja dengan embel-embel memerangi kemiskinan dunia. Namun, satu hal yang secara fundamental sangat berbeda dibandingkan paper mereka di tahun 1975, negara sebagai pelaku utama reforma agraria telah digantikan oleh pasar.
Ada beberapa hal utama yang menjadi basis utama kebijakan Bank Dunia dalam bidang pertanahan tersebut: pertama, kegagalan atau krisis pada perkebunan besar milik pemerintah ataupun tuan tanah karena tidak efisiens. Kedua, kekagumanan pada hasil-hasil landreform khususnya di Taiwan, Korea Selatan dan Jepang yang mampu mentransformasikan masyarakat disana menjadi sebuah negara yang maju dan sejahtera. ketiga, runtuhnya negara komunisme yang tentusaja disertai dengan propaganda kegagalan reforma agraria yang dipimpin negara (State Led Agrarian Reform) dalam mentransformasikan masyarakat. Keempat, Banyaknya konflik pertanahan yang diakibatkan oleh ketidak pastian sistem kepemilikan tanah, sistem administrasi pertanahan yang buruk dan mahal (korup) yang ada pada pemerintah sehingga perlu dilakukan upaya mendorong sistem administrasi pertanahan yang melindungi hak kepemilikan atas tanah termasuk tanah-tanah bersama (masyarakat adat) sehingga membuka peluang lebih luas bagi tanah-tanah tersebut bersinergi dengan lembaga kauangan perbankan dan tentusaja akan memudahkan investasi modal.
Bagaimanakah Market Led Agrarian Reforms (MLARs) bekerja? MLARs telah dilakukan di wilayah-wilayah negara seperti Amerika Latin ini sesungguhnya bekerja dalam kerangka supply and demand. Para tuan tanah atau pemerintah adalah penyedia tanah-tanah yang akan dibagikan kepada para pengguna tanah. Para penerima manfaat mencari tanah yang akan mereka kerjakan, yakni milik tuan tanah, kemudian melaporkan kepada lembaga land reform. Kemudian, sebuah bank yang telah ditunjuk akan mengganti tanah milik tuan tanah tersebut dengan harga pasar. Para penggarap tanah tersebut atau penerima manfaat akan membayar kembali harga tanah tersebut lewat cicilan kepada perbankan yang ditunjuk. Menurut para pembelanya, pola landreform semacam ini biayanya jauh lebih murah dibandingkan dengan pola lama.
Namun, benarkah demikian? biaya memperoleh tanah secara riil ditanggung sepenuhnya oleh si penerima manfaat (beneficiaries). Padahal, dalam model lama biaya ini ditanggung oleh pemerintah. Biaya riil yang ditanggung oleh penerima manfaat menjadi lebih besar dikarena harga-harga tanah yang akan diambil oleh penerima manfaat selalu menjadi lebih tinggi dari harga sebelumnya. Pasalnya, demand bertambah sementara supply tanah selalu tetap. Persoalan lainnya, MLARs membuat hutang negara penyelenggara kepada lembaga donor dunia semakin bertambah. Lagi-lagi, pembayar utama dari hutang ini adalah penerima manfaat. Terakhir, MLARs sebagai sebuah upaya transformasi sosial menuju tatanan yang lebih adil tidak tercapai. Sebab, lemahnya intervensi negara dalam proses MLARs telah membuat landreform tidak lebih sebuah upaya menghilangkan kemiskinan absolut semata. Bukan sebuah upaya transformasi sosial ekonomi masyarakat pertanian dan pedesaan yang tentusaja berkorelasi kuat skema pembangunan nasional negara bangsa.
Jakarta, 11 Desember 2007
Iwan Nurdin
December 11, 2007
December 3, 2007
DARI ERA KERAJAAN HINGGA TANAM PAKSA: POKOK-POKOK PENGUASAAN TANAH DI JAWA
Oleh Iwan Nurdin
A.Pendahuluan
Tulisan ini adalah rencana dari seri penulisan yang mencoba mengetengahkan pandangan-pandangan penulis tentang pokok-pokok penguasaan tanah di Jawa yang dan perubahan-perubahan sosial utama yang mengikutinya dibelakang.
Tentusaja, sebagai sebuah proyek penulisan dari penulis yang mengisahkan tentang keutamaan atau pokok-pokok semata, pikiran-pikiran yang terkandung didalamnya tidak mengetengahkan sebuah hal-hal yang khusus terjadi apalagi sebuah pengistilahan khusus yang kerapkali terjadi di pedesaan Jawa yang sebenarnya sangat beragam. Namun, keberagaman tersebut ternyata menghadirkan kembali pola-pola umum yang terjadi.
Seri tulisan ini bersifat mengurai semata berdasarkan kurunwaktu. Kemudian, dalam seri tulisan selanjutnya penulis akan mencoba menghadirkan kepada pengasuh bagaimana cikal bakal kehadiran kelas petani gurem dan kaum buruh di pedesaan Jawa hingga mengupasnya kedalam perjuangan reforma agraria.
B.Pokok Penguasaan Tanah Masa Pra-Kolonial
Sejarawan Onghokham (1984) menjelaskan bahwa dalam konsepsi kerajaan Mataram Islam atau sebelumnya, penduduk dibedakan dalam struktur: Raja sebagai pusat kekuasaan dan kalangan Abdi Dalem. Di kalangan abdi dale mini terdapat kelas elit yang berstatus priyayi/adik raja. Bagi Raja inilah sesungguhnya warga negaranya (kawula). Sementara, diluar kalangan tersebut terdapat kalangan wong cilik.
Para priyayi dan elit kerajaan ini dibagi ke dalam wilayah-wilayah penguasaan tanah. Mereka diberi hak oleh raja untuk menguasai namun tidak memiliki. Sebab, Raja adalah pemilik semua tanah. Wilayah penguasaan mereka dibagi tidak didasarkan luas kewilayahan, namun dihitung berdasarkan jumlah cacah. Misalnya seorang pejabat kerajaan atau pangeran menerima tanah seluas 800 cacah (keluarga petani sikep).
Dari para cacahnya inilah, para elit kerajaan ini mendapatkan lungguh (apanage) yang merupakan tanah gaji. Tanah lungguh ini akan kembali kepada raja jika para priayi dan abdi dalem ini ini dipecat. Jika priayi tersebut meninggal dunia, tergantung kepada raja apakah ahli warisnya kelak dapat melanjutkan lungguh ini atau tidak.
Para cacah ini, adalah kaum tani yang sangat tergantung kepada tanah dalam proses produksinya. Kaum tani ini terbagi-bagi dalam golongan atau kelas yang didasarkan pada tatacara mereka menguasai tanah. Petani yang menguasai tanah disebut Sikep, mereka inilah yang memeluk dan menanggung beban tanah kepada para priayi. Para petani sikep ini mempunyai numpang (tanggungan) dan bujang (belum menikah) yang merupakan lapisan social terendah.
Sikep memperoleh tanah langsung dari raja atau melalui priayi. Para sikep ini yang mempunyai kewajiban pajak dan kerja bakti kepada para priayi (cacah). Jika Negara membutuhkan pajak baru dan kewajiban-kewajiban yang lebih luas, maka akan dibentuk Sikep baru dengan cara memecah penguasaan sikep lama (pancasan).
Sementara itu, para numpang juga mempunyai hak mengusahakan tanah-tanah persekutuan (tanah lanyah) secara bergantian dan tidak boleh memilikinya yang diatur oleh kepala desa (bekel). Fungsi utama pembagian secara bergilir ini adalah untuk menjaga para numpang tetap menetap di wilayah tersebut.
Beberapa kesimpulan yang diuraikan oleh Onghokham tersebut adalah: Jika hubungan raja dan priayi adalah hubungan kawula-gusti (patron client). Maka proses ini akan berulang antara hubungan priyayi dan sikep di lapisan dua, dan sikep kepada numpang dilapisan terendah.
Dengan melihat pola-pola umum penguasaan tanah ini, maka dapat disimpulkan bahwa konsep kepemilikan tanah pada masa Mataram Islam dapat diartikan bahwa tanah mutlak dimiliki oleh Raja semata. Bahkan, para elit sendiripun secara samar-samar saja mempunyai hak atas tanah.
C.Penguasaan Tanah Pada Masa Kolonial
Kolonialisme yang panjang di Jawa, dan dimulai dari daerah pesisir Utara menuju kepedalaman Jawa telah membuat struktur penguasaan tanah pada masa sebelum kolonialisme berubah. Rentang waktu kolonialisme di Jawa yang panjang, yang mencakup era merkantilis hingga era industri modern telah membuat penguasaan tanah di Jawa menyesuaikan diri dengan negara induknya (Simarmata: 2002; Rajagugkguk:1995).
Pada masa VOC, agaknya kongsi dagang ini belum terlalu berminat dalam penguasaan-penguasaan langsung tanah dan kekuasaan. VOC lebih berminat mengadakan perjanjian kerjasama dan atau pemaksaan penguasa wilayah di Jawa bekerjasama untuk memastikan kuota (contingenten) hasil-hasil agraris di tiap-tiap wilayah dapat disetor (wajib setor) kepada VOC (Kartodirdjo dan Suryo: 1991).
Bagi kalangan wong cilik, wajib setor ala VOC relatif sama dengan upeti untuk priayi dan raja. Terlebih para pengumpulnya tetaplah sama: kalangan penguasa/priayi lokal. Sampai VOC bangkrut, usaha-usaha semacam ini tetap dipertahankan oleh pemerintah Belanda yang mengambil alih kekuasaan di Jawa.
Dapat disimpulkan bahwa struktur penguasaan agraria pada masa VOC tidak mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan masa pra-kolonial. Meski terdapat kekecualian khususnya di beberapa wilayah taklukan seperti Batavia dan sekitarnya. Beberapa tanah dijual kepada orang-orang Eropa dan China. Tanah tersebut dijual berikut orang-orang yang bermukim di wilayah tersebut. Sehingga, para pemilik tanah dapat diperbolehkan mengutip pajak, mewajibkan kerja secara mandiri kepada para penduduk (Tanah Partikelir).
B.1 Pajak Tanah Raffles
Pada tahun 1811, ketika kekuasaan Hindia Belanda secara resmi berada ditangan Inggris dan menunjuk Sir Thomas Stanford Raffles menjadi Gubernur Jenderal. Dikenalkanlah oleh sang gubernur sistem sewa tanah. Sistem ini dijalankan dengan pengertian bahwa semua tanah sebelumnya adalah milik raja (domein theory). Dan, karena raja telah mengakui kedaulatan Inggris di wilayah Jawa maka pemilik tanah adalah pemerintah penjajah. Sehingga, penduduk harus membayar sewa kepada pemerintah penjajah (Rajagukguk:1995).
Tetapi bagaimana cara mengutip sewa? Di beberapa daerah Jawa Barat khususnya Bandung, Karawang dan dimana tidak ada kekuasaan raja yang efektif, Raffles melelang tanah-tanah khususnya di daerah taklukan kepada para pengusaha dengan mendasarkan pada jumlah penduduk, hasil panen kopi dan padi setiap tahunnya. Sistem ini sama dengan penguasaan dimasa sebelumnya yang dikenal dengan tanah partikelir.
Sementara, di daerah-daerah lainnya khususnya di daerah yang dikuasai dengan perjanjian (Mataram) sistem ini dijalankan dengan cara mengurangi peranan penguasa lokal (bupati). Bahkan, jumlah penguasa lokal setingkat bupati dikurangi dengan melakukan penggabungan-penggabungan wilayah (Tjondronegoro dan Wiradi (Peny): 1984).
Pemerintahan di masa Raffles menentukan secara langsung tarif sewa tanah kepada para penggarap sekaligus memerintahkan kepala desa mengumpulkan uang sewa. Pada mulanya, tarif sewa tersebut 2/5 hasil padi. Namun pada perkembangannya sewa tersebut meningkat pada tanah-tanah subur sewa tanah mencapai ½ dan pada tanah kualitas menengah 1/3 dari hasil panen setahun. Hanya tanah-tanah kurang subur harga sewa 2/5 masih dipertahankan.
Bagi pemerintah kolonial sendiri, cara yang digunakan Raffles dianggap kurang berhasil dalam menghasilkan uang. Beberapa hal tersebut disebabkan oleh lemahnya administrasi, jumlah pegawai pemerintah yang mengontrol sangat sedikit, secara operasional sistem ini juga mahal dijalankan sementara rakyat masih dibebaskan menggarap tanah dengan jenis tanaman apa saja.
Beberapa kesimpulan pola penguasaan tanah dan bagaimana sistem utama yang dijalankan pada masa Raffles adalah: pertama, Raffles mencoba menghilangkan peranan golongan feodal lama dalam mengutip pajak dari petani dengan cara mengganti penguasaan tanah melalui tangan kekuasaan pemerintah jajahan yang masih tetap berciri feodal. Kedua, Tanah adalah milik pemerintah. Maka, karena pemerintahan terkecil adalah desa maka semua tanah tersebut adalah milik desa. Sehingga pemerintah desalah yang mempunyai kewajiban membayar pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah besarannya. Untuk itu, pemerintah desa diwajibkan mengutip pajak itu dari penduduk. Ketiga, Dalam wilayah dimana kekuasaan lokal sudah tidak efektif akibat penguasaan langsung pemerintah Raffles dapat langsung mengundang pemodal untuk mengikuti lelang sehingga sang pemenang dapat langsung menguasai tanah, penduduk, dan hasil panen.
B.2 Pola Penguasaan Tanah Era Tanam Paksa
Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles sejak 1811-1816 telah membawa beberapa persoalan terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga membawa segi perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.
Namun kalangan sarjana juga mengidentifikasi bahwa meletusnya perang ini juga diakibatkan oleh keresahan para priayi yang sebelumnya mendapatkan keuntungan dari sistem Raffles, khususnya para priayi Surakarta yang telah mengikuti lelang penguasaan tanah sistem Raffles, namun dinyatakan tidak lagi berlaku oleh Belanda (Rajagukguk: 1994).
Perang ini telah membawa kerugian besar bagi Belanda yang pada saat itu belum pulih dari kerugian selama Perang Eropa. Namun, menurut Onghokham (Tjondronegoro dan Wiradi (peny): 1984), Perang Diponegoro yang berlangsung sejak 1825-1830 juga telah memberi sumbangan penting bagi Pemerintah Belanda dalam memahami seluk beluk penguasaan tanah di Jawa pedalaman. Sebab, dukungan dan sekaligus perlawanan para priayi terhadap pihak kolonial telah membuka pemahaman mereka bahwa sandaran kekuasaan Belanda di Jawa hanya dapat bertahan jika para priyayi berkolaborasi dengan mereka. Kolaborasi ini juga akan membawa stabilitas Jawa untuk dapat lebih memberi keuntungan pada penguasa kolonial.
Pelaksanaan politik tanam paksa dijalankan sejak tahun 1830-1870 yang dimulai sejak kekuasaan Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Era tanam paksa di Jawa sesungguhnya sebuah proses percepatan pemindahan beberapa segi kekuasaan agraria dari kaum feodal lama (priayi) kepada pemerintahan feodal baru yakni pemerintah Hindia Belanda khususnya dalam hal penguasaan para sikep numpang dan bujang di desa. Sementara, para priayi sendiri dipakai oleh Belanda sebagai tenaga administrative dan “politik” yang kedudukannya dapat diwariskan.
Dengan memperkuat peran-peran Bupati, Wedana dan Bekel (Lurah) di wilayah-wilayah maka Belanda mendapatkan dukungan penuh dari kekuasaan feodal. Bahkan, untuk semakin mendapatkan dukungan Belanda menjadikan kekuasaan tersebut sebagai sesuatu yang dapat diwariskan berikut fasilitas berupa gaji bulanan dan tanah gaji (Tjondronegoro dan Wiradi (peny): 1984).
Tanah gaji tersebut dapat diambil alih oleh pemerintah kolonial dengan memberinya kompensasi berupa dua kali gaji. Pejabat bupati, wedana dan kepala desa dan yang tetap menginginkan tanah gaji akan diberi setengah dari gaji bulanan saja. Sementara, tanah-tanah gaji yang mereka minta tersebut yang ditentukan sendiri oleh mereka luasan arealnya dan letaknya setelah disetujui oleh pemerintah Belanda. Dan tentusaja mereka memilih tanah-tanah paling subur dan luas.
Semua penduduk desa memperoleh tanah garapan, tak terkecuali para numpang dan bujang. Tanah garapan mereka adalah tanah yang dapat pula diwariskan penggarapannya. Tanah tersebut berasal dari tanah para sikep yang diambil alih oleh pemerintah desa dan dibagikan kepada para numpang atau bujang atau mewajibkan penduduk bujang dan numpang membuka areal baru di desa setempat.
Karena semua penduduk telah mempunyai tanah, maka mereka mempunyai kewajiban membayar pajak dan kerja bhakti seperti di era kerajaan. Namun pajak tersebut diubah dengan kewajiban menanam tanaman ekspor yang luasnya paling sedikit 1/5 kemudian dinaikkan menjadi 1/3 dari total tanah pertanian desa yang kerap disebut sebagai tanah persekutuan/tanah kongsen atau tanah lanyah (Rajagukguk:1995). Penghitungan jumlah pajak tanah suatu desa ditentukan dengan harga komoditas yang diwajibkan ditanam tersebut oleh pemerintah. Harga pajak ini adalah cara untuk meningkatkan produktifitas tanah wilayah tanam paksa tersebut (Simarmata:2002). Tak jarang lebih dari separuh tanah pertanian desa akhirnya digunakan sebagai tanah kongsen penghitungan pajak ini.
Para petani ini mengerjakan wilayah desa yang ditentukan sebagai wilayah untuk tanam paksa (tanah lanyah/tanah kongsen) ini dengan kerja wajib bergilir dan bersama-sama. Selain itu, penduduk desa juga tetap diwajibkan mengerjakan tanah-tanah gaji para priayi bupati dan pejabat wedana atau kepala desa dengan imbalan makan, dan kewajiban kerja bhakti membangun gedung, jalan, rel kereta, irigasi dan menjaganya secara bergiliran tanpa digaji. Kesemuanya menjadi tanggung jawab lurah untuk mengkoordinirnya (Prisma:1991).
Untuk mendorong keberhasilan sistem ini di tiap wilayah desa, kepala desa juga mendapatkan komisi atau persentase dari hasil cultuurstelsel (tanam paksa) ini. Sistem ini tidak diberlakukan pada desa-desa perdikan (desa bebas pajak) karena kewajiban khusus dari kekuasaan feodal seperti mengurus makam dan memelihara pesantren (Tjondronegoro dan Wiradi (peny):1984).
