November 20, 2007

Wajah Pembangunan Infrastruktur Kita

Oleh: Iwan Nurdin

Infrastruktur yang buruk, selama ini sebenarnya telah menyumbang berbagai bentuk pelanggaran ham yang tidak sedikit. Sebab, keadaan ini telah menghambat masyarakat untuk mendapatkan akses yang berkualitas dan murah di dalam pemenuhan hak-hak dasar seperti pekerjaan, pendidikan dan kesehatan.

Dari sisi ini, pembangunan infrastruktur bisa kita lihat sebagai upaya pemerintah memenuhi ham sebagaimana yang diamanatkan Negara. Namun, jika tidak hati-hati, pembangunan infrastruktur juga mengundang persoalan dari sisi perlindungan dan pemenuhan ham.

Sebagai contoh, pembangunan waduk Jatigede di Sumedang, Jawa Barat, bisa kita kita anggap sebagai rencana besar pemerintah dalam pemenuhan hak-hak dasar rakyat khususnya dibidang pengairan pertanian, pemenuhan pangan dan energi. Secara kasat mata, pembangunan seperti ini dalam dimensi ham bisa dianggap positif.

Namun, berbagai kajian positif bendungan selama ini seolah telah menutupi berbagai kerugian langsung dan potensi kerugian yang akan alami oleh rakyat yang diakibatkan oleh pembangunan waduk skala besar. Ironisnya hal ini tidak diinformasikan kepada masyarakat luas.

Jika melihat laporan Komisi Bendungan Dunia (World Comission on Dams:2002) yang dibentuk oleh Bank Dunia untuk meneliti dampak pembangunan bendungan skala besar kita memperoleh beberapa kesimpulan penting yaitu: lebih dari 70 persen bendungan skala besar tidak mencapai target persediaan air. Lebih dari 50 persen bendungan ternyata tidak menghasilkan energi listrik yang sesuai dengan perkiraan awalnya. Sehingga, hanya 50 persen bendungan skala besar yang dapat mencapai pengembalian ekonomisnya dari sisi investasi.

Selanjutnya, laporan ini juga mengungkapkan bahwa dua dampak utama dari sisi lingkungan yang ditimbulkan oleh keberadaan bendungan skala besar. Pertama, proses penenggelaman wilayah oleh bendungan ternyata telah menyumbang sekitar 7 persen karbon di dunia. Hal ini disebabkan oleh proses penguraian tanah dan tumbuhan yang memakan waktu sangat lama. Kedua, sekitar 5 persen total air juga menguap setiap tahun di bendungan penampung.

Perhitungan ini belum menjelaskan secara detail dampak kerugian ekonomis dan sosiologis yang akan dialami oleh masyarakat yang hidup pada daerah hulu dan hilir aliran sungai yang dibendung. Apalagi bendungan akan merubah secara permanen aliran air pada daerah hilir berupa pengeringan maupun pengurangan debit air sungai. Sehingga, kelompok-kelompok masyarakat yang memanfaatkan air disepanjang daerah aliran sungai akan kehilangan sumber-sumber kesejahteraannya.

Dari laporan ini kita bisa menarik kesimpulan secara lebih jernih. Bahwa keinginan dalam pembangunan bendungan skala besar sesungguhnya berada di tangan lembaga donor, kontraktor pembangunan yang bisa saja tidak seimbang dengan keuntungan ekonomi rakyat secara luas.

Jika pembangunan berwatak populis semacam bendungan saja mempunyai dampak buruk yang tidak sedikit. Tentu patut pula kita melihat potensi pelanggaran ham pada pembangunan mega proyek infrastruktur lainnya seperti pembangunan tol trans-jawa, bandara internasional dll. Karena selain selain akan menggusur puluhan ribu masyarakat tentu juga akan mengancam tanah pertanian subur dan beririgasi yang selama ini menopang ketahanan pangan rakyat.