Oleh: Iwan Nurdin
Pendahuluan
Dalam tulisan ini, sebagai kelanjutan dari tulisan sebelumnya tentang pola-pola umum penguasaa tanah pra-kolonial. Saya bermaksud memaparkan kembali apa yang telah banyak ditulis oleh para sarjana tentang penguasaan tanah pada di Jawa pada masa kolonial.
Karena rentang waktu kolonialisme di Jawa yang panjang, mencakup era merkantilis Eropa hingga era industri modern. Tentu, corak kolonialisme di Jawa juga bertransformasi untuk menyesuaikan diri dengan negara induknya. Perubahan tersebut telah mengubah juga dasar-dasar dalam penguasaan tanah di Jawa pada masa pra-kolonial yang dalam beberapa segi umum tetap membekas hingga sekarang.
Wajib Setor VOC
VOC sebagai kongsi dagang milik pemerintah, agaknya belum terlalu berminat dalam penguasaan-penguasaan langsung tanah. Sebab, kekuatan militer dan keuangannya belum cukup mampu untuk menguasai wilayah-wilayah pedalaman pelabuhan.
Sehingga, dengan dasar pertimbangan yang demikian, VOC lebih memilih memonopoli perdagangan dan menguasai wilayah-wilayah secara tidak langsung dengan mempertahankan struktur birokrasi pra-kolonial. Baginya, cukuplah otoritas setempat bekerjasama dengan kepentingan VOC yaitu: memastikan kuota (contingenten) hasil-hasil agraris di tiap-tiap wilayah dapat disetor (wajib setor) kepada VOC.
Tujuan VOC menerapkan cara ini adalah: mendesak para bupati mengakui kedaulatannnya dan menjauhkan para bupati dari hubungan politik dan dagang dengan kekuatan asing, serta menjaga pasokan barang-barang kebutuhan perdagangan.
Bagi kalangan wong cilik, wajib setor ala VOC relatif sama dengan upeti untuk priayi dan raja. Terlebih para pengumpulnya tetaplah sama: kalangan penguasa/priayi lokal. Sampai VOC bangkrut, usaha-usaha semacam ini tetap dipertahankan oleh pemerintah Belanda yang mengambil alih kekuasaan di Jawa.
Dapat disimpulkan bahwa struktur penguasaan agraria pada masa VOC tidak mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan masa pra-kolonial.
Namun, ada beberapa kekecualian pola ini khususnya di beberapa wilayah taklukan seperti Batavia dan sekitarnya. Beberapa tanah dijual kepada orang-orang Eropa dan China. Tanah tersebut dijual berikut orang-orang yang bermukim di wilayah tersebut. Sehingga, para pemilik tanah dapat diperbolehkan mengutip pajak, mewajibkan kerja secara mandiri kepada para penduduk.
Pajak Tanah Raffles
Terdapat beberapa situasi politik yang mendasari sistem pajak Raffles, beberapa tahun sebelumnya, negeri Belanda dikuasai oleh Napoleon (1795) sehingga kekuasaan di Jawa diambil alih oleh Daendels sebagai Gubernur Jenderal. Sang gubernur ini meluaskan pola-pola penjualan tanah kepada pihak swasta khususnya di daerah Batavia, Semarang dan Surabaya. Penjualan tanah ini adalah penjualan tanah berikut penduduk yang hidup di dalamnya (Tanah Partikelir).
Pemerintah Belanda yang berada di pengasingan (London) kemudian membuat perjanjian dengan Inggris untuk menyerahkan kekuasaan di Hindia Belanda diserahkan sementara kepada Inggris. Jika perang berakhir dan Napoleon dapat dikalahkan maka kekuasaan Hindia Belanda akan dikembalikan Inggris kepada pemerintah Belanda.
Dan pada tahun 1811, ketika kekuasaan Hindia Belanda secara resmi berada ditangan Inggris. Dan Thomas Stanford Raffles menjadi Gubernur Jenderal.
Gubernur ini mengenalkan sistem sewa tanah. Sistem ini dijalankan dengan pengertian bahwa semua tanah sebelumnya adalah milik raja (domein theory). Dan, karena raja telah mengakui kedaulatan Inggris di wilayah Jawa maka pemilik tanah adalah pemerintah penjajah. Sehingga, penduduk harus membayar sewa kepada pemerintah penjajah.
Tetapi bagaimana cara mengutip sewa? Di beberapa daerah Jawa Barat khususnya Bandung, Karawang dan dimana tidak ada kekuasaan raja yang efektif , Raffles melelang tanah-tanah khususnya di daerah taklukan kepada para pengusaha dengan mendasarkan pada jumlah penduduk, hasil panen kopi dan padi setiap tahunnya.
Sementara, di daerah-daerah lainnya khususnya di daerah yang dikuasai dengan perjanjian (Mataram) sistem ini dijalankan dengan cara mengurangi peranan penguasa lokal (bupati). Bahkan, jumlah penguasa lokal setingkat bupati dikurangi dengan melakukan penggabungan-penggabungan wilayah.
Pemerintah menghapuskan “kepemilikan” tanah sikep (lihat “penguasaan tanah pra kolonial) dan membebaskan para numpang dan bujang untuk menggarap tanah. Kemudian tanah-tanah garapan ini dibawah otoritas langsung pemerintah desa. Bahwa semua tanah adalah milik oleh negara kemudian direpresentasikan dalam kepemilikan desa. Desa kemudian yang mengutip biaya sewa yang besarannya ditentukan oleh pemerintah.
Jadi: pemerintahan di masa Raffles menentukan secara langsung tarif sewa tanah kepada para penggarap sekaligus memerintahkan kepala desa mengumpulkan uang sewa. Pada mulanya, tarif sewa tersebut 2/5 hasil padi. Namun pada perkembangannya sewa tersebut meningkat pada tanah-tanah subur sewa tanah mencapai ½ dan pada tanah kualitas menengah 1/3 dari hasil panen setahun. Hanya tanah-tanah kurang subur harga sewa 2/5 masih dipertahankan.
Bagi pemerintah kolonial sendiri, cara yang digunakan Raffles ternyata dianggap kurang berhasil menghasilkan uang. Beberapa hal tersebut disebabkan oleh lemahnya administrasi, jumlah pegawai pemerintah yang mengontrol sangat sedikit, secara operasional sistem ini juga mahal dijalankan sementara rakyat dibebaskan menggarap tanah dengan tanaman apa saja. Pajak tanah ini berhenti se
Beberapa kesimpulan:
1. Pola penguasaan tanah dimasa Raffles mencoba menghilangkan peranan golongan feodal lama dan menggantinya dengan kekuasaan pemerintah jajahan yang berciri tetap berciri feodal.
2. Raffles mencoba menghilangkan peran bupati dan priayi dalam mengambil upeti tanah, menghilangkan para sikep, dan membebaskan para numpang, bujang untuk menggarap tanah.
3. Tanah adalah milik pemerintah. Maka, di desa semua tanah tersebut adalah milik desa. Sehingga pemerintah desa membayar pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah besarannya. Untuk itu, pemerintah desa diwajibkan mengutip pajak itu dari penduduk.
4. Dalam wilayah dimana kekuasaan lokal tidak efektif Raffles langsung mengundang pemodal untuk mengikuti lelang sehingga sang pemenang dapat langsung menguasai tanah, penduduk, dan hasil panen.
Jakarta, 26 November 2007
Iwan Nurdin
No comments:
Post a Comment