Bagi Belanda sistem tanam paksa sangat menguntungkan. Bahkan, keuntungan dari tanam paksa telah mampu mentransformasi negara Belanda menjadi negara industri dan perdagangan yang kokoh dan kuat. Modal tersebut didapat dari keuntungan tanam paksa (batig slot) di Jawa (Simarmata:2002).
Tanam paksa telah membuat barang-barang hasil ekspor pertanian dan perkebunan Jawa menjadi kompetitif dengan barang-barang serupa dari Amerika Latin dan Hindia Barat yang didapatkan melalui sistem perbudakan modern (Rajagukguk:1995). Bahkan, sejak 1832-1867 total saldo keuntungan yang diambil dari Jawa sebebesar 823 juta gulden. (Simarmata:2002).
Beberapa perubahan sosial yang terjadi akibat sistem tanam paksa yang ditemukan oleh Onghokham (Tjondronegoro dan Wiradi (peny):1984) Edi Cahyono (1991) dan Rajagukguk (1995) adalah: Pertama, pengambil alihan tanah penduduk menjadi kepemilikan desa telah melahirkan petani rumah tangga dengan kepemilikan tanah pertanian yang kecil. Para petani kecil ini masih dibebani dengan kerja tambahan tersebut sehingga tidak dapat mengembangkan diri meski mempunyai tanah garapan yang dapat mereka wariskan kepada keturunan mereka. Kedua, kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban penanaman tersebut telah mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan petani untuk menurunkan beban kerja keluarga. Ketiga, sementara itu, secara politik sistem ini juga telah menghidupkan pemerintahan Desa menjadi struktur pemerintahan efektif mengontrol administrasi kewilayahan dan penduduk. Sistem ini juga menjadikan kepemimpinan di wilayah Jawa menjadi sangat otoriter. Keempat, Masyarakat petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk bertahan hidup dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak mereka. Lahan pekarangan secara teori memang tidak dihitung pajaknya. Kelima, Sistem tanam paksa telah menutup peranan ekonomi kalangan swasta untuk tumbuh dan berperan baik dari kalangan priayi, tionghoa, arab maupun golongan pengusaha Belanda sendiri. Keenam, Tanam paksa juga telah melahirkan pengistilahan baru dalam lapisan-lapisan di masyarakat petani. Istilah-istilah kuli kenceng (kewajiban penuh kerja bakti), kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawa penuh) telah menggantikan istilah numpang dan sikep. Sebab, semua pemilik tanah wajib menjalankan kerja bakti di tanah-tanah cultuurstelsel. Dengan demikian tanam paksa telah mentransformasi beberapa penduduk menjadi kuli/buruh (Prisma:1991).
Jakarta, 3 Desember 2007
Iwan Nurdin
A.Pendahuluan
Tulisan ini adalah rencana dari seri penulisan yang mencoba mengetengahkan pandangan-pandangan penulis tentang pokok-pokok penguasaan tanah di Jawa yang dan perubahan-perubahan sosial utama yang mengikutinya dibelakang.
Tentusaja, sebagai sebuah proyek penulisan dari penulis yang mengisahkan tentang keutamaan atau pokok-pokok semata, pikiran-pikiran yang terkandung didalamnya tidak mengetengahkan sebuah hal-hal yang khusus terjadi apalagi sebuah pengistilahan khusus yang kerapkali terjadi di pedesaan Jawa yang sebenarnya sangat beragam. Namun, keberagaman tersebut ternyata menghadirkan kembali pola-pola umum yang terjadi.
Seri tulisan ini bersifat mengurai semata berdasarkan kurunwaktu. Kemudian, dalam seri tulisan selanjutnya penulis akan mencoba menghadirkan kepada pengasuh bagaimana cikal bakal kehadiran kelas petani gurem dan kaum buruh di pedesaan Jawa hingga mengupasnya kedalam perjuangan reforma agraria.
B.Pokok Penguasaan Tanah Masa Pra-Kolonial
Sejarawan Onghokham (1984) menjelaskan bahwa dalam konsepsi kerajaan Mataram Islam atau sebelumnya, penduduk dibedakan dalam struktur: Raja sebagai pusat kekuasaan dan kalangan Abdi Dalem. Di kalangan abdi dale mini terdapat kelas elit yang berstatus priyayi/adik raja. Bagi Raja inilah sesungguhnya warga negaranya (kawula). Sementara, diluar kalangan tersebut terdapat kalangan wong cilik.
Para priyayi dan elit kerajaan ini dibagi ke dalam wilayah-wilayah penguasaan tanah. Mereka diberi hak oleh raja untuk menguasai namun tidak memiliki. Sebab, Raja adalah pemilik semua tanah. Wilayah penguasaan mereka dibagi tidak didasarkan luas kewilayahan, namun dihitung berdasarkan jumlah cacah. Misalnya seorang pejabat kerajaan atau pangeran menerima tanah seluas 800 cacah (keluarga petani sikep).
Dari para cacahnya inilah, para elit kerajaan ini mendapatkan lungguh (apanage) yang merupakan tanah gaji. Tanah lungguh ini akan kembali kepada raja jika para priayi dan abdi dalem ini ini dipecat. Jika priayi tersebut meninggal dunia, tergantung kepada raja apakah ahli warisnya kelak dapat melanjutkan lungguh ini atau tidak.
Para cacah ini, adalah kaum tani yang sangat tergantung kepada tanah dalam proses produksinya. Kaum tani ini terbagi-bagi dalam golongan atau kelas yang didasarkan pada tatacara mereka menguasai tanah. Petani yang menguasai tanah disebut Sikep, mereka inilah yang memeluk dan menanggung beban tanah kepada para priayi. Para petani sikep ini mempunyai numpang (tanggungan) dan bujang (belum menikah) yang merupakan lapisan social terendah.
Sikep memperoleh tanah langsung dari raja atau melalui priayi. Para sikep ini yang mempunyai kewajiban pajak dan kerja bakti kepada para priayi (cacah). Jika Negara membutuhkan pajak baru dan kewajiban-kewajiban yang lebih luas, maka akan dibentuk Sikep baru dengan cara memecah penguasaan sikep lama (pancasan).
Sementara itu, para numpang juga mempunyai hak mengusahakan tanah-tanah persekutuan (tanah lanyah) secara bergantian dan tidak boleh memilikinya yang diatur oleh kepala desa (bekel). Fungsi utama pembagian secara bergilir ini adalah untuk menjaga para numpang tetap menetap di wilayah tersebut.
Beberapa kesimpulan yang diuraikan oleh Onghokham tersebut adalah: Jika hubungan raja dan priayi adalah hubungan kawula-gusti (patron client). Maka proses ini akan berulang antara hubungan priyayi dan sikep di lapisan dua, dan sikep kepada numpang dilapisan terendah.
Dengan melihat pola-pola umum penguasaan tanah ini, maka dapat disimpulkan bahwa konsep kepemilikan tanah pada masa Mataram Islam dapat diartikan bahwa tanah mutlak dimiliki oleh Raja semata. Bahkan, para elit sendiripun secara samar-samar saja mempunyai hak atas tanah.
C.Penguasaan Tanah Pada Masa Kolonial
Kolonialisme yang panjang di Jawa, dan dimulai dari daerah pesisir Utara menuju kepedalaman Jawa telah membuat struktur penguasaan tanah pada masa sebelum kolonialisme berubah. Rentang waktu kolonialisme di Jawa yang panjang, yang mencakup era merkantilis hingga era industri modern telah membuat penguasaan tanah di Jawa menyesuaikan diri dengan negara induknya (Simarmata: 2002; Rajagugkguk:1995).
Pada masa VOC, agaknya kongsi dagang ini belum terlalu berminat dalam penguasaan-penguasaan langsung tanah dan kekuasaan. VOC lebih berminat mengadakan perjanjian kerjasama dan atau pemaksaan penguasa wilayah di Jawa bekerjasama untuk memastikan kuota (contingenten) hasil-hasil agraris di tiap-tiap wilayah dapat disetor (wajib setor) kepada VOC (Kartodirdjo dan Suryo: 1991).
Bagi kalangan wong cilik, wajib setor ala VOC relatif sama dengan upeti untuk priayi dan raja. Terlebih para pengumpulnya tetaplah sama: kalangan penguasa/priayi lokal. Sampai VOC bangkrut, usaha-usaha semacam ini tetap dipertahankan oleh pemerintah Belanda yang mengambil alih kekuasaan di Jawa.
Dapat disimpulkan bahwa struktur penguasaan agraria pada masa VOC tidak mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan masa pra-kolonial. Meski terdapat kekecualian khususnya di beberapa wilayah taklukan seperti Batavia dan sekitarnya. Beberapa tanah dijual kepada orang-orang Eropa dan China. Tanah tersebut dijual berikut orang-orang yang bermukim di wilayah tersebut. Sehingga, para pemilik tanah dapat diperbolehkan mengutip pajak, mewajibkan kerja secara mandiri kepada para penduduk (Tanah Partikelir).
B.1 Pajak Tanah Raffles
Pada tahun 1811, ketika kekuasaan Hindia Belanda secara resmi berada ditangan Inggris dan menunjuk Sir Thomas Stanford Raffles menjadi Gubernur Jenderal. Dikenalkanlah oleh sang gubernur sistem sewa tanah. Sistem ini dijalankan dengan pengertian bahwa semua tanah sebelumnya adalah milik raja (domein theory). Dan, karena raja telah mengakui kedaulatan Inggris di wilayah Jawa maka pemilik tanah adalah pemerintah penjajah. Sehingga, penduduk harus membayar sewa kepada pemerintah penjajah (Rajagukguk:1995).
Tetapi bagaimana cara mengutip sewa? Di beberapa daerah Jawa Barat khususnya Bandung, Karawang dan dimana tidak ada kekuasaan raja yang efektif, Raffles melelang tanah-tanah khususnya di daerah taklukan kepada para pengusaha dengan mendasarkan pada jumlah penduduk, hasil panen kopi dan padi setiap tahunnya. Sistem ini sama dengan penguasaan dimasa sebelumnya yang dikenal dengan tanah partikelir.
Sementara, di daerah-daerah lainnya khususnya di daerah yang dikuasai dengan perjanjian (Mataram) sistem ini dijalankan dengan cara mengurangi peranan penguasa lokal (bupati). Bahkan, jumlah penguasa lokal setingkat bupati dikurangi dengan melakukan penggabungan-penggabungan wilayah (Tjondronegoro dan Wiradi (Peny): 1984).
Pemerintahan di masa Raffles menentukan secara langsung tarif sewa tanah kepada para penggarap sekaligus memerintahkan kepala desa mengumpulkan uang sewa. Pada mulanya, tarif sewa tersebut 2/5 hasil padi. Namun pada perkembangannya sewa tersebut meningkat pada tanah-tanah subur sewa tanah mencapai ½ dan pada tanah kualitas menengah 1/3 dari hasil panen setahun. Hanya tanah-tanah kurang subur harga sewa 2/5 masih dipertahankan.
Bagi pemerintah kolonial sendiri, cara yang digunakan Raffles dianggap kurang berhasil dalam menghasilkan uang. Beberapa hal tersebut disebabkan oleh lemahnya administrasi, jumlah pegawai pemerintah yang mengontrol sangat sedikit, secara operasional sistem ini juga mahal dijalankan sementara rakyat masih dibebaskan menggarap tanah dengan jenis tanaman apa saja.
Beberapa kesimpulan pola penguasaan tanah dan bagaimana sistem utama yang dijalankan pada masa Raffles adalah: pertama, Raffles mencoba menghilangkan peranan golongan feodal lama dalam mengutip pajak dari petani dengan cara mengganti penguasaan tanah melalui tangan kekuasaan pemerintah jajahan yang masih tetap berciri feodal. Kedua, Tanah adalah milik pemerintah. Maka, karena pemerintahan terkecil adalah desa maka semua tanah tersebut adalah milik desa. Sehingga pemerintah desalah yang mempunyai kewajiban membayar pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah besarannya. Untuk itu, pemerintah desa diwajibkan mengutip pajak itu dari penduduk. Ketiga, Dalam wilayah dimana kekuasaan lokal sudah tidak efektif akibat penguasaan langsung pemerintah Raffles dapat langsung mengundang pemodal untuk mengikuti lelang sehingga sang pemenang dapat langsung menguasai tanah, penduduk, dan hasil panen.
B.2 Pola Penguasaan Tanah Era Tanam Paksa
Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles sejak 1811-1816 telah membawa beberapa persoalan terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga membawa segi perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.
Namun kalangan sarjana juga mengidentifikasi bahwa meletusnya perang ini juga diakibatkan oleh keresahan para priayi yang sebelumnya mendapatkan keuntungan dari sistem Raffles, khususnya para priayi Surakarta yang telah mengikuti lelang penguasaan tanah sistem Raffles, namun dinyatakan tidak lagi berlaku oleh Belanda (Rajagukguk: 1994).
Perang ini telah membawa kerugian besar bagi Belanda yang pada saat itu belum pulih dari kerugian selama Perang Eropa. Namun, menurut Onghokham (Tjondronegoro dan Wiradi (peny): 1984), Perang Diponegoro yang berlangsung sejak 1825-1830 juga telah memberi sumbangan penting bagi Pemerintah Belanda dalam memahami seluk beluk penguasaan tanah di Jawa pedalaman. Sebab, dukungan dan sekaligus perlawanan para priayi terhadap pihak kolonial telah membuka pemahaman mereka bahwa sandaran kekuasaan Belanda di Jawa hanya dapat bertahan jika para priyayi berkolaborasi dengan mereka. Kolaborasi ini juga akan membawa stabilitas Jawa untuk dapat lebih memberi keuntungan pada penguasa kolonial.
Pelaksanaan politik tanam paksa dijalankan sejak tahun 1830-1870 yang dimulai sejak kekuasaan Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Era tanam paksa di Jawa sesungguhnya sebuah proses percepatan pemindahan beberapa segi kekuasaan agraria dari kaum feodal lama (priayi) kepada pemerintahan feodal baru yakni pemerintah Hindia Belanda khususnya dalam hal penguasaan para sikep numpang dan bujang di desa. Sementara, para priayi sendiri dipakai oleh Belanda sebagai tenaga administrative dan “politik” yang kedudukannya dapat diwariskan.
Dengan memperkuat peran-peran Bupati, Wedana dan Bekel (Lurah) di wilayah-wilayah maka Belanda mendapatkan dukungan penuh dari kekuasaan feodal. Bahkan, untuk semakin mendapatkan dukungan Belanda menjadikan kekuasaan tersebut sebagai sesuatu yang dapat diwariskan berikut fasilitas berupa gaji bulanan dan tanah gaji (Tjondronegoro dan Wiradi (peny): 1984).
Tanah gaji tersebut dapat diambil alih oleh pemerintah kolonial dengan memberinya kompensasi berupa dua kali gaji. Pejabat bupati, wedana dan kepala desa dan yang tetap menginginkan tanah gaji akan diberi setengah dari gaji bulanan saja. Sementara, tanah-tanah gaji yang mereka minta tersebut yang ditentukan sendiri oleh mereka luasan arealnya dan letaknya setelah disetujui oleh pemerintah Belanda. Dan tentusaja mereka memilih tanah-tanah paling subur dan luas.
Semua penduduk desa memperoleh tanah garapan, tak terkecuali para numpang dan bujang. Tanah garapan mereka adalah tanah yang dapat pula diwariskan penggarapannya. Tanah tersebut berasal dari tanah para sikep yang diambil alih oleh pemerintah desa dan dibagikan kepada para numpang atau bujang atau mewajibkan penduduk bujang dan numpang membuka areal baru di desa setempat.
Karena semua penduduk telah mempunyai tanah, maka mereka mempunyai kewajiban membayar pajak dan kerja bhakti seperti di era kerajaan. Namun pajak tersebut diubah dengan kewajiban menanam tanaman ekspor yang luasnya paling sedikit 1/5 kemudian dinaikkan menjadi 1/3 dari total tanah pertanian desa yang kerap disebut sebagai tanah persekutuan/tanah kongsen atau tanah lanyah (Rajagukguk:1995). Penghitungan jumlah pajak tanah suatu desa ditentukan dengan harga komoditas yang diwajibkan ditanam tersebut oleh pemerintah. Harga pajak ini adalah cara untuk meningkatkan produktifitas tanah wilayah tanam paksa tersebut (Simarmata:2002). Tak jarang lebih dari separuh tanah pertanian desa akhirnya digunakan sebagai tanah kongsen penghitungan pajak ini.
Para petani ini mengerjakan wilayah desa yang ditentukan sebagai wilayah untuk tanam paksa (tanah lanyah/tanah kongsen) ini dengan kerja wajib bergilir dan bersama-sama. Selain itu, penduduk desa juga tetap diwajibkan mengerjakan tanah-tanah gaji para priayi bupati dan pejabat wedana atau kepala desa dengan imbalan makan, dan kewajiban kerja bhakti membangun gedung, jalan, rel kereta, irigasi dan menjaganya secara bergiliran tanpa digaji. Kesemuanya menjadi tanggung jawab lurah untuk mengkoordinirnya (Prisma:1991).
Untuk mendorong keberhasilan sistem ini di tiap wilayah desa, kepala desa juga mendapatkan komisi atau persentase dari hasil cultuurstelsel (tanam paksa) ini. Sistem ini tidak diberlakukan pada desa-desa perdikan (desa bebas pajak) karena kewajiban khusus dari kekuasaan feodal seperti mengurus makam dan memelihara pesantren (Tjondronegoro dan Wiradi (peny):1984).
Bagi Belanda sistem tanam paksa sangat menguntungkan. Bahkan, keuntungan dari tanam paksa telah mampu mentransformasi negara Belanda menjadi negara industri dan perdagangan yang kokoh dan kuat. Modal tersebut didapat dari keuntungan tanam paksa (batig slot) di Jawa (Simarmata:2002).
Tanam paksa telah membuat barang-barang hasil ekspor pertanian dan perkebunan Jawa menjadi kompetitif dengan barang-barang serupa dari Amerika Latin dan Hindia Barat yang didapatkan melalui sistem perbudakan modern (Rajagukguk:1995). Bahkan, sejak 1832-1867 total saldo keuntungan yang diambil dari Jawa sebebesar 823 juta gulden. (Simarmata:2002).
