November 15, 2007

Pemerintah Desa yang Bekerja untuk Pembaruan Agraria

Oleh: Iwan Nurdin

Pendahuluan
Sebelumnya, saya hendak mengajukan beberapa pertanyaan kepada kita semua di forum belajar bersama ini tentang hal-hal di bawah ini:

(1) Bagaimanakah pemerintah daerah dan pusat melihat desa? (2) Bagaimanakah orang awam diberi gambaran dalam melihat desa? (3) Bagaimanakah umumnya penduduk desa melihat dirinya dan desanya? (4) Bagaimanakah Kepala Desa melihat dirinya dan desanya? (5) Bagaimana penduduk di desa dan pemerintah desa memandang pemerintah dia atasnya. (6) Apakah pandangan-pandangan tersebut ideal dan adil?

Sambil mendiskusikan ini, saya memberikan dua gambaran dari pertanyaan diatas. Bahwa pada umumnya, jika orang awam diminta membayangkan dan menggambarkan desa, maka segera yang terbayang adalah lahan-lahan pertanian subur yang digarap oleh petani. Kemudian, secara kebudayaan akan membayangkan sebuah komunitas sosial yang jaraknya rapat. Sehingga, desa adalah wilayah dimana semangat gotong royong dan keguyuban sosial lainnya yang kuat. (masihkah hal ini dalam kenyataan sehari-hari?)

Sejauh ini, para kepala desa (terlebih dalam kebudayaan Jawa) akan menganggap dirinya sebagai pamong yang menjadi ayah/induk dari para anak-anaknya (warga desa). Dengan demikian para lurah akan membayangkan desanya sebagai sebuah keluarga besarnya dan dia sebagai kepala keluarga.

Dari diskusi ini, marilah kita menjawab hal-hal dibawah ini? Mengapa tanah-tanah subur di desa diperuntukkan untuk kepentingan perusahaan perkebunan, perusahaan perkebunan kayu (perhutani), pabrik dan perumahan. Apakah rakyat di desa tidak bisa menanam tanaman kopi, coklat/kakao, kayu jati, teh dll sehingga harus diserahkan kepada perkebunan?

Jadi menurut saya, kalau rakyat desa atau pemerintah desa belum bisa mendirikan dan mengelola pabrik perkebunan, mendirikan dan mengelola perumahan pasti ada hubungannya dengan pandangan orang desa terhadap dirinya dan juga pandangan orang luar desa (Pemerintah, Akademisi, LSM) terhadap dirinya yang saling menguatkan.

Kalaupun bisa modalnya dari mana, mas Iwan? Kalaupun ada modal, jika hendak melaksanakan agenda seperti itu bagaimana mensiasati peraturan yang sudah ada? Seperti itulah setidaknya beberapa pertanyaan lain yang akan muncul sekedar untuk memperlihatkan betapa pandangan-pandangan yang selama ini ada dalam melihat desa, melalui pertanyaan-pertanyaan yang saya kemukakan awal tulisan diatas bisa terus menerus hidup di kepala kita, karena dilembagakan melalui UU dan Peraturan Pemerintah dan bahkan melalui pendidikan.

Desa dan Pertanian
Telah lama (bahkan sejak zaman kolonial) desa dan pertanian memberi subsidi kepada sektor diluar pertanian khususnya industri dan jasa. Subsidi tersebut berupa pasokan bahan mentah bagi industri pengolah di dalam dan luar negeri hingga ketersediaan bahan pangan dan pasokan buruh murah.

Pasokan pangan murah diperlukan untuk menjamin upah buruh tetap murah sehingga sesuai dengan rencana pemerintah menarik investor. Pertanian yang tidak menguntungkan juga menjamin suplai buruh murah di kota bahkan hingga ke luar negeri karena tidak banyak orang tertarik menjadi petani. Persoalan ini juga kemudian mengakibatkan organisasi serikat buruh tidak bisa mempunyai posisi tawar yang kuat dalam melindungi kelompok mereka.

Situasi ini bisa berjalan terus menerus karena, faktor dihulunya yaitu kebijakan bagi pengembangan pertanian dan desa tidak pernah dilakukan. Selain itu, sumber sumber agraria (tanah, air dan kekayaan alam di dalamnya) oleh pemerintah tidak diperuntukkan bagi rakyat yang membutuhkan sebagai terjemahan dari UUD 1945 dan UUPA 1960.

Bertolak dari hal ini, kebutuhan dilaksanakannya Pembaruan Agraria di Indonesia akan terus menerus hidup dalam sanubari pejuang-pejuang tani. Pembaruan Agraria adalah perombakan struktur agraria berupa kepemilikan, penguasaan, pengelolaan sumber-sumber agraria menjadi lebih adil. Dan, tak pelak salah satu pintu utama dalam perjuangan Pembaruan Agraria adalah melalui Pembaruan Desa.

Pembaruan Agraria Melalui Pembaruan Desa

Secara hukum menurut Ketentuan Umum UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang disebut dengan desa adalah: kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asalusul "dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Sementara itu, seringkali desa-desa dibedakan berdasarkan pada kegiatan ekonomi utama yang ada pada desa. Misalnya, Mubyarto (1994) membagi tipologi desa tertinggal di Propinsi Jawa Tengah ke dalam sembilan tipologi berdasarkan komoditas basis pertanian dan kegiatan mayoritas petani pada desa tersebut. Kesembilan karakteristik desa adalah desa persawahan, desa lahan kering, desa perkebunan, desa peternakan, desa nelayan, desa hutan, desa industri kecil, desa buruh industri, serta desa jasa dan perdagangan.