Beberapa perubahan sosial yang terjadi akibat sistem tanam paksa yang ditemukan oleh Onghokham (Tjondronegoro dan Wiradi (peny):1984) Edi Cahyono (1991) dan Rajagukguk (1995) adalah: Pertama, pengambil alihan tanah penduduk menjadi kepemilikan desa telah melahirkan petani rumah tangga dengan kepemilikan tanah pertanian yang kecil. Para petani kecil ini masih dibebani dengan kerja tambahan tersebut sehingga tidak dapat mengembangkan diri meski mempunyai tanah garapan yang dapat mereka wariskan kepada keturunan mereka. Kedua, kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban penanaman tersebut telah mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan petani untuk menurunkan beban kerja keluarga. Ketiga, sementara itu, secara politik sistem ini juga telah menghidupkan pemerintahan Desa menjadi struktur pemerintahan efektif mengontrol administrasi kewilayahan dan penduduk. Sistem ini juga menjadikan kepemimpinan di wilayah Jawa menjadi sangat otoriter. Keempat, Masyarakat petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk bertahan hidup dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak mereka. Lahan pekarangan secara teori memang tidak dihitung pajaknya. Kelima, Sistem tanam paksa telah menutup peranan ekonomi kalangan swasta untuk tumbuh dan berperan baik dari kalangan priayi, tionghoa, arab maupun golongan pengusaha Belanda sendiri. Keenam, Tanam paksa juga telah melahirkan pengistilahan baru dalam lapisan-lapisan di masyarakat petani. Istilah-istilah kuli kenceng (kewajiban penuh kerja bakti), kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawa penuh) telah menggantikan istilah numpang dan sikep. Sebab, semua pemilik tanah wajib menjalankan kerja bakti di tanah-tanah cultuurstelsel. Dengan demikian tanam paksa telah mentransformasi beberapa penduduk menjadi kuli/buruh (Prisma:1991).
Jakarta, 3 Desember 2007
Iwan Nurdin
December 1, 2007
Pola Penguasaan Tanah Era Tanam Paksa
Oleh: Iwan Nurdin
Pendahuluan
Seperti telah penulis ulas sebelumnya, sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles sejak 1811-1816 telah membawa beberapa persoalan terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.
Namun kalangan sarjana juga mengidentifikasi bahwa meletusnya perang ini juga diakibatkan oleh keresahan para priayi yang mendapatkan keuntungan dari sistem Raffles khususnya para priayi Surakarta yang telah mengikuti lelang penguasaan tanah sistem Raffles (Rajagukguk: 1994) namun sistem ini dinyatakan tidak berlaku oleh Belanda.
Perang ini telah membawa kerugian besar bagi Belanda yang pada saat itu belum pulih dari kerugian selama Perang Eropa. Namun, menurut Onghok Ham, Perang Diponegoro (1825-1830) juga telah memberi sumbangan penting bagi Pemerintah Belanda dalam memahami seluk beluk penguasaan tanah di Jawa pedalaman. Sebab, dukungan dan sekaligus perlawanan para priayi terhadap pihak kolonial telah membuka pemahaman mereka bahwa sandaran kekuasaan Belanda di Jawa hanya dapat bertahan jika para priyayi berkolaborasi dengan mereka. Kolaborasi ini juga akan membawa stabilitas Jawa untuk dapat lebih memberi keuntungan colonial.
Kekalahan yang dialami oleh pihak kerajaan dalam perang ini telah membuat keresahan yang dialami oleh para priayi-priayi semakin meningkat. Sebab, dalam situasi politik yang tidak stabil tersebut, intrik-intrik politik terkait kesetiaan para priayi kepada raja tentu merupakan isu yang sangat sensitif. Sehingga, setiap saat mengancam kedudukan sosial mereka.
Dalam posisi ini, Belanda sebagai pemenang perang yang telah memahami hubungan sosial ini, menawarkan sebuah solusi politik yang ditujukan untuk memperkuat kedudukan para priyayi. Tawaran tersebut adalah pemberian tanah milik, gaji uang bulanan, dan kedudukan yang dapat diwariskan. Bagi para priyayi, dalam situasi politik yang demikian, tawaran ini adalah kesempatan yang sangat menggiurkan. Sebab, unsur ketidakpastian tentang status sosial dan kepemilikan tanah yang selama ini melekat dalam sistem politik feodal kerajaan Jawa terhadap para priayi dihilangkan.
Pelaksanaan Politik Tanam Paksa.
Pelaksanaan politik tanam paksa dijalankan sejak tahun 1830-1870 yang dimulai sejak kekuasaan Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Era tanam paksa di Jawa sesungguhnya sebuah proses percepatan pemidahan kekuasaan agrarian dari kaum feodal lama (priayi) kepada pemerintahan feodal baru yakni pemerintah Hindia Belanda. Para priayi sendiri dipakai oleh Belanda sebagai tenaga administrative dan “politik” yang kedudukannya dapat diwariskan.
Juga dapat kita dilacak bahwa politik tanam paksa juga dalam beberapa segi meneruskan dan merubah sistem pajak Raffless saja dengan. Hanya saja pajak dihapuskan dengan pemaksaan kerja dan jenis tanaman. Tanaman tersebut adalah kopi, tebu dan nila.
Secara garis besar tanam paksa dijalankan di Jawa dengan cara:
1.Menghidupkan kembali peran-peran Bupati, Wedana dan Bekel (Lurah) di wilayah-wilayah dan memperkuatnya menjadi kekuasaan yang dapat diwariskan.
2.Bahkan, untuk bupati diberi tanah gaji dan juga gaji bulanan. Tanah gaji tersebut dapat diambil alih oleh pemerintah kolonial dengan memberinya kompensasi berupa dua kali gaji dengan kewajiban menyerahkan seluruh wilayah lungguh mereka. Sehingga, para cacah (sikep) yang berada di dalam wilayah tanah lungguh juga dikuasai oleh pemerintah kolonial. Penguasaan terhadap sikep berarti juga penguasaan terhadap numpang dan bujang dalam wilayah lungguh untuk dijadikan tenaga kerja.
3.Domein Theory semasa Raffless bahwa tanah adalah milik negara tetap diteruskan dan direpresentasikan kepada unsur terkecil pemerintahan berupa kepemilikan desa terus dilanjutkan bahkan diperluas cakupannya hingga ke Jawa Pedalaman. Perbedaanya, para kepala desa ini memperoleh tanah gaji dan kedudukan yang dapat diwariskan.
4.Pejabat bupati, wedana dan kepala desa dan yang tetap menginginkan tanah gaji akan diberi setengah dari gaji bulanan saja. Sementara, tanah-tanah gaji yang mereka minta tersebut yang ditentukan sendiri oleh mereka luasan arealnya dan letaknya setelah disetujui oleh pemerintah Belanda. Dan tentusaja mereka memilih tanah-tanah paling subur dan luas.
5.Semua penduduk memperoleh tanah garapan, tak terkecuali para numpang dan bujang. Tanah garapan mereka adalah tanah yang dapat pula diwariskan penggarapannya. Tanah tersebut semula berasal dari tanah para sikep yang diambil alih oleh pemerintah desa dan dibagikan kepada para numpang atau bujang atau mewajibkan penduduk bujang dan numpang membuka areal baru di desa setempat.
6.Karena semua penduduk telah mempunyai tanah, maka mereka mempunyai kewajiban membayar pajak dan kerja bhakti seperti di era kerajaan. Namun pajak tersebut diubah dengan kewajiban menanam tanaman ekspor yang luasnya paling sedikit 1/5 kemudian dinaikkan menjadi 1/3 dari total tanah pertanian desa yang kerap disebut sebagai tanah persekutuan/tanah kongsen atau tanah lanyah. Penghitungan jumlah pajak tanah suatu desa ditentukan dengan harga komoditas yang diwajibkan ditanam tersebut oleh pemerintah. Harga pajak ini adalah cara untuk meningkatkan produktifitas tanah wilayah tanam paksa tersebut. Tak jarang lebih dari separuh tanah pertanian desa akhirnya digunakan sebagai tanah kongsen penghitungan pajak ini.
7.Para petani ini mengerjakan wilayah desa yang ditentukan sebagai wilayah untuk tanam paksa (tanah lanyah/tanah kongsen) ini dengan kerjawajib bergilir dan bersama-sama. Selain itu, penduduk desa juga tetap diwajibkan mengerjakan tanah-tanah gaji para priayi bupati dan pejabat wedana atau kepala desa dengan imbalan makan, dan kewajiban kerja bhakti membangun gedung, jalan, rel kereta, irigasi dan menjaganya secara bergiliran tanpa digaji. Kesemuanya menjadi tanggung jawab lurah untuk mengkoordinirnya.
8.Untuk mendorong keberhasilan sistem ini di tiap wilayah desa, kepala desa juga mendapatkan komisi atau persentase dari hasil cultuurstelsel (tanam paksa) ini.
9.Sistem ini tidak diberlakukan pada desa-desa perdikan (desa bebas pajak) karena kewajiban khusus dari kekuasaan feodal seperti mengurus makam dan memelihara pesantren.
Keuntungan Sistem Tanam Paksa Bagi Belanda
Bagi Belanda sistem tanam paksa sangat menguntungkan. Bahkan, keuntungan dari tanam paksa telah mampu mentransformasi negara Belanda menjadi negara industri dan perdagangan yang kokoh dan kuat. Modal tersebut didapat dari keuntungan tanam paksa (batig slot) di Jawa.
Tanam paksa telah membuat barang-barang hasil ekspor pertanian dan perkebunan Jawa menjadi kompetitif dengan barang-barang serupa dari Amerika Latin dan Hindia Barat yang didapatkan melalui sistem perbudakan modern.
Untuk pemerintah colonial, sistem tanam paksa telah membawa keuntungan berupa: 11, 3 juta gulden pada tahun 1830. Kemudian keuntungan tersebut meningkat 66, 1 juta gulden pada 1831.
Menurut Burger, sejak 1832-1867 total saldo keuntungan (batig slot) yang diambil dari Jawa sejak 823 juta gulden. Dengan modal sedemikian, Belanda mempunyai cukup modal untuk membayar lunas semua hutang VOC dan merombak perekonomian nasional mereka untuk menyalurkan kredit dalam rangka menumbuhkan pengusaha swasta nasional mereka. Bahkan, pada tahun 1851-1860 Hindia Belanda menyumbang 30 persen dari total pendapatan negeri Belanda (Simarmata:2002).
Akibat Tanam Paksa Pada Masyarakat Jawa
Bagi masyarakat Jawa keuntungan besar yang dinikmati oleh Belanda adalah malapetaka besar. Bahkan, sistem tanam paksa tetap meninggalkan bekas-bekasnya sosial yang mendalam hingga saat ini.
Kemiskinan yang mendalam dan akut dialami oleh rakyat Jawa. Di Semarang, Cirebon dan Demak dilaporkan sepanjang 1849-1850 terjadi bencana kelaparan hebat yang telah mengakibatkan 200.000 korban meninggal atau terpaksa pindah ketempat lain.
Namun, beberapa akibat sosial tanam paksa tersebut adalah yang bisa kita periksa adalah:
1.Pengambil alihan tanah sikep menjadi milik desa dan membagikan tanah-tanah sikep kepada para numpang dan bujang tersebut telah melahirkan petani rumah tangga dengan kepemilikan tanah pertanian yang kecil. Para petani kecil ini masih dibebani dengan kerja tambahan tersebut sehingga tidak dapat mengembangkan diri meski mempunyai tanah garapan yang dapat mereka wariskan kepada keturunan mereka.
2.Kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban penanaman tersebut telah mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan petani untuk menurunkan beban kerja keluarga.
3.Sementara itu, secara politik sistem ini juga telah menghidupkan pemerintahan Desa menjadi struktur pemerintahan efektif mengontrol administrasi kewilayahan dan penduduk. Sistem ini juga menjadikan kepemimpinan di wilayah Jawa menjadi sangat otoriter.
4.Masyarakat petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk bertahan hidup dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak mereka. Lahan pekarangan secara teori memang tidak dihitung pajaknya.
5.Sistem tanam paksa telah menutup peranan ekonomi kalangan swasta untuk tumbuh dan berperan baik dari kalangan priayi, tionghoa, arab maupun golongan pengusaha Belanda sendiri.
6.Tanam paksa juga telah melahirkan pengistilahan baru dalam lapisan-lapisan di masyarakat petani. Istilah-istilah kuli kenceng (kewajiban penuh kerja bakti), kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawa penuh) telah menggantikan istilah sikep dan numpang. Sebab, semua pemilik tanah wajib menjalankan kerja bakti di tanah-tanah cultuurstelsel.
Penutup
Dari sistem wajib setor VOC hingga era tanam paksa, kita memperoleh gambaran beberapa jenis penguasaan tanah di Jawa hingga era tanam paksa: pertama, tanah negara yang dahulunya telah dilelang kepada perorangan untuk dikuasai particuliere landerijen (tanah partikelir) yang didalamnya berarti juga turut menguasai penduduknya. Didalamnya juga diwajibkan tanam paksa bagi petani dan pajak-pajak kepada pedagang oleh pemilik tanah. kedua, tanah yang dikuasai dan digarap oleh penduduk dengan luas kepemilikan yang kecil sekedar untuk menjadikan mereka wajib mengikuti kerja tanam paksa karena menggarap tanah. Tanah kongsen tanah dimana seluruh penduduk desa wajib bekerja mulai dari menanam dan memelihara tanaman tersebut secara Cuma-Cuma dan pemerintah desa mengontrol ketat setiap penduduk untuk menjalankan kerja tanam paksa secara bergiliran. ketiga, tanah gaji para elit desa, wedana hingga bupati yang juga dikerjakan oleh penduduk.
Jakarta, 29 November 2007
Iwan Nurdin
Pendahuluan
Seperti telah penulis ulas sebelumnya, sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles sejak 1811-1816 telah membawa beberapa persoalan terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.
Namun kalangan sarjana juga mengidentifikasi bahwa meletusnya perang ini juga diakibatkan oleh keresahan para priayi yang mendapatkan keuntungan dari sistem Raffles khususnya para priayi Surakarta yang telah mengikuti lelang penguasaan tanah sistem Raffles (Rajagukguk: 1994) namun sistem ini dinyatakan tidak berlaku oleh Belanda.
Perang ini telah membawa kerugian besar bagi Belanda yang pada saat itu belum pulih dari kerugian selama Perang Eropa. Namun, menurut Onghok Ham, Perang Diponegoro (1825-1830) juga telah memberi sumbangan penting bagi Pemerintah Belanda dalam memahami seluk beluk penguasaan tanah di Jawa pedalaman. Sebab, dukungan dan sekaligus perlawanan para priayi terhadap pihak kolonial telah membuka pemahaman mereka bahwa sandaran kekuasaan Belanda di Jawa hanya dapat bertahan jika para priyayi berkolaborasi dengan mereka. Kolaborasi ini juga akan membawa stabilitas Jawa untuk dapat lebih memberi keuntungan colonial.
Kekalahan yang dialami oleh pihak kerajaan dalam perang ini telah membuat keresahan yang dialami oleh para priayi-priayi semakin meningkat. Sebab, dalam situasi politik yang tidak stabil tersebut, intrik-intrik politik terkait kesetiaan para priayi kepada raja tentu merupakan isu yang sangat sensitif. Sehingga, setiap saat mengancam kedudukan sosial mereka.
Dalam posisi ini, Belanda sebagai pemenang perang yang telah memahami hubungan sosial ini, menawarkan sebuah solusi politik yang ditujukan untuk memperkuat kedudukan para priyayi. Tawaran tersebut adalah pemberian tanah milik, gaji uang bulanan, dan kedudukan yang dapat diwariskan. Bagi para priyayi, dalam situasi politik yang demikian, tawaran ini adalah kesempatan yang sangat menggiurkan. Sebab, unsur ketidakpastian tentang status sosial dan kepemilikan tanah yang selama ini melekat dalam sistem politik feodal kerajaan Jawa terhadap para priayi dihilangkan.
Pelaksanaan Politik Tanam Paksa.
Pelaksanaan politik tanam paksa dijalankan sejak tahun 1830-1870 yang dimulai sejak kekuasaan Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Era tanam paksa di Jawa sesungguhnya sebuah proses percepatan pemidahan kekuasaan agrarian dari kaum feodal lama (priayi) kepada pemerintahan feodal baru yakni pemerintah Hindia Belanda. Para priayi sendiri dipakai oleh Belanda sebagai tenaga administrative dan “politik” yang kedudukannya dapat diwariskan.
Juga dapat kita dilacak bahwa politik tanam paksa juga dalam beberapa segi meneruskan dan merubah sistem pajak Raffless saja dengan. Hanya saja pajak dihapuskan dengan pemaksaan kerja dan jenis tanaman. Tanaman tersebut adalah kopi, tebu dan nila.
Secara garis besar tanam paksa dijalankan di Jawa dengan cara:
1.Menghidupkan kembali peran-peran Bupati, Wedana dan Bekel (Lurah) di wilayah-wilayah dan memperkuatnya menjadi kekuasaan yang dapat diwariskan.
2.Bahkan, untuk bupati diberi tanah gaji dan juga gaji bulanan. Tanah gaji tersebut dapat diambil alih oleh pemerintah kolonial dengan memberinya kompensasi berupa dua kali gaji dengan kewajiban menyerahkan seluruh wilayah lungguh mereka. Sehingga, para cacah (sikep) yang berada di dalam wilayah tanah lungguh juga dikuasai oleh pemerintah kolonial. Penguasaan terhadap sikep berarti juga penguasaan terhadap numpang dan bujang dalam wilayah lungguh untuk dijadikan tenaga kerja.
3.Domein Theory semasa Raffless bahwa tanah adalah milik negara tetap diteruskan dan direpresentasikan kepada unsur terkecil pemerintahan berupa kepemilikan desa terus dilanjutkan bahkan diperluas cakupannya hingga ke Jawa Pedalaman. Perbedaanya, para kepala desa ini memperoleh tanah gaji dan kedudukan yang dapat diwariskan.
4.Pejabat bupati, wedana dan kepala desa dan yang tetap menginginkan tanah gaji akan diberi setengah dari gaji bulanan saja. Sementara, tanah-tanah gaji yang mereka minta tersebut yang ditentukan sendiri oleh mereka luasan arealnya dan letaknya setelah disetujui oleh pemerintah Belanda. Dan tentusaja mereka memilih tanah-tanah paling subur dan luas.
5.Semua penduduk memperoleh tanah garapan, tak terkecuali para numpang dan bujang. Tanah garapan mereka adalah tanah yang dapat pula diwariskan penggarapannya. Tanah tersebut semula berasal dari tanah para sikep yang diambil alih oleh pemerintah desa dan dibagikan kepada para numpang atau bujang atau mewajibkan penduduk bujang dan numpang membuka areal baru di desa setempat.
6.Karena semua penduduk telah mempunyai tanah, maka mereka mempunyai kewajiban membayar pajak dan kerja bhakti seperti di era kerajaan. Namun pajak tersebut diubah dengan kewajiban menanam tanaman ekspor yang luasnya paling sedikit 1/5 kemudian dinaikkan menjadi 1/3 dari total tanah pertanian desa yang kerap disebut sebagai tanah persekutuan/tanah kongsen atau tanah lanyah. Penghitungan jumlah pajak tanah suatu desa ditentukan dengan harga komoditas yang diwajibkan ditanam tersebut oleh pemerintah. Harga pajak ini adalah cara untuk meningkatkan produktifitas tanah wilayah tanam paksa tersebut. Tak jarang lebih dari separuh tanah pertanian desa akhirnya digunakan sebagai tanah kongsen penghitungan pajak ini.
7.Para petani ini mengerjakan wilayah desa yang ditentukan sebagai wilayah untuk tanam paksa (tanah lanyah/tanah kongsen) ini dengan kerjawajib bergilir dan bersama-sama. Selain itu, penduduk desa juga tetap diwajibkan mengerjakan tanah-tanah gaji para priayi bupati dan pejabat wedana atau kepala desa dengan imbalan makan, dan kewajiban kerja bhakti membangun gedung, jalan, rel kereta, irigasi dan menjaganya secara bergiliran tanpa digaji. Kesemuanya menjadi tanggung jawab lurah untuk mengkoordinirnya.
8.Untuk mendorong keberhasilan sistem ini di tiap wilayah desa, kepala desa juga mendapatkan komisi atau persentase dari hasil cultuurstelsel (tanam paksa) ini.
9.Sistem ini tidak diberlakukan pada desa-desa perdikan (desa bebas pajak) karena kewajiban khusus dari kekuasaan feodal seperti mengurus makam dan memelihara pesantren.
Keuntungan Sistem Tanam Paksa Bagi Belanda
Bagi Belanda sistem tanam paksa sangat menguntungkan. Bahkan, keuntungan dari tanam paksa telah mampu mentransformasi negara Belanda menjadi negara industri dan perdagangan yang kokoh dan kuat. Modal tersebut didapat dari keuntungan tanam paksa (batig slot) di Jawa.
Tanam paksa telah membuat barang-barang hasil ekspor pertanian dan perkebunan Jawa menjadi kompetitif dengan barang-barang serupa dari Amerika Latin dan Hindia Barat yang didapatkan melalui sistem perbudakan modern.
Untuk pemerintah colonial, sistem tanam paksa telah membawa keuntungan berupa: 11, 3 juta gulden pada tahun 1830. Kemudian keuntungan tersebut meningkat 66, 1 juta gulden pada 1831.
Menurut Burger, sejak 1832-1867 total saldo keuntungan (batig slot) yang diambil dari Jawa sejak 823 juta gulden. Dengan modal sedemikian, Belanda mempunyai cukup modal untuk membayar lunas semua hutang VOC dan merombak perekonomian nasional mereka untuk menyalurkan kredit dalam rangka menumbuhkan pengusaha swasta nasional mereka. Bahkan, pada tahun 1851-1860 Hindia Belanda menyumbang 30 persen dari total pendapatan negeri Belanda (Simarmata:2002).
Akibat Tanam Paksa Pada Masyarakat Jawa
Bagi masyarakat Jawa keuntungan besar yang dinikmati oleh Belanda adalah malapetaka besar. Bahkan, sistem tanam paksa tetap meninggalkan bekas-bekasnya sosial yang mendalam hingga saat ini.
Kemiskinan yang mendalam dan akut dialami oleh rakyat Jawa. Di Semarang, Cirebon dan Demak dilaporkan sepanjang 1849-1850 terjadi bencana kelaparan hebat yang telah mengakibatkan 200.000 korban meninggal atau terpaksa pindah ketempat lain.
Namun, beberapa akibat sosial tanam paksa tersebut adalah yang bisa kita periksa adalah:
1.Pengambil alihan tanah sikep menjadi milik desa dan membagikan tanah-tanah sikep kepada para numpang dan bujang tersebut telah melahirkan petani rumah tangga dengan kepemilikan tanah pertanian yang kecil. Para petani kecil ini masih dibebani dengan kerja tambahan tersebut sehingga tidak dapat mengembangkan diri meski mempunyai tanah garapan yang dapat mereka wariskan kepada keturunan mereka.
2.Kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban penanaman tersebut telah mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan petani untuk menurunkan beban kerja keluarga.
3.Sementara itu, secara politik sistem ini juga telah menghidupkan pemerintahan Desa menjadi struktur pemerintahan efektif mengontrol administrasi kewilayahan dan penduduk. Sistem ini juga menjadikan kepemimpinan di wilayah Jawa menjadi sangat otoriter.
4.Masyarakat petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk bertahan hidup dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak mereka. Lahan pekarangan secara teori memang tidak dihitung pajaknya.
5.Sistem tanam paksa telah menutup peranan ekonomi kalangan swasta untuk tumbuh dan berperan baik dari kalangan priayi, tionghoa, arab maupun golongan pengusaha Belanda sendiri.
6.Tanam paksa juga telah melahirkan pengistilahan baru dalam lapisan-lapisan di masyarakat petani. Istilah-istilah kuli kenceng (kewajiban penuh kerja bakti), kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawa penuh) telah menggantikan istilah sikep dan numpang. Sebab, semua pemilik tanah wajib menjalankan kerja bakti di tanah-tanah cultuurstelsel.
Penutup
Dari sistem wajib setor VOC hingga era tanam paksa, kita memperoleh gambaran beberapa jenis penguasaan tanah di Jawa hingga era tanam paksa: pertama, tanah negara yang dahulunya telah dilelang kepada perorangan untuk dikuasai particuliere landerijen (tanah partikelir) yang didalamnya berarti juga turut menguasai penduduknya. Didalamnya juga diwajibkan tanam paksa bagi petani dan pajak-pajak kepada pedagang oleh pemilik tanah. kedua, tanah yang dikuasai dan digarap oleh penduduk dengan luas kepemilikan yang kecil sekedar untuk menjadikan mereka wajib mengikuti kerja tanam paksa karena menggarap tanah. Tanah kongsen tanah dimana seluruh penduduk desa wajib bekerja mulai dari menanam dan memelihara tanaman tersebut secara Cuma-Cuma dan pemerintah desa mengontrol ketat setiap penduduk untuk menjalankan kerja tanam paksa secara bergiliran. ketiga, tanah gaji para elit desa, wedana hingga bupati yang juga dikerjakan oleh penduduk.
Jakarta, 29 November 2007
Iwan Nurdin
November 26, 2007
Pola Umum Penguasaan Tanah Era Kolonial DI Jawa (1)
Oleh: Iwan Nurdin
Pendahuluan
Dalam tulisan ini, sebagai kelanjutan dari tulisan sebelumnya tentang pola-pola umum penguasaa tanah pra-kolonial. Saya bermaksud memaparkan kembali apa yang telah banyak ditulis oleh para sarjana tentang penguasaan tanah pada di Jawa pada masa kolonial.
Karena rentang waktu kolonialisme di Jawa yang panjang, mencakup era merkantilis Eropa hingga era industri modern. Tentu, corak kolonialisme di Jawa juga bertransformasi untuk menyesuaikan diri dengan negara induknya. Perubahan tersebut telah mengubah juga dasar-dasar dalam penguasaan tanah di Jawa pada masa pra-kolonial yang dalam beberapa segi umum tetap membekas hingga sekarang.
Wajib Setor VOC
VOC sebagai kongsi dagang milik pemerintah, agaknya belum terlalu berminat dalam penguasaan-penguasaan langsung tanah. Sebab, kekuatan militer dan keuangannya belum cukup mampu untuk menguasai wilayah-wilayah pedalaman pelabuhan.
Sehingga, dengan dasar pertimbangan yang demikian, VOC lebih memilih memonopoli perdagangan dan menguasai wilayah-wilayah secara tidak langsung dengan mempertahankan struktur birokrasi pra-kolonial. Baginya, cukuplah otoritas setempat bekerjasama dengan kepentingan VOC yaitu: memastikan kuota (contingenten) hasil-hasil agraris di tiap-tiap wilayah dapat disetor (wajib setor) kepada VOC.
Tujuan VOC menerapkan cara ini adalah: mendesak para bupati mengakui kedaulatannnya dan menjauhkan para bupati dari hubungan politik dan dagang dengan kekuatan asing, serta menjaga pasokan barang-barang kebutuhan perdagangan.
Bagi kalangan wong cilik, wajib setor ala VOC relatif sama dengan upeti untuk priayi dan raja. Terlebih para pengumpulnya tetaplah sama: kalangan penguasa/priayi lokal. Sampai VOC bangkrut, usaha-usaha semacam ini tetap dipertahankan oleh pemerintah Belanda yang mengambil alih kekuasaan di Jawa.
Dapat disimpulkan bahwa struktur penguasaan agraria pada masa VOC tidak mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan masa pra-kolonial.
Namun, ada beberapa kekecualian pola ini khususnya di beberapa wilayah taklukan seperti Batavia dan sekitarnya. Beberapa tanah dijual kepada orang-orang Eropa dan China. Tanah tersebut dijual berikut orang-orang yang bermukim di wilayah tersebut. Sehingga, para pemilik tanah dapat diperbolehkan mengutip pajak, mewajibkan kerja secara mandiri kepada para penduduk.
Pajak Tanah Raffles
Terdapat beberapa situasi politik yang mendasari sistem pajak Raffles, beberapa tahun sebelumnya, negeri Belanda dikuasai oleh Napoleon (1795) sehingga kekuasaan di Jawa diambil alih oleh Daendels sebagai Gubernur Jenderal. Sang gubernur ini meluaskan pola-pola penjualan tanah kepada pihak swasta khususnya di daerah Batavia, Semarang dan Surabaya. Penjualan tanah ini adalah penjualan tanah berikut penduduk yang hidup di dalamnya (Tanah Partikelir).
Pemerintah Belanda yang berada di pengasingan (London) kemudian membuat perjanjian dengan Inggris untuk menyerahkan kekuasaan di Hindia Belanda diserahkan sementara kepada Inggris. Jika perang berakhir dan Napoleon dapat dikalahkan maka kekuasaan Hindia Belanda akan dikembalikan Inggris kepada pemerintah Belanda.
Dan pada tahun 1811, ketika kekuasaan Hindia Belanda secara resmi berada ditangan Inggris. Dan Thomas Stanford Raffles menjadi Gubernur Jenderal.
Gubernur ini mengenalkan sistem sewa tanah. Sistem ini dijalankan dengan pengertian bahwa semua tanah sebelumnya adalah milik raja (domein theory). Dan, karena raja telah mengakui kedaulatan Inggris di wilayah Jawa maka pemilik tanah adalah pemerintah penjajah. Sehingga, penduduk harus membayar sewa kepada pemerintah penjajah.
Tetapi bagaimana cara mengutip sewa? Di beberapa daerah Jawa Barat khususnya Bandung, Karawang dan dimana tidak ada kekuasaan raja yang efektif , Raffles melelang tanah-tanah khususnya di daerah taklukan kepada para pengusaha dengan mendasarkan pada jumlah penduduk, hasil panen kopi dan padi setiap tahunnya.
Sementara, di daerah-daerah lainnya khususnya di daerah yang dikuasai dengan perjanjian (Mataram) sistem ini dijalankan dengan cara mengurangi peranan penguasa lokal (bupati). Bahkan, jumlah penguasa lokal setingkat bupati dikurangi dengan melakukan penggabungan-penggabungan wilayah.
Pemerintah menghapuskan “kepemilikan” tanah sikep (lihat “penguasaan tanah pra kolonial) dan membebaskan para numpang dan bujang untuk menggarap tanah. Kemudian tanah-tanah garapan ini dibawah otoritas langsung pemerintah desa. Bahwa semua tanah adalah milik oleh negara kemudian direpresentasikan dalam kepemilikan desa. Desa kemudian yang mengutip biaya sewa yang besarannya ditentukan oleh pemerintah.
Jadi: pemerintahan di masa Raffles menentukan secara langsung tarif sewa tanah kepada para penggarap sekaligus memerintahkan kepala desa mengumpulkan uang sewa. Pada mulanya, tarif sewa tersebut 2/5 hasil padi. Namun pada perkembangannya sewa tersebut meningkat pada tanah-tanah subur sewa tanah mencapai ½ dan pada tanah kualitas menengah 1/3 dari hasil panen setahun. Hanya tanah-tanah kurang subur harga sewa 2/5 masih dipertahankan.
Bagi pemerintah kolonial sendiri, cara yang digunakan Raffles ternyata dianggap kurang berhasil menghasilkan uang. Beberapa hal tersebut disebabkan oleh lemahnya administrasi, jumlah pegawai pemerintah yang mengontrol sangat sedikit, secara operasional sistem ini juga mahal dijalankan sementara rakyat dibebaskan menggarap tanah dengan tanaman apa saja. Pajak tanah ini berhenti se
Beberapa kesimpulan:
1. Pola penguasaan tanah dimasa Raffles mencoba menghilangkan peranan golongan feodal lama dan menggantinya dengan kekuasaan pemerintah jajahan yang berciri tetap berciri feodal.
2. Raffles mencoba menghilangkan peran bupati dan priayi dalam mengambil upeti tanah, menghilangkan para sikep, dan membebaskan para numpang, bujang untuk menggarap tanah.
3. Tanah adalah milik pemerintah. Maka, di desa semua tanah tersebut adalah milik desa. Sehingga pemerintah desa membayar pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah besarannya. Untuk itu, pemerintah desa diwajibkan mengutip pajak itu dari penduduk.
4. Dalam wilayah dimana kekuasaan lokal tidak efektif Raffles langsung mengundang pemodal untuk mengikuti lelang sehingga sang pemenang dapat langsung menguasai tanah, penduduk, dan hasil panen.
Jakarta, 26 November 2007
Iwan Nurdin
Pendahuluan
Dalam tulisan ini, sebagai kelanjutan dari tulisan sebelumnya tentang pola-pola umum penguasaa tanah pra-kolonial. Saya bermaksud memaparkan kembali apa yang telah banyak ditulis oleh para sarjana tentang penguasaan tanah pada di Jawa pada masa kolonial.
Karena rentang waktu kolonialisme di Jawa yang panjang, mencakup era merkantilis Eropa hingga era industri modern. Tentu, corak kolonialisme di Jawa juga bertransformasi untuk menyesuaikan diri dengan negara induknya. Perubahan tersebut telah mengubah juga dasar-dasar dalam penguasaan tanah di Jawa pada masa pra-kolonial yang dalam beberapa segi umum tetap membekas hingga sekarang.
Wajib Setor VOC
VOC sebagai kongsi dagang milik pemerintah, agaknya belum terlalu berminat dalam penguasaan-penguasaan langsung tanah. Sebab, kekuatan militer dan keuangannya belum cukup mampu untuk menguasai wilayah-wilayah pedalaman pelabuhan.
Sehingga, dengan dasar pertimbangan yang demikian, VOC lebih memilih memonopoli perdagangan dan menguasai wilayah-wilayah secara tidak langsung dengan mempertahankan struktur birokrasi pra-kolonial. Baginya, cukuplah otoritas setempat bekerjasama dengan kepentingan VOC yaitu: memastikan kuota (contingenten) hasil-hasil agraris di tiap-tiap wilayah dapat disetor (wajib setor) kepada VOC.
Tujuan VOC menerapkan cara ini adalah: mendesak para bupati mengakui kedaulatannnya dan menjauhkan para bupati dari hubungan politik dan dagang dengan kekuatan asing, serta menjaga pasokan barang-barang kebutuhan perdagangan.
Bagi kalangan wong cilik, wajib setor ala VOC relatif sama dengan upeti untuk priayi dan raja. Terlebih para pengumpulnya tetaplah sama: kalangan penguasa/priayi lokal. Sampai VOC bangkrut, usaha-usaha semacam ini tetap dipertahankan oleh pemerintah Belanda yang mengambil alih kekuasaan di Jawa.
Dapat disimpulkan bahwa struktur penguasaan agraria pada masa VOC tidak mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan masa pra-kolonial.
Namun, ada beberapa kekecualian pola ini khususnya di beberapa wilayah taklukan seperti Batavia dan sekitarnya. Beberapa tanah dijual kepada orang-orang Eropa dan China. Tanah tersebut dijual berikut orang-orang yang bermukim di wilayah tersebut. Sehingga, para pemilik tanah dapat diperbolehkan mengutip pajak, mewajibkan kerja secara mandiri kepada para penduduk.
Pajak Tanah Raffles
Terdapat beberapa situasi politik yang mendasari sistem pajak Raffles, beberapa tahun sebelumnya, negeri Belanda dikuasai oleh Napoleon (1795) sehingga kekuasaan di Jawa diambil alih oleh Daendels sebagai Gubernur Jenderal. Sang gubernur ini meluaskan pola-pola penjualan tanah kepada pihak swasta khususnya di daerah Batavia, Semarang dan Surabaya. Penjualan tanah ini adalah penjualan tanah berikut penduduk yang hidup di dalamnya (Tanah Partikelir).
Pemerintah Belanda yang berada di pengasingan (London) kemudian membuat perjanjian dengan Inggris untuk menyerahkan kekuasaan di Hindia Belanda diserahkan sementara kepada Inggris. Jika perang berakhir dan Napoleon dapat dikalahkan maka kekuasaan Hindia Belanda akan dikembalikan Inggris kepada pemerintah Belanda.
Dan pada tahun 1811, ketika kekuasaan Hindia Belanda secara resmi berada ditangan Inggris. Dan Thomas Stanford Raffles menjadi Gubernur Jenderal.
Gubernur ini mengenalkan sistem sewa tanah. Sistem ini dijalankan dengan pengertian bahwa semua tanah sebelumnya adalah milik raja (domein theory). Dan, karena raja telah mengakui kedaulatan Inggris di wilayah Jawa maka pemilik tanah adalah pemerintah penjajah. Sehingga, penduduk harus membayar sewa kepada pemerintah penjajah.
Tetapi bagaimana cara mengutip sewa? Di beberapa daerah Jawa Barat khususnya Bandung, Karawang dan dimana tidak ada kekuasaan raja yang efektif , Raffles melelang tanah-tanah khususnya di daerah taklukan kepada para pengusaha dengan mendasarkan pada jumlah penduduk, hasil panen kopi dan padi setiap tahunnya.
Sementara, di daerah-daerah lainnya khususnya di daerah yang dikuasai dengan perjanjian (Mataram) sistem ini dijalankan dengan cara mengurangi peranan penguasa lokal (bupati). Bahkan, jumlah penguasa lokal setingkat bupati dikurangi dengan melakukan penggabungan-penggabungan wilayah.
Pemerintah menghapuskan “kepemilikan” tanah sikep (lihat “penguasaan tanah pra kolonial) dan membebaskan para numpang dan bujang untuk menggarap tanah. Kemudian tanah-tanah garapan ini dibawah otoritas langsung pemerintah desa. Bahwa semua tanah adalah milik oleh negara kemudian direpresentasikan dalam kepemilikan desa. Desa kemudian yang mengutip biaya sewa yang besarannya ditentukan oleh pemerintah.
Jadi: pemerintahan di masa Raffles menentukan secara langsung tarif sewa tanah kepada para penggarap sekaligus memerintahkan kepala desa mengumpulkan uang sewa. Pada mulanya, tarif sewa tersebut 2/5 hasil padi. Namun pada perkembangannya sewa tersebut meningkat pada tanah-tanah subur sewa tanah mencapai ½ dan pada tanah kualitas menengah 1/3 dari hasil panen setahun. Hanya tanah-tanah kurang subur harga sewa 2/5 masih dipertahankan.
Bagi pemerintah kolonial sendiri, cara yang digunakan Raffles ternyata dianggap kurang berhasil menghasilkan uang. Beberapa hal tersebut disebabkan oleh lemahnya administrasi, jumlah pegawai pemerintah yang mengontrol sangat sedikit, secara operasional sistem ini juga mahal dijalankan sementara rakyat dibebaskan menggarap tanah dengan tanaman apa saja. Pajak tanah ini berhenti se
Beberapa kesimpulan:
1. Pola penguasaan tanah dimasa Raffles mencoba menghilangkan peranan golongan feodal lama dan menggantinya dengan kekuasaan pemerintah jajahan yang berciri tetap berciri feodal.
2. Raffles mencoba menghilangkan peran bupati dan priayi dalam mengambil upeti tanah, menghilangkan para sikep, dan membebaskan para numpang, bujang untuk menggarap tanah.
3. Tanah adalah milik pemerintah. Maka, di desa semua tanah tersebut adalah milik desa. Sehingga pemerintah desa membayar pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah besarannya. Untuk itu, pemerintah desa diwajibkan mengutip pajak itu dari penduduk.
4. Dalam wilayah dimana kekuasaan lokal tidak efektif Raffles langsung mengundang pemodal untuk mengikuti lelang sehingga sang pemenang dapat langsung menguasai tanah, penduduk, dan hasil panen.
Jakarta, 26 November 2007
Iwan Nurdin
November 22, 2007
Pokok-Pokok Penguasaan Tanah Pada Masa Pra-Kolonial
Tulisan ini dirangkum dari berbagai tulisan Ong Hok Ham
Oleh: Iwan Nurdin
Lapisan Sosial
Dalam konsepsi kerajaan di Jawa, penduduk dibedakan dalam struktur: Raja, Abdi Dalem (di dalamnya terdapat priyayi/adik raja) dan kalangan diluar itu yang disebut wong cilik.
Bagi raja pribadi, yang sebenarnya menjadi warganya (kawula) adalah golongan abdi dalem ini. Mereka dibedakan dari kalangan wongcilik atau massa rakyat biasa karena keistimewaan mereka yakni dapat menikmati hasil tanah tanpa harus mengerjakan sendiri.
Para priyayi dan elit kerajaan ini dibagi ke dalam wilayah-wilayah penguasaan. Wilayah penguasaan mereka dibagi tidak didasarkan luas kewilayahan, namun dihitung berdasarkan jumlah cacah. Misalnya seorang pejabat kerajaan atau pangeran menerima tanah seluas 800 cacah (keluarga petani).
Kekayaan, prestise dan kemakmuran elit kerajaan diukur menurut jumlah cacahnya, tidak menurut luas tanahnya. Jadi pada masa itu, penguasaan wilayah kalah penting dibandingkan dengan penguasaan penduduk (tenaga kerja).
Dari para cacahnya inilah, para elit kerajaan ini mendapatkan lungguh (apanage) yang merupakan tanah gaji. Tanah lungguh ini akan kembali kepada raja jika para priayi dan abdi dalem ini ini dipecat atau meninggal dunia. Tergantung kepada raja apakah ahli warisnya kelak dapat melanjutkan lungguh ini atau tidak. Hal yang demikian ini dilakukan untuk mencegah timbulnya kaum ningrat yang kokoh.
Pembedaan di Kalangan Wong Cilik
Para cacah ini, adalah kaum tani yang sangat tergantung kepada tanah dalam proses produksinya. Kaum tani ini terbagi-bagi dalam golongan atau kelas yang didasarkan pada tatacara mereka menguasai tanah.
Sementara, tanah-tanah juga dibagi kedalam dua bagian utama: yakni tanah pusaka (heirloom land) dan tanah yasa atau tanah hasil pembukaan dan pengusahaan sendiri (self developed land).
Petani yang menguasai tanah disebut Sikep (mereka inilah yang memeluk dan menanggung beban tanah kepada para priayi). Para petani sikep ini mempunyai numpang (tanggungan) dan bujang (belum menikah) yang merupakan lapisan terendah.
Sikep memperoleh tanah dari para raja atau melalui priayi. Para sikep ini yang mempunyai kewajiban pajak dan kerja bakti kepada para priayi (cacah). Jika Negara membutuhkan pajak baru dan kewajiban-kewajiban yang lebih luas, maka akan dibentuk Sikep baru. Tanah-yang diperoleh sikep ini disebut tanah pusaka karena mereka dapat mewariskan kepada ahli warisnya. Sementara, para sikep juga dapat meluaskan tanah mereka dengan menggunakan numpang mereka untuk meluaskan tanah (tanah yasa).
Para numpang juga mempunyai hak menguasahakan tanah-tanah persekutuan (tanah lanyah) secara beegantian dan tidak boleh memilikinya. Fungsi utama pembagian secara bergilir ini adalah untuk menjaga para numpang tetap menetap di wilayah tersebut.
Hubungan Kerajaan dan Sikep
Telah diuraikan bahwa hanya sikeplah yang mempuyai kewajiban membayar pajak kepada priayi dan kerajaan. Jika Negara membutuhkan berbagai pajak yang luas dan banyak maka akan dibentuk sikep baru. Proses membentuk sikep baru dengan cara memecah tanah sikep lama disebut pancasan.
Jika hubungan raja dan priayi adalah hubungan kawula-gusti (patron client). Maka proses ini akan berulang antara hubungan priyayi dan sikep di lapisan dua, dan sikep kepada numpang dilapisan terendah.
Namun hubungan patron client pada lapisan dua dibuat “rapuh” karena Raja selalu akan mengatur supaya di dalam wilayah lungguhnya, para sikep hidup terpisah-pisah tempat tinggalnya.
Sementara para sikep selalu merasa terancam dengan adanya pancasan oleh kehendak priayi dan raja jika hendak membentuk sikep baru. Dengan demikian, hubungan sikep dengan para numpang dan bujang juga bak api dalam sekam. Sebab, sewaktu-waktu jika politik berubah para numpang juga dapat menjadi sikep.
Kesimpulan
Dengan melihat pola-pola umum ini, maka dapat disimpulkan bahwa konsep kepemilikan tanah pada masa pra-kolonial dapat diartikan mutlak dimiliki oleh Raja semata. Bahkan, para elit sendiripun secara samar-samar saja mempunyai hak atas tanah.
Jakarta, 21 November 2007
Iwan Nurdin.
Oleh: Iwan Nurdin
Lapisan Sosial
Dalam konsepsi kerajaan di Jawa, penduduk dibedakan dalam struktur: Raja, Abdi Dalem (di dalamnya terdapat priyayi/adik raja) dan kalangan diluar itu yang disebut wong cilik.
Bagi raja pribadi, yang sebenarnya menjadi warganya (kawula) adalah golongan abdi dalem ini. Mereka dibedakan dari kalangan wongcilik atau massa rakyat biasa karena keistimewaan mereka yakni dapat menikmati hasil tanah tanpa harus mengerjakan sendiri.
Para priyayi dan elit kerajaan ini dibagi ke dalam wilayah-wilayah penguasaan. Wilayah penguasaan mereka dibagi tidak didasarkan luas kewilayahan, namun dihitung berdasarkan jumlah cacah. Misalnya seorang pejabat kerajaan atau pangeran menerima tanah seluas 800 cacah (keluarga petani).
Kekayaan, prestise dan kemakmuran elit kerajaan diukur menurut jumlah cacahnya, tidak menurut luas tanahnya. Jadi pada masa itu, penguasaan wilayah kalah penting dibandingkan dengan penguasaan penduduk (tenaga kerja).
Dari para cacahnya inilah, para elit kerajaan ini mendapatkan lungguh (apanage) yang merupakan tanah gaji. Tanah lungguh ini akan kembali kepada raja jika para priayi dan abdi dalem ini ini dipecat atau meninggal dunia. Tergantung kepada raja apakah ahli warisnya kelak dapat melanjutkan lungguh ini atau tidak. Hal yang demikian ini dilakukan untuk mencegah timbulnya kaum ningrat yang kokoh.
Pembedaan di Kalangan Wong Cilik
Para cacah ini, adalah kaum tani yang sangat tergantung kepada tanah dalam proses produksinya. Kaum tani ini terbagi-bagi dalam golongan atau kelas yang didasarkan pada tatacara mereka menguasai tanah.
Sementara, tanah-tanah juga dibagi kedalam dua bagian utama: yakni tanah pusaka (heirloom land) dan tanah yasa atau tanah hasil pembukaan dan pengusahaan sendiri (self developed land).
Petani yang menguasai tanah disebut Sikep (mereka inilah yang memeluk dan menanggung beban tanah kepada para priayi). Para petani sikep ini mempunyai numpang (tanggungan) dan bujang (belum menikah) yang merupakan lapisan terendah.
Sikep memperoleh tanah dari para raja atau melalui priayi. Para sikep ini yang mempunyai kewajiban pajak dan kerja bakti kepada para priayi (cacah). Jika Negara membutuhkan pajak baru dan kewajiban-kewajiban yang lebih luas, maka akan dibentuk Sikep baru. Tanah-yang diperoleh sikep ini disebut tanah pusaka karena mereka dapat mewariskan kepada ahli warisnya. Sementara, para sikep juga dapat meluaskan tanah mereka dengan menggunakan numpang mereka untuk meluaskan tanah (tanah yasa).
Para numpang juga mempunyai hak menguasahakan tanah-tanah persekutuan (tanah lanyah) secara beegantian dan tidak boleh memilikinya. Fungsi utama pembagian secara bergilir ini adalah untuk menjaga para numpang tetap menetap di wilayah tersebut.
Hubungan Kerajaan dan Sikep
Telah diuraikan bahwa hanya sikeplah yang mempuyai kewajiban membayar pajak kepada priayi dan kerajaan. Jika Negara membutuhkan berbagai pajak yang luas dan banyak maka akan dibentuk sikep baru. Proses membentuk sikep baru dengan cara memecah tanah sikep lama disebut pancasan.
Jika hubungan raja dan priayi adalah hubungan kawula-gusti (patron client). Maka proses ini akan berulang antara hubungan priyayi dan sikep di lapisan dua, dan sikep kepada numpang dilapisan terendah.
Namun hubungan patron client pada lapisan dua dibuat “rapuh” karena Raja selalu akan mengatur supaya di dalam wilayah lungguhnya, para sikep hidup terpisah-pisah tempat tinggalnya.
Sementara para sikep selalu merasa terancam dengan adanya pancasan oleh kehendak priayi dan raja jika hendak membentuk sikep baru. Dengan demikian, hubungan sikep dengan para numpang dan bujang juga bak api dalam sekam. Sebab, sewaktu-waktu jika politik berubah para numpang juga dapat menjadi sikep.
Kesimpulan
Dengan melihat pola-pola umum ini, maka dapat disimpulkan bahwa konsep kepemilikan tanah pada masa pra-kolonial dapat diartikan mutlak dimiliki oleh Raja semata. Bahkan, para elit sendiripun secara samar-samar saja mempunyai hak atas tanah.
Jakarta, 21 November 2007
Iwan Nurdin.
November 20, 2007
Wajah Pembangunan Infrastruktur Kita
Oleh: Iwan Nurdin
Infrastruktur yang buruk, selama ini sebenarnya telah menyumbang berbagai bentuk pelanggaran ham yang tidak sedikit. Sebab, keadaan ini telah menghambat masyarakat untuk mendapatkan akses yang berkualitas dan murah di dalam pemenuhan hak-hak dasar seperti pekerjaan, pendidikan dan kesehatan.
Dari sisi ini, pembangunan infrastruktur bisa kita lihat sebagai upaya pemerintah memenuhi ham sebagaimana yang diamanatkan Negara. Namun, jika tidak hati-hati, pembangunan infrastruktur juga mengundang persoalan dari sisi perlindungan dan pemenuhan ham.
Sebagai contoh, pembangunan waduk Jatigede di Sumedang, Jawa Barat, bisa kita kita anggap sebagai rencana besar pemerintah dalam pemenuhan hak-hak dasar rakyat khususnya dibidang pengairan pertanian, pemenuhan pangan dan energi. Secara kasat mata, pembangunan seperti ini dalam dimensi ham bisa dianggap positif.
Namun, berbagai kajian positif bendungan selama ini seolah telah menutupi berbagai kerugian langsung dan potensi kerugian yang akan alami oleh rakyat yang diakibatkan oleh pembangunan waduk skala besar. Ironisnya hal ini tidak diinformasikan kepada masyarakat luas.
Jika melihat laporan Komisi Bendungan Dunia (World Comission on Dams:2002) yang dibentuk oleh Bank Dunia untuk meneliti dampak pembangunan bendungan skala besar kita memperoleh beberapa kesimpulan penting yaitu: lebih dari 70 persen bendungan skala besar tidak mencapai target persediaan air. Lebih dari 50 persen bendungan ternyata tidak menghasilkan energi listrik yang sesuai dengan perkiraan awalnya. Sehingga, hanya 50 persen bendungan skala besar yang dapat mencapai pengembalian ekonomisnya dari sisi investasi.
Selanjutnya, laporan ini juga mengungkapkan bahwa dua dampak utama dari sisi lingkungan yang ditimbulkan oleh keberadaan bendungan skala besar. Pertama, proses penenggelaman wilayah oleh bendungan ternyata telah menyumbang sekitar 7 persen karbon di dunia. Hal ini disebabkan oleh proses penguraian tanah dan tumbuhan yang memakan waktu sangat lama. Kedua, sekitar 5 persen total air juga menguap setiap tahun di bendungan penampung.
Perhitungan ini belum menjelaskan secara detail dampak kerugian ekonomis dan sosiologis yang akan dialami oleh masyarakat yang hidup pada daerah hulu dan hilir aliran sungai yang dibendung. Apalagi bendungan akan merubah secara permanen aliran air pada daerah hilir berupa pengeringan maupun pengurangan debit air sungai. Sehingga, kelompok-kelompok masyarakat yang memanfaatkan air disepanjang daerah aliran sungai akan kehilangan sumber-sumber kesejahteraannya.
Dari laporan ini kita bisa menarik kesimpulan secara lebih jernih. Bahwa keinginan dalam pembangunan bendungan skala besar sesungguhnya berada di tangan lembaga donor, kontraktor pembangunan yang bisa saja tidak seimbang dengan keuntungan ekonomi rakyat secara luas.
Jika pembangunan berwatak populis semacam bendungan saja mempunyai dampak buruk yang tidak sedikit. Tentu patut pula kita melihat potensi pelanggaran ham pada pembangunan mega proyek infrastruktur lainnya seperti pembangunan tol trans-jawa, bandara internasional dll. Karena selain selain akan menggusur puluhan ribu masyarakat tentu juga akan mengancam tanah pertanian subur dan beririgasi yang selama ini menopang ketahanan pangan rakyat.
Infrastruktur yang buruk, selama ini sebenarnya telah menyumbang berbagai bentuk pelanggaran ham yang tidak sedikit. Sebab, keadaan ini telah menghambat masyarakat untuk mendapatkan akses yang berkualitas dan murah di dalam pemenuhan hak-hak dasar seperti pekerjaan, pendidikan dan kesehatan.
Dari sisi ini, pembangunan infrastruktur bisa kita lihat sebagai upaya pemerintah memenuhi ham sebagaimana yang diamanatkan Negara. Namun, jika tidak hati-hati, pembangunan infrastruktur juga mengundang persoalan dari sisi perlindungan dan pemenuhan ham.
Sebagai contoh, pembangunan waduk Jatigede di Sumedang, Jawa Barat, bisa kita kita anggap sebagai rencana besar pemerintah dalam pemenuhan hak-hak dasar rakyat khususnya dibidang pengairan pertanian, pemenuhan pangan dan energi. Secara kasat mata, pembangunan seperti ini dalam dimensi ham bisa dianggap positif.
Namun, berbagai kajian positif bendungan selama ini seolah telah menutupi berbagai kerugian langsung dan potensi kerugian yang akan alami oleh rakyat yang diakibatkan oleh pembangunan waduk skala besar. Ironisnya hal ini tidak diinformasikan kepada masyarakat luas.
Jika melihat laporan Komisi Bendungan Dunia (World Comission on Dams:2002) yang dibentuk oleh Bank Dunia untuk meneliti dampak pembangunan bendungan skala besar kita memperoleh beberapa kesimpulan penting yaitu: lebih dari 70 persen bendungan skala besar tidak mencapai target persediaan air. Lebih dari 50 persen bendungan ternyata tidak menghasilkan energi listrik yang sesuai dengan perkiraan awalnya. Sehingga, hanya 50 persen bendungan skala besar yang dapat mencapai pengembalian ekonomisnya dari sisi investasi.
Selanjutnya, laporan ini juga mengungkapkan bahwa dua dampak utama dari sisi lingkungan yang ditimbulkan oleh keberadaan bendungan skala besar. Pertama, proses penenggelaman wilayah oleh bendungan ternyata telah menyumbang sekitar 7 persen karbon di dunia. Hal ini disebabkan oleh proses penguraian tanah dan tumbuhan yang memakan waktu sangat lama. Kedua, sekitar 5 persen total air juga menguap setiap tahun di bendungan penampung.
Perhitungan ini belum menjelaskan secara detail dampak kerugian ekonomis dan sosiologis yang akan dialami oleh masyarakat yang hidup pada daerah hulu dan hilir aliran sungai yang dibendung. Apalagi bendungan akan merubah secara permanen aliran air pada daerah hilir berupa pengeringan maupun pengurangan debit air sungai. Sehingga, kelompok-kelompok masyarakat yang memanfaatkan air disepanjang daerah aliran sungai akan kehilangan sumber-sumber kesejahteraannya.
Dari laporan ini kita bisa menarik kesimpulan secara lebih jernih. Bahwa keinginan dalam pembangunan bendungan skala besar sesungguhnya berada di tangan lembaga donor, kontraktor pembangunan yang bisa saja tidak seimbang dengan keuntungan ekonomi rakyat secara luas.
Jika pembangunan berwatak populis semacam bendungan saja mempunyai dampak buruk yang tidak sedikit. Tentu patut pula kita melihat potensi pelanggaran ham pada pembangunan mega proyek infrastruktur lainnya seperti pembangunan tol trans-jawa, bandara internasional dll. Karena selain selain akan menggusur puluhan ribu masyarakat tentu juga akan mengancam tanah pertanian subur dan beririgasi yang selama ini menopang ketahanan pangan rakyat.
November 15, 2007
Pemerintah Desa yang Bekerja untuk Pembaruan Agraria
Oleh: Iwan Nurdin
Pendahuluan
Sebelumnya, saya hendak mengajukan beberapa pertanyaan kepada kita semua di forum belajar bersama ini tentang hal-hal di bawah ini:
(1) Bagaimanakah pemerintah daerah dan pusat melihat desa? (2) Bagaimanakah orang awam diberi gambaran dalam melihat desa? (3) Bagaimanakah umumnya penduduk desa melihat dirinya dan desanya? (4) Bagaimanakah Kepala Desa melihat dirinya dan desanya? (5) Bagaimana penduduk di desa dan pemerintah desa memandang pemerintah dia atasnya. (6) Apakah pandangan-pandangan tersebut ideal dan adil?
Sambil mendiskusikan ini, saya memberikan dua gambaran dari pertanyaan diatas. Bahwa pada umumnya, jika orang awam diminta membayangkan dan menggambarkan desa, maka segera yang terbayang adalah lahan-lahan pertanian subur yang digarap oleh petani. Kemudian, secara kebudayaan akan membayangkan sebuah komunitas sosial yang jaraknya rapat. Sehingga, desa adalah wilayah dimana semangat gotong royong dan keguyuban sosial lainnya yang kuat. (masihkah hal ini dalam kenyataan sehari-hari?)
Sejauh ini, para kepala desa (terlebih dalam kebudayaan Jawa) akan menganggap dirinya sebagai pamong yang menjadi ayah/induk dari para anak-anaknya (warga desa). Dengan demikian para lurah akan membayangkan desanya sebagai sebuah keluarga besarnya dan dia sebagai kepala keluarga.
Dari diskusi ini, marilah kita menjawab hal-hal dibawah ini? Mengapa tanah-tanah subur di desa diperuntukkan untuk kepentingan perusahaan perkebunan, perusahaan perkebunan kayu (perhutani), pabrik dan perumahan. Apakah rakyat di desa tidak bisa menanam tanaman kopi, coklat/kakao, kayu jati, teh dll sehingga harus diserahkan kepada perkebunan?
Jadi menurut saya, kalau rakyat desa atau pemerintah desa belum bisa mendirikan dan mengelola pabrik perkebunan, mendirikan dan mengelola perumahan pasti ada hubungannya dengan pandangan orang desa terhadap dirinya dan juga pandangan orang luar desa (Pemerintah, Akademisi, LSM) terhadap dirinya yang saling menguatkan.
Kalaupun bisa modalnya dari mana, mas Iwan? Kalaupun ada modal, jika hendak melaksanakan agenda seperti itu bagaimana mensiasati peraturan yang sudah ada? Seperti itulah setidaknya beberapa pertanyaan lain yang akan muncul sekedar untuk memperlihatkan betapa pandangan-pandangan yang selama ini ada dalam melihat desa, melalui pertanyaan-pertanyaan yang saya kemukakan awal tulisan diatas bisa terus menerus hidup di kepala kita, karena dilembagakan melalui UU dan Peraturan Pemerintah dan bahkan melalui pendidikan.
Desa dan Pertanian
Telah lama (bahkan sejak zaman kolonial) desa dan pertanian memberi subsidi kepada sektor diluar pertanian khususnya industri dan jasa. Subsidi tersebut berupa pasokan bahan mentah bagi industri pengolah di dalam dan luar negeri hingga ketersediaan bahan pangan dan pasokan buruh murah.
Pasokan pangan murah diperlukan untuk menjamin upah buruh tetap murah sehingga sesuai dengan rencana pemerintah menarik investor. Pertanian yang tidak menguntungkan juga menjamin suplai buruh murah di kota bahkan hingga ke luar negeri karena tidak banyak orang tertarik menjadi petani. Persoalan ini juga kemudian mengakibatkan organisasi serikat buruh tidak bisa mempunyai posisi tawar yang kuat dalam melindungi kelompok mereka.
Situasi ini bisa berjalan terus menerus karena, faktor dihulunya yaitu kebijakan bagi pengembangan pertanian dan desa tidak pernah dilakukan. Selain itu, sumber sumber agraria (tanah, air dan kekayaan alam di dalamnya) oleh pemerintah tidak diperuntukkan bagi rakyat yang membutuhkan sebagai terjemahan dari UUD 1945 dan UUPA 1960.
Bertolak dari hal ini, kebutuhan dilaksanakannya Pembaruan Agraria di Indonesia akan terus menerus hidup dalam sanubari pejuang-pejuang tani. Pembaruan Agraria adalah perombakan struktur agraria berupa kepemilikan, penguasaan, pengelolaan sumber-sumber agraria menjadi lebih adil. Dan, tak pelak salah satu pintu utama dalam perjuangan Pembaruan Agraria adalah melalui Pembaruan Desa.
Pembaruan Agraria Melalui Pembaruan Desa
Secara hukum menurut Ketentuan Umum UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang disebut dengan desa adalah: kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asalusul "dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Sementara itu, seringkali desa-desa dibedakan berdasarkan pada kegiatan ekonomi utama yang ada pada desa. Misalnya, Mubyarto (1994) membagi tipologi desa tertinggal di Propinsi Jawa Tengah ke dalam sembilan tipologi berdasarkan komoditas basis pertanian dan kegiatan mayoritas petani pada desa tersebut. Kesembilan karakteristik desa adalah desa persawahan, desa lahan kering, desa perkebunan, desa peternakan, desa nelayan, desa hutan, desa industri kecil, desa buruh industri, serta desa jasa dan perdagangan.
Sedangkan Soedrajad (1997) membagi tipologi ke dalam 4 kategori , yaitu :
a. Desa pantai adalah desa yang kegiatan utamanya alam penangkapan ikan.
b. Desa persawahan adalah desa yang mayoritas penggunaan lahan untuk persawahan terutama tergantung pada produktivitas penanaman padi.
c. Desa perkebunan adalah desa yang mayoritas penggunaan lahanya untuk perkebunan.
d. Desa perladangan adalah desa yang kegiatan utamanya adalah perladangan (menanam tanaman pangan tadah hujan dan palawija).
Menurut hemat saya, dari paparan singkat dimuka, apapun kategorinya desa secara sosial politik dan ekonomi telah dipinggirkan. sehingga penting dan mendesak dilakukan Pembaruan Desa melalui Pembaruan Agraria atas inisiatif rakyat desa sendiri. Pembaruan tersebut tiada lain adalah sebuah proses penciptaan kondisi struktur agraria yang adil dan menjamin ekonomi rakyat di pedesaan yang kukuh, dan mampu tumbuh secara mandiri dan berkelanjutan yang ditopang oleh pemerintah desa yang demokratis.
Tujuan dari Pembaruan Desa ini adalah: Mendorong sumber-sumber agraria yang berada di desa diperuntukkan bagi rakyat dan berperan aktif dalam peningkatan kualitas tenaga kerja di pedesaan yang berwawasan lingkungan; kedua, Mendorong peningkatan kemampuan aparatur pemerintah desa; dan penguatan lembaga pemerintah desa dan lembaga masyarakat desa; ketiga, pengembangan sarana dan prasarana pedesaan.
Beberapa Usulan Kerja:
1. Menguatkan Perjuangan Pembaruan Agraria
Pembaruan Agraria tidak akan berhasil tanpa organisasi rakyat khususnya organisasi tani yang kuat, dan secara benar perjuangan Pembaruan Agraria. Pemerintah Desa yang bekerja demi terwujudnya PA harus selalu mendorong tumbuhnya organisasi tani, organisasi perempuan, organisasi pemuda, komunitas keagamaan dan pendidikan di desanya sehingga memahami dan kemudian bersinergi (seiring sejalan dan saling menguatkan) dengan perjuangan serikat-serikat tani dalam memperjuangkan Pembaruan Agraria.
Dorongan Pemerintah Desa untuk memfasilitasi tumbuhnya berbagai organisasi di desa akan memperluas pengetahuan berorganisasi, memperluas wawasan sehingga pandangan-pandangan salah yang berkembang tentang desa dan pertanian dapat diluruskan kembali.
Organisasi-organisasi ini juga dapat bersinergi dengan pemerintah desa untuk mengidentifikasi kepemilikan lahan-lahan pertanian dan perkebunan, mata air, galian tambang, di wilayah desa. Identifikasi ini berupa luasan, pemilik, pengelola, baik oleh perseorangan maupun perusahaan.
Data-data ini sangat penting bagi Pemerintah Desa untuk bisa melakukan Negosiasi, Fasilitasi, Mediasi dengan perusahaan perkebunan yang aktif di desa untuk dapat membukakan akses bagi rakyat dalam hal tanah, tenaga kerja, perlindungan tenaga kerja dari desanya. Bahkan, Pemerintah Desa dapat mengusahakan bagi hasil yang adil bagi penggarap-penggarap lahan pertanian sesuai dengan UU Pokok Bagi Hasil. Sementara, bagi lahan-lahan perkebunan yang terlantar maka Pemerintah Desa mendorong masyarakat memproduktifkan tanah tersebut dan bahu membahu menjadikannya objek landreform.
Sehingga sangat penting bagi pemerintah desa untuk mengetahui, memahami, dan mampu melaksanakan proses Negosiasi, Fasilitasi dan Mediasi sebagai salah satu jalan menyelesaikan konflik agraria di tengah-tengah masyarakatnya. Sebagai bahan dasar, tentusaja keterbukaan, keberpihakan yang kuat kepada rakyat adalah prasyarat utama melakukan proses ini.
2. Membangun dan Menguatkan Kelembagaan Desa
Membangun kelembagaan desa yang kuat, adalah modal sosial dan politik bagi pengembangan masyarakat desa.
Pembangunan kelembagaan ini, mestilah sebagai sebuah dasar dalam memacu tercapainya tujuan masyarakat desa yang demokratis, adil, sejahtera dan partisipatif.
Kelembagaan Politik yang demokratis haruslah tercermin dalam struktur pemerintahan desa hingga ke RT. Kelembagaan yang demokratis di desa dapat diukur dengan ukuran-ukuran demokrasi seperti kebebasan, keterwakilan. Kebebasan disini bukan semata-mata dipandang sebagai sebuah cara-cara yang bebas dari belenggu siapapun dalam mengekspresikan pikiran-pikiran dan pendapat. Namun, kebebasan ini mestilah diperuntukkan untuk hal-hal yang disepakti bersama. Bebas dari harus selalu dibarengi dengan bebas untuk.
Keterwakilan mestilah di dorong untuk tumbuh dalam setiap kelembagaan politik di desa. Keterwakilan dapat mengacu pada hal-hal di bawah ini: perempuan, pemuda ataupun keterwakilan pekerjaan seperti petani, buruh tani, buruh dan juga ketrwakilan golongan seperti kaum cerdik cendikia, guru, ulama dsb.
Proses ini dapat mengkreasi lebih sempurna azas keterwakilan liberal di desa pada tubuh BPD yang selama ini dipilih atas dasar kewilayah atau mata pilih semata. Sehingga, sebelum dipilih secara bebas oleh masyarakat, telah ditentukan melalui musyawarah mufakat oleh masyarakat siapa-siapa calon dari golongan ini yang berhak dipilih untuk duduk di dalam BPD.
Kelembagaan ekonomi di desa, seringkali tidak dapat tumbuh. Bahkan, koperasi yang di idealkan oleh pendiri bangsa kita telah menjadi momok di desa-desa. Sehingga, kerapkali rakyat tidak bisa membedakan koperasi dengan rentenir formal yang berwujud koperasi simpan pinjam.
Telah banyak di desa-desa lainnya, khususnya di Kalimantan Barat, Sumatera Utara, serikat-serikat tani yang berhasil membangun Badan Usaha Bersama Milik Masyarakat Desa. Dalam bentuk, wujud dari usaha bersama ini koperasi yang benar-benar dari anggota dan untuk kesejahteraan anggota.
Ada baiknya, jika Pemerintah Desa yang hadir disini secara bersama-sama bergotong royong untuk mengundang kawan-kawan kita yang telah berhasil dari proses ini untuk belajar dari pengalaman mereka dan mengajarkan langsung kepada warga desa kita.
Dalam hal pembangunan Kelembagaan Sosial dan Budaya di masyarakat desa, patutlah kita merasa prihatin yang mendalam. Sebab, sesungguhnya situasi saat ini secara sosial masyarakat desa mulai tergerak ke arah individualisme yang mendalam. Perilaku individualisme ini telah merenggangkan semangat gotong royong dalam melawan kemiskinan dan kebodohan di didesa. Sementara, semangat kebersamaa di desa juga kadangkala menyimpang dalam bentuk-bentuk seperti tawuran antar kampung dsb.
Kelembagaan sosial yang baik dapat didorong atau dikembangkan lebih baik bentuk-bentuk gotong royong kematian, mengedepankan dan melembagakan penyelesaian konflik antar masyarakat melalui musyawarah.
Bentuk dan lembaga kebudayaan-kebudayaan yang hidup di desa akan mendorong lahirnya masyarakat yang lebih menghargai dan mengagungkan peradaban dan keadabannya sendiri secara baik wajar dan terus menerus mempertinggi kualitas kebudayaannya secara mandiri.
Dengan demikian, budaya-budaya yang menjajah seperti konsumerisme, perilaku boros, tidak cermat, tidak tepat waktu, tidak toleran, malas belajar selalu dipandang sebagai musuh utama peradaban masyarakat desa.
Pembangunan semacam ini, adalah modal sosial yang sangat kuat dalam melawan kapitalisme.
Penutup
Sebagai penutup, saya hendak mengatakan bahwa apa yang saya usulkan bukanlah sesuatu yang kita mulai dari nol. Sebab, modal awal kita telah ada. Bukankah organisasi, jaringan kerja telah sejak awal kita miliki.
Iwan Nurdin
Pendahuluan
Sebelumnya, saya hendak mengajukan beberapa pertanyaan kepada kita semua di forum belajar bersama ini tentang hal-hal di bawah ini:
(1) Bagaimanakah pemerintah daerah dan pusat melihat desa? (2) Bagaimanakah orang awam diberi gambaran dalam melihat desa? (3) Bagaimanakah umumnya penduduk desa melihat dirinya dan desanya? (4) Bagaimanakah Kepala Desa melihat dirinya dan desanya? (5) Bagaimana penduduk di desa dan pemerintah desa memandang pemerintah dia atasnya. (6) Apakah pandangan-pandangan tersebut ideal dan adil?
Sambil mendiskusikan ini, saya memberikan dua gambaran dari pertanyaan diatas. Bahwa pada umumnya, jika orang awam diminta membayangkan dan menggambarkan desa, maka segera yang terbayang adalah lahan-lahan pertanian subur yang digarap oleh petani. Kemudian, secara kebudayaan akan membayangkan sebuah komunitas sosial yang jaraknya rapat. Sehingga, desa adalah wilayah dimana semangat gotong royong dan keguyuban sosial lainnya yang kuat. (masihkah hal ini dalam kenyataan sehari-hari?)
Sejauh ini, para kepala desa (terlebih dalam kebudayaan Jawa) akan menganggap dirinya sebagai pamong yang menjadi ayah/induk dari para anak-anaknya (warga desa). Dengan demikian para lurah akan membayangkan desanya sebagai sebuah keluarga besarnya dan dia sebagai kepala keluarga.
Dari diskusi ini, marilah kita menjawab hal-hal dibawah ini? Mengapa tanah-tanah subur di desa diperuntukkan untuk kepentingan perusahaan perkebunan, perusahaan perkebunan kayu (perhutani), pabrik dan perumahan. Apakah rakyat di desa tidak bisa menanam tanaman kopi, coklat/kakao, kayu jati, teh dll sehingga harus diserahkan kepada perkebunan?
Jadi menurut saya, kalau rakyat desa atau pemerintah desa belum bisa mendirikan dan mengelola pabrik perkebunan, mendirikan dan mengelola perumahan pasti ada hubungannya dengan pandangan orang desa terhadap dirinya dan juga pandangan orang luar desa (Pemerintah, Akademisi, LSM) terhadap dirinya yang saling menguatkan.
Kalaupun bisa modalnya dari mana, mas Iwan? Kalaupun ada modal, jika hendak melaksanakan agenda seperti itu bagaimana mensiasati peraturan yang sudah ada? Seperti itulah setidaknya beberapa pertanyaan lain yang akan muncul sekedar untuk memperlihatkan betapa pandangan-pandangan yang selama ini ada dalam melihat desa, melalui pertanyaan-pertanyaan yang saya kemukakan awal tulisan diatas bisa terus menerus hidup di kepala kita, karena dilembagakan melalui UU dan Peraturan Pemerintah dan bahkan melalui pendidikan.
Desa dan Pertanian
Telah lama (bahkan sejak zaman kolonial) desa dan pertanian memberi subsidi kepada sektor diluar pertanian khususnya industri dan jasa. Subsidi tersebut berupa pasokan bahan mentah bagi industri pengolah di dalam dan luar negeri hingga ketersediaan bahan pangan dan pasokan buruh murah.
Pasokan pangan murah diperlukan untuk menjamin upah buruh tetap murah sehingga sesuai dengan rencana pemerintah menarik investor. Pertanian yang tidak menguntungkan juga menjamin suplai buruh murah di kota bahkan hingga ke luar negeri karena tidak banyak orang tertarik menjadi petani. Persoalan ini juga kemudian mengakibatkan organisasi serikat buruh tidak bisa mempunyai posisi tawar yang kuat dalam melindungi kelompok mereka.
Situasi ini bisa berjalan terus menerus karena, faktor dihulunya yaitu kebijakan bagi pengembangan pertanian dan desa tidak pernah dilakukan. Selain itu, sumber sumber agraria (tanah, air dan kekayaan alam di dalamnya) oleh pemerintah tidak diperuntukkan bagi rakyat yang membutuhkan sebagai terjemahan dari UUD 1945 dan UUPA 1960.
Bertolak dari hal ini, kebutuhan dilaksanakannya Pembaruan Agraria di Indonesia akan terus menerus hidup dalam sanubari pejuang-pejuang tani. Pembaruan Agraria adalah perombakan struktur agraria berupa kepemilikan, penguasaan, pengelolaan sumber-sumber agraria menjadi lebih adil. Dan, tak pelak salah satu pintu utama dalam perjuangan Pembaruan Agraria adalah melalui Pembaruan Desa.
Pembaruan Agraria Melalui Pembaruan Desa
Secara hukum menurut Ketentuan Umum UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang disebut dengan desa adalah: kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asalusul "dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Sementara itu, seringkali desa-desa dibedakan berdasarkan pada kegiatan ekonomi utama yang ada pada desa. Misalnya, Mubyarto (1994) membagi tipologi desa tertinggal di Propinsi Jawa Tengah ke dalam sembilan tipologi berdasarkan komoditas basis pertanian dan kegiatan mayoritas petani pada desa tersebut. Kesembilan karakteristik desa adalah desa persawahan, desa lahan kering, desa perkebunan, desa peternakan, desa nelayan, desa hutan, desa industri kecil, desa buruh industri, serta desa jasa dan perdagangan.
Sedangkan Soedrajad (1997) membagi tipologi ke dalam 4 kategori , yaitu :
a. Desa pantai adalah desa yang kegiatan utamanya alam penangkapan ikan.
b. Desa persawahan adalah desa yang mayoritas penggunaan lahan untuk persawahan terutama tergantung pada produktivitas penanaman padi.
c. Desa perkebunan adalah desa yang mayoritas penggunaan lahanya untuk perkebunan.
d. Desa perladangan adalah desa yang kegiatan utamanya adalah perladangan (menanam tanaman pangan tadah hujan dan palawija).
Menurut hemat saya, dari paparan singkat dimuka, apapun kategorinya desa secara sosial politik dan ekonomi telah dipinggirkan. sehingga penting dan mendesak dilakukan Pembaruan Desa melalui Pembaruan Agraria atas inisiatif rakyat desa sendiri. Pembaruan tersebut tiada lain adalah sebuah proses penciptaan kondisi struktur agraria yang adil dan menjamin ekonomi rakyat di pedesaan yang kukuh, dan mampu tumbuh secara mandiri dan berkelanjutan yang ditopang oleh pemerintah desa yang demokratis.
Tujuan dari Pembaruan Desa ini adalah: Mendorong sumber-sumber agraria yang berada di desa diperuntukkan bagi rakyat dan berperan aktif dalam peningkatan kualitas tenaga kerja di pedesaan yang berwawasan lingkungan; kedua, Mendorong peningkatan kemampuan aparatur pemerintah desa; dan penguatan lembaga pemerintah desa dan lembaga masyarakat desa; ketiga, pengembangan sarana dan prasarana pedesaan.
Beberapa Usulan Kerja:
1. Menguatkan Perjuangan Pembaruan Agraria
Pembaruan Agraria tidak akan berhasil tanpa organisasi rakyat khususnya organisasi tani yang kuat, dan secara benar perjuangan Pembaruan Agraria. Pemerintah Desa yang bekerja demi terwujudnya PA harus selalu mendorong tumbuhnya organisasi tani, organisasi perempuan, organisasi pemuda, komunitas keagamaan dan pendidikan di desanya sehingga memahami dan kemudian bersinergi (seiring sejalan dan saling menguatkan) dengan perjuangan serikat-serikat tani dalam memperjuangkan Pembaruan Agraria.
Dorongan Pemerintah Desa untuk memfasilitasi tumbuhnya berbagai organisasi di desa akan memperluas pengetahuan berorganisasi, memperluas wawasan sehingga pandangan-pandangan salah yang berkembang tentang desa dan pertanian dapat diluruskan kembali.
Organisasi-organisasi ini juga dapat bersinergi dengan pemerintah desa untuk mengidentifikasi kepemilikan lahan-lahan pertanian dan perkebunan, mata air, galian tambang, di wilayah desa. Identifikasi ini berupa luasan, pemilik, pengelola, baik oleh perseorangan maupun perusahaan.
Data-data ini sangat penting bagi Pemerintah Desa untuk bisa melakukan Negosiasi, Fasilitasi, Mediasi dengan perusahaan perkebunan yang aktif di desa untuk dapat membukakan akses bagi rakyat dalam hal tanah, tenaga kerja, perlindungan tenaga kerja dari desanya. Bahkan, Pemerintah Desa dapat mengusahakan bagi hasil yang adil bagi penggarap-penggarap lahan pertanian sesuai dengan UU Pokok Bagi Hasil. Sementara, bagi lahan-lahan perkebunan yang terlantar maka Pemerintah Desa mendorong masyarakat memproduktifkan tanah tersebut dan bahu membahu menjadikannya objek landreform.
Sehingga sangat penting bagi pemerintah desa untuk mengetahui, memahami, dan mampu melaksanakan proses Negosiasi, Fasilitasi dan Mediasi sebagai salah satu jalan menyelesaikan konflik agraria di tengah-tengah masyarakatnya. Sebagai bahan dasar, tentusaja keterbukaan, keberpihakan yang kuat kepada rakyat adalah prasyarat utama melakukan proses ini.
2. Membangun dan Menguatkan Kelembagaan Desa
Membangun kelembagaan desa yang kuat, adalah modal sosial dan politik bagi pengembangan masyarakat desa.
Pembangunan kelembagaan ini, mestilah sebagai sebuah dasar dalam memacu tercapainya tujuan masyarakat desa yang demokratis, adil, sejahtera dan partisipatif.
Kelembagaan Politik yang demokratis haruslah tercermin dalam struktur pemerintahan desa hingga ke RT. Kelembagaan yang demokratis di desa dapat diukur dengan ukuran-ukuran demokrasi seperti kebebasan, keterwakilan. Kebebasan disini bukan semata-mata dipandang sebagai sebuah cara-cara yang bebas dari belenggu siapapun dalam mengekspresikan pikiran-pikiran dan pendapat. Namun, kebebasan ini mestilah diperuntukkan untuk hal-hal yang disepakti bersama. Bebas dari harus selalu dibarengi dengan bebas untuk.
Keterwakilan mestilah di dorong untuk tumbuh dalam setiap kelembagaan politik di desa. Keterwakilan dapat mengacu pada hal-hal di bawah ini: perempuan, pemuda ataupun keterwakilan pekerjaan seperti petani, buruh tani, buruh dan juga ketrwakilan golongan seperti kaum cerdik cendikia, guru, ulama dsb.
Proses ini dapat mengkreasi lebih sempurna azas keterwakilan liberal di desa pada tubuh BPD yang selama ini dipilih atas dasar kewilayah atau mata pilih semata. Sehingga, sebelum dipilih secara bebas oleh masyarakat, telah ditentukan melalui musyawarah mufakat oleh masyarakat siapa-siapa calon dari golongan ini yang berhak dipilih untuk duduk di dalam BPD.
Kelembagaan ekonomi di desa, seringkali tidak dapat tumbuh. Bahkan, koperasi yang di idealkan oleh pendiri bangsa kita telah menjadi momok di desa-desa. Sehingga, kerapkali rakyat tidak bisa membedakan koperasi dengan rentenir formal yang berwujud koperasi simpan pinjam.
Telah banyak di desa-desa lainnya, khususnya di Kalimantan Barat, Sumatera Utara, serikat-serikat tani yang berhasil membangun Badan Usaha Bersama Milik Masyarakat Desa. Dalam bentuk, wujud dari usaha bersama ini koperasi yang benar-benar dari anggota dan untuk kesejahteraan anggota.
Ada baiknya, jika Pemerintah Desa yang hadir disini secara bersama-sama bergotong royong untuk mengundang kawan-kawan kita yang telah berhasil dari proses ini untuk belajar dari pengalaman mereka dan mengajarkan langsung kepada warga desa kita.
Dalam hal pembangunan Kelembagaan Sosial dan Budaya di masyarakat desa, patutlah kita merasa prihatin yang mendalam. Sebab, sesungguhnya situasi saat ini secara sosial masyarakat desa mulai tergerak ke arah individualisme yang mendalam. Perilaku individualisme ini telah merenggangkan semangat gotong royong dalam melawan kemiskinan dan kebodohan di didesa. Sementara, semangat kebersamaa di desa juga kadangkala menyimpang dalam bentuk-bentuk seperti tawuran antar kampung dsb.
Kelembagaan sosial yang baik dapat didorong atau dikembangkan lebih baik bentuk-bentuk gotong royong kematian, mengedepankan dan melembagakan penyelesaian konflik antar masyarakat melalui musyawarah.
Bentuk dan lembaga kebudayaan-kebudayaan yang hidup di desa akan mendorong lahirnya masyarakat yang lebih menghargai dan mengagungkan peradaban dan keadabannya sendiri secara baik wajar dan terus menerus mempertinggi kualitas kebudayaannya secara mandiri.
Dengan demikian, budaya-budaya yang menjajah seperti konsumerisme, perilaku boros, tidak cermat, tidak tepat waktu, tidak toleran, malas belajar selalu dipandang sebagai musuh utama peradaban masyarakat desa.
Pembangunan semacam ini, adalah modal sosial yang sangat kuat dalam melawan kapitalisme.
Penutup
Sebagai penutup, saya hendak mengatakan bahwa apa yang saya usulkan bukanlah sesuatu yang kita mulai dari nol. Sebab, modal awal kita telah ada. Bukankah organisasi, jaringan kerja telah sejak awal kita miliki.
Iwan Nurdin
August 29, 2007
Joseph Stiglitz: Indonesia needs a new agenda like LANDREFORM
AsiaViews, Edition: 30/IV/August/2007
By Akmal Nasery Basral, Budi Riza, Philipus Parera, M
Tempo, No. 51/VII/21-27 August 2007
THE voice of Joseph Stiglitz sounds sonorous, and quite different from those in the West. While the Washington 10 Consensus formula conceived by John Williamson in 1987-88 has been adopted by financial institutions like the International Monetary Fund, the World Bank and the US Treasury as a recipe to rehabilitate a country's economic paralysis, Stiglitz stands on the side of neo-Keynesian economists, who say that countries that follow that recipe will, in fact, find it difficult to rise from their economic depression. For his criticism of mistakes committed by the World Bank-where he once worked-he has been called a 'traitor.'
Last Tuesday, Stiglitz, recipient of the 2001 Nobel Prize for Economics was the main speaker at a seminar called "Indonesia in the Face of Globalization" organized by this magazine in Jakarta. Late in the evening after the event, Stiglitz spoke to Tempo's Akmal Nasery Basral, Budi Riza, Philipus Parera, Maria Hasugian and photographer Yosep Arkian, for a special interview. Excerpts:
What do you think about the government's investment regulations in Indonesia?
There are some problems. The concession period given by the Indonesian government to exploit natural resources is very long. This becomes a problem because it does not take into account changes that can happen in the evolution of the market, like the concession given to oil concessions when the price of oil was US$15 per barrel. You lose money because now the price is US$75. So, you should be careful with long-term contracts, unless there are specific contingencies and provisions in the contract protecting you from unexpected changes. This is not being done by many countries.
What should be the ideal concession period?
They should be kept relatively short, depending on the classification of minerals. In some cases, it is best to do some due diligence work when the agreements don't work but parties must live up to the agreements.
Another issue about investment regulations is international arbitration in solving business conflicts. This is very problematic in Indonesia. Take the case of Karaha Bodas. There is an investment of US$40 million, but you only got US$300. That's one example, but it's happening all over the world. You deal with really bad legal framework. In Indonesia, you claim to have transparency, but international arbitration is very closed.
In Indonesia, Freeport McMoran got a 20-year contract extension. The government claims not be able to do anything about it.
I'll give another example, Russia. They cancelled the environmental license of Shell because they violated the environmental conditions. I think the new reality is that companies know there are changes, natural resources are getting more scarce, and there are new demands. Indonesia must use this to its best advantage. You no longer need to depend on Exxon, because you can do it yourself and get bigger benefits from the natural wealth, rather than from production-sharing contracts with multinational companies. The US government should also not become an agent of Exxon or Enron. That is corruption. There is one interesting example. One American ambassador [in Indonesia] after the Suharto era got a senior position in a giant mining company in the US because he urged the Indonesian government to honor its contract. While he was lecturing Indonesia on corruption, he was actually practicing it.
But renegotiation seems to give investors a bad impression?
When we talk about mining and oil companies, they will go where there are natural resources. Few of them are ideal companies. The Middle East is not stable, neither is Nigeria and Latin America. Bolivia renegotiated and got a contract that gave it 18 percent. Now that they have renegotiated further, maybe they'll get 82 percent. The companies stayed there. They will stay there because they know that in the past they have been robbing the developing countries. But now they have to give better deals, because they're facing more democratic governments and they can no longer be bribed, they know they have to be more fair.
Not all countries dare to impose restrictions through renegotiation, including Indonesia, because they can be described as unfriendly towards investors.
China and India imposed limitations on capital flows. They said, you cannot come into the country for short-term speculation. And they have been the most direct investments from most countries around the world. They made it very clear that "we need those which create employment, actual investment," and no speculative purposes. Because short-term speculators will use all arguments they can find to maintain the market so it remains open to speculation.
Didn't Thailand try to do that but failed?
That is true. There are two lessons here. First, countries should act together. If Thailand, Indonesia, Malaysia were to act jointly, maybe like start an 'Asian Initiative,' it would be difficult for speculators to come in. Then, how you do it will make a difference. Some countries impose it through banking regulations, called prudential regulation. You limit bank loans to speculative investors, and take away the money supply from them. That would be a prudent and market-friendly regulation. You can also do it by controlling the capital market, and the result wouldn't be that much different.
The World Bank and the IMF asked developing countries to open their markets, but this does not seem to be beneficial.
There are two things here. First, there is the World Trade Organization agreement which you have to abide by. But the next question is how? The other is you often do more than is necessary. You must have a box of instruments that you are still not using. Globalization does not benefit developing countries and poor people, because it doesn't work fairly. I have a proposal to change the secretiveness of banks. President Bush is one who most often criticizes corruption, but at the same time he supports policies which potentially create more corruption. One of them is support towards the secret bank accounts all over the world.
Your critics say you favor allowing governments to be involved in influencing the market.
I must stress that information asymmetries (the theory which along with George A. Ackerlof and A. Michael Spence earned Stiglitz his Nobel Prize in 2001-Ed.) was never criticized. One implication of that theory-which has been totally accepted-is that markets often cannot create efficient allocation. No one believes any longer in the invisible hand of Adam Smith. And I always say, that is an invisible hand because it is invisible. One debate is whether governments must correct the mistakes of the market, but that is the theory on government, not on economics.
What kind of government can implement such correction?
It depends on each country. In many cases, it's been proven that the governments succeed in solving problems, even though in other cases, the government is the disaster. So, the question is whether in specific situations, governments can use this policy? It should be a policy that has been implemented 30 years ago, but a policy that is appropriate for today, a policy that can bring improvement, although it is imperfect.
Do you think the privatization program implemented by the Indonesian government is one of the imperfect policies that can bring improvement?
That depends on the kind of company and how privatization is being run. Clearly, privatization has to be implemented openly, offered to the public. If companies are sold to specific people, that would tend to go corrupt.
The subprime mortgage crisis in the US seems to be getting worse. What is the impact on the world?
There are three possibilities. First and most important is how it hits the prime markets and how it will cause the value of Indonesian loans to go down and affect the stock market here. Second is the global slowdown, all countries in the world will experience the global repercussions. Third, something which would not be as important to Indonesia, is that housing mortgages in the US are owned by the entire world. That used to be only owned by American banks, so if in the past those banks made bad mortgages, only they would feel the impact. But today, if an American lending bank makes a bad mortgage, Australia and Europe will suffer too. (In the discussion "Indonesia in the Face of Globalization," Stiglitz said that 1.78 million Americans will lose their homes because of their inability to pay their mortgages. "Perhaps this should be more appropriately called a social disaster, rather than a financial disaster."-Ed.).
If you were made the Indonesian government's economic advisor, what would you advise them to do?
The growth of the Indonesian economy has not been bad. Six percent growth historically speaking is good, even compared to other countries. For 25 years, India stood at 6 percent before growing to 8 percent. At the same time, however, Indonesia needs a new agenda, like land reform and more investment tied to education. The results may not show up in five years' time, but in the long term, for example in 25 years' time, that will bring good productivity. You have to make long-term investment. There's a lot you can do, be transparent about the rules of the game. You need a 10-15 year vision, to capture all opportunities.
--------------------------------------------------------------------------------
JOSEPH E. STIGLITZ
Place & Date of Birth
Indiana, USA, February 9, 1943
Education
PhD-MIT (1967)
Career
Chairman, Economic Advisory Council to President Clinton (1995-1997)
Vice-President and Chief Economist, World Bank (1997-2000)
Founder, Initiative for Policy Dialog (IPD), a think tank at Columbia University established with the support of the Ford, Rockefeller, MacArthur and Mott foundations, and the governments of Canada and Sweden
Books
Wither Socialism (1996)
The Rebel Within (2001)
Globalization and Its Discontents (2002)
The Roaring Nineties (2003)
Making Globalization Work (2006)
Awards
John Bates Clark Medal (1979)
Nobel Prize for Economics (2001)
Asal Usul Nama Indonesia
PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai(Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang) nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. "Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi(Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)" kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa
Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya
adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air kita memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch- Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887),
yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini ku rang populer. Bagi orang Bandung,Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta
artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah(kerendaha n peradaban) itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.
Nama Indonesia Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas
Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA. Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74,Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: …. the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama " Indonesia "agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akanmenjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama " Indonesia " dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas
Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah " Indonesia " di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah " Indonesia " itu
ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch- Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu daritulisan- tulisan Logan.
Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakanistilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Makna politis Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitassuatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curigadan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Loganitu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya. "
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula- mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggotaVolksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch- Indie". Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.
Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda" untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.
Dirgahayu Indonesiaku! ***
Mengutip http//zeus16. wordpress. com/2007/08/19/asal- nama-indonesia/
Disarikan dari tulisan IRFAN ANSHORY
(Penulis, Direktur Pendidikan "Ganesha Operation")
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa
Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya
adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air kita memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch- Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887),
yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini ku rang populer. Bagi orang Bandung,Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta
artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah(kerendaha n peradaban) itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.
Nama Indonesia Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas
Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA. Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74,Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: …. the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama " Indonesia "agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akanmenjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama " Indonesia " dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas
Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah " Indonesia " di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah " Indonesia " itu
ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch- Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu daritulisan- tulisan Logan.
Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakanistilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Makna politis Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitassuatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curigadan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Loganitu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya. "
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula- mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggotaVolksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch- Indie". Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.
Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda" untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.
Dirgahayu Indonesiaku! ***
Mengutip http//zeus16. wordpress. com/2007/08/19/asal- nama-indonesia/
Disarikan dari tulisan IRFAN ANSHORY
(Penulis, Direktur Pendidikan "Ganesha Operation")
August 22, 2007
Lahan Abadi Pertanian Pangan; Siapa yang DiLindungi?
Oleh: Iwan Nurdin
Saat ini pemerintah melalui Departemen Pertanian (Deptan) tengah menggodok RUU Pengelolaan Lahan Pertanian abadi. Konsultasi publik di beberapa wilayah sedang dilakukan. Sejalan dengan hal ini, DPR RI juga telah memprioritaskan RUU ini kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Niat mulia pemerintah untuk mencegah konversi lahan pertanian pangan melalui inisiatif RUU ini patut didukung. Sayangnya, pemerintah agaknya melupakan hal pokok: bahwa melindungi lahan pertanian pangan haruslah seiring dengan melindungi orang-orang yang selama ini memproduktifkan tanah yaitu petani.
Dalam RUU ini pemerintah berangkat pada pemahaman bahwa konversi tanah pertanian telah mencapai tahap yang mengkhawatirkan bahkan telah mencapai 150.000 ha/tahun (Soehartanto: 2005). Konversi ini utamanya disebabkan oleh sistem ekonomi nasional kita yang mendudukan posisi ekonomi pertanian pangan kita yang tidak menguntungkan jika dibandingkan sektor ekonomi lainnya seperti perdagangan, industri dan perumahan.
Dengan titik tolak pandangan seperti ini tentusaja sangat penting dan logis untuk segera melindungi lahan-lahan pertanian pangan kita melalui penetapan kawasan lahan pertanian pangan abadi yang dilarang untuk dikonversi. Penetapan areal lahan abadi pertanian pangan ini akan disesuaikan pada rencana tata ruang wilayah di tingkat provinsi dan kabupaten. Sementara, bagi para pemilik lahan ini akan diberikan berbagai kemudahan intensif fiskal berupa penghapusan pajak, sertifikasi gratis, dan serangkaian insentif lainnya (Pasal 15).
Disinilah letak kealpaan pemerintah bahwa pemilik lahan pertanian pangan mayoritas adalah para petani gurem. Bukankah dengan intensif semacam ini pemerintah justru melupakan pokok persoalan konversi lahan selama ini adalah sempitnya tanah pertanian yang dimiliki oleh petani dan lemahnya posisi mereka ketika berhadapan dengan sistem pasar pertanian kita yang liberal.
Sehingga, intensif semacam ini tidak akan banyak berbuah manis. Bahkan, melalui RUU ini secara sadar pemerintah tengah mendesain komoditisasi tanah pertanian dan menciptakan regulasi yang mendorong kemudahan investor korporasi pertanian pangan dengan diberi jaminan dan kepastian hukum tentang areal abadi pertanian pangan, dan berbagai insentif fiskal yang menguntungkan investor.
Jika demikian, draft UU ini sesungguhnya menggunakan dalih melindungi lahan pertanian pangan abadi untuk sehingga semakin mudah dilirik investor dan membuka jalan bagi kehadiran korporasi pertanian kedalam sistem pertanian pangan kita. Sementara, pemilik lahan gurem didorong menjadi buruh tani.
Bagaimana Seharusnya?
Seharusnya, penetapan lahan abadi pertanian dilakukan oleh pemerintah selaras dengan dijalankannya program pembaruan agraria. Sehingga, membuka jalan bagi para petani gurem dan buruh tani memperoleh lahan pertanian dengan luasan lahan yang secara ekonomis dapat menguntungkan.
Sementara, untuk meningkatkan produksi pangan yang berkualitas dan meningkatkan kapasitas petani dalam sistem pasar, desain yang diarahkan oleh pemerintah dalam RUU adalah membangun badan usaha bersama milik petani dan badan usaha bersama milik desa yang diwadahi dalam bentuk ekonomi koperasi.
Selanjutnya, larangan konversi lahan pertanian abadi dalam RUU ini mestilah disesuaikan dengan larangan peralihan lahan dari petani kepada non petani seperti perusahaan pertanian pangan kecuali kepada badan usaha koperasi yang benar-benar dimiliki oleh petani dan desa.
Mengacu pada upaya-upaya tersebut, RUU ini mestilah mengaitkan diri dengan semangat yang ada dalam UUPA 1960, UU Penetepan Batas Minimum dan Maksimum Luas Tanah Pertanian yang disesuaikan dengan keadaan sekarang, dan tentu saja UU Pokok Bagi Hasil.
Dengan bersandar pada UU ini, maka muatan dalam RUU ini adalah: pengalokasian tanah pertanian pangan yang benar-benar diperuntukkan bagi petani; menghapus dan mencegah tumbuhnya petani dan perusahaan yang memiliki lahan sangat luas; penetapan lahan pertanian pangan abadi; perlindungan lahan pertanian pangan dari konversi, desain usaha ekonomi pertanian yang kuat untuk mencegah konversi melalui badan usaha bersama milik petani; desain dan dukungan langsung bagi tumbuhnya indutralisasi pertanian berkelanjutan yang dimiliki petani sejak dari benih hingga pemasaran; desain dan dukungan langsung untuk menumbuhkan modal di pedesaan melalui badan usaha bersama milik desa yang akan menjadi dasar bagi cetak biru hubungan pertanian dan industri yang saling menguatkan dan hubungan desa kota yang setara.
Jika rumusannya demikian, RUU ini bukanlah larangan konversi yang ujungnya adalah alat mempidana baru para petani kita yang hidupnya sudah terjepit, apalagi menjadi alat legal yang “memaksa” para petani segera menjual tanah sempitnya karena dipandang oleh pemerintah tidak mampu mencegah lahan tersebut tidak dikonversi.
Jakarta, 18 Juli 2007
Iwan Nurdin
August 13, 2007
Menonton Nyai Ontosoroh
Menonton pementasan teater "Nyai Ontosoroh" dua hari lalu adalah bagian sangat menarik bagi para pembaca buku-buku Pram.
Apalagi, sang nyai adalah sosok pentin yang turut membangun karakter sang pemula tokoh pejuang dan pers nasional Tirto Adisuryo.
Pentas teater terpanjang yang pernah aku tonton. Kalau tidak salah hampir tiga seperempat jam.
Menonton Nyai Ontosoroh, meski oleh sang penulis skenario harus menghilangkan sosok Mingke yang sebenarnya juga turut membentuk karakter perlawanan sang nyai, terasa menarik karena menghidupkan kembali semangat humanis yang dibangun dalam setiap novel pram.
Ya, sang Nyai seolah digambarkan oleh Pram menjadi sosok baru dalam memaknai hidup dan menhormati kesetaraan manusia setelah mendapat pendidikan dan ajaran langsung dari tuannya tentang pengetahuan modern.
Akhirnya sikap Nyai menjadi sinis melihat idealisme dalam ajaran dan ilmu pengetahuan Eropa bersanding dengan sikap dan tindak tanduk penjajah yang diskriminatif.
Nyai ontosoroh adalah sosok perempuan kuat dan jenius yang digambarkan oleh dengan sangat baik. Sosok Happy Salma, sebelum saya masuk ke dalam gedung pertunjukan sempat membuat saya ragu.
Namun, setelah menonton. Salut juga untuk pemeran tokoh Nyai yang menurut saya sangat bagus dan sesuai dengan gambaran saya sebelum masuk panggung.
August 1, 2007
Para Pembaharu: Henry Saragih
Henry Saragih lahir di Petumbukan, 11 April 1964 di Sumatera utara. Lulus dari FISIP Universitas Sumatera Utara. Pada tahun 1980-an menjadi anggota Badan Pendiri dan Pelaksana Yayasan Sintesa, Kemudian mendirikan Serikat Petani Sumatera Utara 1994 – 1998. Sejak 1998 menjadi ketua Federasi Serikat Petani Indonesia sampai tahun 2003. Kemudian menjadi Koordinator La Via Campessina Regional Asia Timur dan Asia Tenggara. Sekarang menjadi Koordinator La Via Campesina.
La Via Campesina artinya adalah jalan petani. Saat ini Via Campesina sekretariatnya di Jakarta di Indonesia sejak tahun 1994. Organisasi petani harus ada di Amerika Latin dan Asia, dan di Indonesia ada Federas Serikat Petani Seluruh Indonesia.
Tahun 1993, Via Campesina resmi didirikan. Ini adalah hanya forum untuk bertemu, tetapi kemudian jumlah anggotanya ada 116 petani di tingkat nasional dan 54 negara di dunia. Via Campesina adalah organisasai di tingkat internasional, namun datang dari organisasi di tingkat desa (dusun) yang meningkat di tingkat kabupaten, propinsi, dan naik ke atas di tingkat nasional, kemudian tingkat dunia. Jadi awal pembentukannya ada di tingkat desa. Siapa anggotanya? Petani dan orang yang tidak memiliki tanah.
Sebagai korban neolib ada di seluruh dunia, karena korbannya ada di seluruh dunia maka ada perlawanan secara global yang dimulai dari desa. Program yang diambil oleh Via Campesina adalah reformasi agraria, kedaulatan pangan, keragaman hayati dan sumber genetik, hak asasi (Piagam Hak Petani), Subsistensi Berkelanjutan, migrasi dan tenaga kerja, perempuan dan jender, dan orang muda.
Saat ini, Bang Henry begitu ia kerap disapa adalah Sekretaris Jenderal FSPI merupakan organisasi perjuangan petani dan buruh tani yang fokus utamanya untuk memperjuangkan hak-hak petani, pembaruan agraria, kedaulatan pangan, perdagangan yang adil, keadilan jender dalam bidang pertanian, penguatan organisasi tani, dan pertanian berkelanjutan berbasis keluarga. FSPI sendiri adalah La Via Campesina.
Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) merupakan organisasi tani yang berdiri pada tahun 1998. Sebagai Federasi, organisasi ini menjadi payung serikat-serikat tani di tingkat nasional. Saat ini FSPI mempunyai 14 anggota serikat tani dari berbagai provinsi, diantaranya, Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh (Permata), erikat Petani Sumatera Utara (SPSU), Serikat Petani Sumatera Barat (SPSB), Persatuan Petani Jambi Pertajam), Serikat Petani Sumatera Selatan (SPSS), Serikat Petani Lampung (SPL), Serikat Petani Banten (SPB), Serikat Petani Pasundan (SPP), Serikat Petani Jawa Barat (SPJB), Serikat Petani Jawa Tengah (SPJT), Federasi Serikat Petani Jawa Timur (FSPJT), Serikat Tani Nusa Tenggara Barat (Serta NTB), Serikat Petani Kabupaten Sikka-NTT (SPKS-NTT).
(Dituliskan kembali oleh Iwan Nurdin dari berbagai sumber)
July 27, 2007
Dari Liberalisme ke Politik Etis
Kompas, Selasa, 24 Juli 2007
Oleh: Yudi Latif
Perlu diingatkan bahwa Indonesia pernah merana karena ekonomi liberal. Dikobarkan oleh gelombang liberalisme Eropa pada 1840-an, kekuatan liberal Belanda, didukung pemilik modal dan kelas menengah, meraih kekuasaan di negeri sendiri, lalu mengontrol perekonomian Hindia Belanda.
Berkredo "kebebasan usaha, kebebasan kerja, dan pemilikan pribadi", kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha/perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat.
Penetrasi modal dalam kelembaman responsibilitas sosial negara berakhir dengan pilu. Menjelang akhir abad itu, Hindia dirundung aneka malapetaka: stagnasi ekonomi, kemerosotan kesejahteraan, kelaparan, permukiman kumuh, dan memburuknya kesehatan penduduk.
Berbagai konsekuensi buruk dari perekonomian liberal ini menciptakan iklim opini baru di Negeri Belanda. Partai-partai lebih mendukung aktivitas negara dalam persoalan ekspansi, efisiensi, dan kesejahteraan, dengan menempatkan kesejahteraan Hindia sebagai fokus perhatian.
Perubahan angin politik ini menguntungkan sayap konservatif. Partai Kristen memenangi pemilu pada 1901 karena posisinya sebagai pembela tanggung jawab moral. Ratu Wilhelmina dalam pesan tahunannya di depan Parlemen mengemukakan masalah "utang budi" dan tanggung jawab etis kepada rakyat Hindia. Orientasi baru ini dikenal dengan "politik etis", dengan tekanan pada pembangunan pendidikan, irigasi, dan transmigrasi sebagai basis peningkatan kesejahteraan.
Neoliberalisme
Apakah gelombang kedua ekonomi liberal, yang beriak kembali bersama kemunculan Mafia Berkeley awal Orde Baru dan menjadi badai neoliberalisme sejak akhir 1990-an, akan menorehkan kisah yang sama? Jika tidak segera dikoreksi, hal itu sangat mungkin terjadi.
Kebijakan neolib yang kian mencengkeram sejak krisis moneter menempatkan negara sebagai hamba pasar, lembaga finansial, dan korporat internasional. Hal ini sekali lagi terjadi ketika institusi negara kesejahteraan yang melayani kemaslahatan umum begitu lemah.
Liberalisasi perdagangan menyesakkan konsumen dalam menghadapi fluktuasi harga internasional. Sangat problematis, terutama menyangkut produk-produk sembako. Harga gula, beras, dan minyak goreng bisa melambung tinggi, sementara pengusaha domestik tertekan oleh produk impor.
Gejala deindustrialisasi juga merebak karena industri nasional tidak mendapat insentif apa-apa dari pembukaan pasar dalam negeri yang berlebihan. Saat yang sama, pencabutan aneka subsidi di sela-sela malaise ekonomi membiakkan angka kemiskinan dan pengangguran, memerosotkan kesejahteraan sosial, kualitas hidup, dan kesehatan masyarakat.
Neoliberalisme mulai digugat di berbagai tempat. Iklim opini publik mulai beralih ke populisme, kedaulatan ekonomi, dan penguatan kapasitas negara. Dalam situasi ketika gerakan dan partai politik berbasis kelas tak berdaya, perubahan mood politik ini bisa menempatkan partai dan gerakan politik bercorak keagamaan, atau setidaknya memberi perhatian pada masalah keagamaan, menjadi sandaran perlawanan dan tanggung jawab etis.
Ada kekhawatiran, embusan angin politik ke "kanan" akan lebih menguntungkan gerakan dan partai politik fundamentalis. Karena minoritas "pemeluk teguh" yang terorganisasi rapi lebih mampu memobilisasi sumber daya ketimbang mayoritas diam yang lembek dan abai.
Di bawah mantel fundamentalisme, dampak buruk dari perekonomian liberal itu tidak akan diatasi tetapi sekadar dininabobokan oleh candu simbolik.
Gerakan/partai fundamentalis tidak pernah menawarkan substansi dan kedalaman, disibukkan oleh perumusan batas dan identitas.
Pendidikan
Diperlukan gerakan/partai politik bernuansa profetik yang menyuarakan kembali substansi "politik etis": bahwa negara mempunyai "utang budi" dan tanggung jawab etis kepada rakyat. Usaha pemulihan kesejahteraan sosial mengandaikan penguatan negara dan pasar kesejahteraan dengan memprioritaskan perhatian pada pendidikan, irigasi, dan transmigrasi.
Pendidikan merupakan prasyarat untuk mengatasi asimetri informasi yang menjadi sumber ketidakadilan pasar. Seperti dikatakan Amartya Sen, proses belajar akan memberi kesanggupan relatif rakyat untuk mentransformasikan exchange ideas ke dalam penggunaan sumber daya dan siklus ekonomi. Lewat kapasitas pertukaran ide, kelompok miskin mempunyai collateral (daya jamin dalam masyarakat) dan kontribusi bagi kemakmuran.
Irigasi berarti penyediaan infrastruktur dasar bagi pengembangan sektor riil, khususnya sektor agraris sebagai sumber utama daya saing bangsa. Negara bertanggung jawab untuk memberdayakan petani/nelayan, sebagai unsur terbesar dari kekuatan produktif.
Esensi transmigrasi adalah kemudahan mobilitas penduduk demi akses terhadap sumber-sumber kesejahteraan. Hal ini mengandaikan redistribusi dan kelancaran lalu lintas kapital.
Penguasaan kapital oleh segelintir pihak di titik pusat menyulitkan persebaran kapital sebagai kontainer mobilitas vertikal dan horizontal. Sifat insular negeri kepulauan yang menyulitkan kontak dalam intensitas tinggi tak menemukan jembatan katalisnya.
Komunalisme
Dalam ketersendatan lalu lintas pergaulan, masyarakat terkungkung dalam kepompong komunalisme. Pengikatan rasa kebangsaan dari ensambel komunalisme ini sekadar bertumpu pada solidaritas emosional yang tersisa dari warisan kesamaan sejarah, bahasa, dan budaya-keagamaan.
Tanpa solidaritas fungsional yang lahir karena persamaan kepentingan dan pemenuhan kesejahteraan bersama, fantasi kebertautan kebangsaan itu mudah retak oleh gerak sentrifugal dari ingatan pedih ketidakadilan dan keterkucilan.
Inilah jalan etis yang harus ditempuh. Jika dalam situasi penjajahan, politik etis melahirkan gerakan emansipasi yang menikam tuannya sendiri, dalam situasi kemerdekaan, jalan ini mestinya mendorong gerakan emansipasi ke luar (neokolonialisme) dan ke dalam (ketidakadilan) demi pencapaian cita-cita proklamasi: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Yudi Latif Pemikir Keagamaan dan Kenegaraan
Subscribe to:
Posts (Atom)