Sedangkan Soedrajad (1997) membagi tipologi ke dalam 4 kategori , yaitu :
a. Desa pantai adalah desa yang kegiatan utamanya alam penangkapan ikan.
b. Desa persawahan adalah desa yang mayoritas penggunaan lahan untuk persawahan terutama tergantung pada produktivitas penanaman padi.
c. Desa perkebunan adalah desa yang mayoritas penggunaan lahanya untuk perkebunan.
d. Desa perladangan adalah desa yang kegiatan utamanya adalah perladangan (menanam tanaman pangan tadah hujan dan palawija).


Menurut hemat saya, dari paparan singkat dimuka, apapun kategorinya desa secara sosial politik dan ekonomi telah dipinggirkan. sehingga penting dan mendesak dilakukan Pembaruan Desa melalui Pembaruan Agraria atas inisiatif rakyat desa sendiri. Pembaruan tersebut tiada lain adalah sebuah proses penciptaan kondisi struktur agraria yang adil dan menjamin ekonomi rakyat di pedesaan yang kukuh, dan mampu tumbuh secara mandiri dan berkelanjutan yang ditopang oleh pemerintah desa yang demokratis.

Tujuan dari Pembaruan Desa ini adalah: Mendorong sumber-sumber agraria yang berada di desa diperuntukkan bagi rakyat dan berperan aktif dalam peningkatan kualitas tenaga kerja di pedesaan yang berwawasan lingkungan; kedua, Mendorong peningkatan kemampuan aparatur pemerintah desa; dan penguatan lembaga pemerintah desa dan lembaga masyarakat desa; ketiga, pengembangan sarana dan prasarana pedesaan.

Beberapa Usulan Kerja:

1. Menguatkan Perjuangan Pembaruan Agraria
Pembaruan Agraria tidak akan berhasil tanpa organisasi rakyat khususnya organisasi tani yang kuat, dan secara benar perjuangan Pembaruan Agraria. Pemerintah Desa yang bekerja demi terwujudnya PA harus selalu mendorong tumbuhnya organisasi tani, organisasi perempuan, organisasi pemuda, komunitas keagamaan dan pendidikan di desanya sehingga memahami dan kemudian bersinergi (seiring sejalan dan saling menguatkan) dengan perjuangan serikat-serikat tani dalam memperjuangkan Pembaruan Agraria.

Dorongan Pemerintah Desa untuk memfasilitasi tumbuhnya berbagai organisasi di desa akan memperluas pengetahuan berorganisasi, memperluas wawasan sehingga pandangan-pandangan salah yang berkembang tentang desa dan pertanian dapat diluruskan kembali.

Organisasi-organisasi ini juga dapat bersinergi dengan pemerintah desa untuk mengidentifikasi kepemilikan lahan-lahan pertanian dan perkebunan, mata air, galian tambang, di wilayah desa. Identifikasi ini berupa luasan, pemilik, pengelola, baik oleh perseorangan maupun perusahaan.

Data-data ini sangat penting bagi Pemerintah Desa untuk bisa melakukan Negosiasi, Fasilitasi, Mediasi dengan perusahaan perkebunan yang aktif di desa untuk dapat membukakan akses bagi rakyat dalam hal tanah, tenaga kerja, perlindungan tenaga kerja dari desanya. Bahkan, Pemerintah Desa dapat mengusahakan bagi hasil yang adil bagi penggarap-penggarap lahan pertanian sesuai dengan UU Pokok Bagi Hasil. Sementara, bagi lahan-lahan perkebunan yang terlantar maka Pemerintah Desa mendorong masyarakat memproduktifkan tanah tersebut dan bahu membahu menjadikannya objek landreform.

Sehingga sangat penting bagi pemerintah desa untuk mengetahui, memahami, dan mampu melaksanakan proses Negosiasi, Fasilitasi dan Mediasi sebagai salah satu jalan menyelesaikan konflik agraria di tengah-tengah masyarakatnya. Sebagai bahan dasar, tentusaja keterbukaan, keberpihakan yang kuat kepada rakyat adalah prasyarat utama melakukan proses ini.

2. Membangun dan Menguatkan Kelembagaan Desa
Membangun kelembagaan desa yang kuat, adalah modal sosial dan politik bagi pengembangan masyarakat desa.

Pembangunan kelembagaan ini, mestilah sebagai sebuah dasar dalam memacu tercapainya tujuan masyarakat desa yang demokratis, adil, sejahtera dan partisipatif.

Kelembagaan Politik yang demokratis haruslah tercermin dalam struktur pemerintahan desa hingga ke RT. Kelembagaan yang demokratis di desa dapat diukur dengan ukuran-ukuran demokrasi seperti kebebasan, keterwakilan. Kebebasan disini bukan semata-mata dipandang sebagai sebuah cara-cara yang bebas dari belenggu siapapun dalam mengekspresikan pikiran-pikiran dan pendapat. Namun, kebebasan ini mestilah diperuntukkan untuk hal-hal yang disepakti bersama. Bebas dari harus selalu dibarengi dengan bebas untuk.

Keterwakilan mestilah di dorong untuk tumbuh dalam setiap kelembagaan politik di desa. Keterwakilan dapat mengacu pada hal-hal di bawah ini: perempuan, pemuda ataupun keterwakilan pekerjaan seperti petani, buruh tani, buruh dan juga ketrwakilan golongan seperti kaum cerdik cendikia, guru, ulama dsb.

Proses ini dapat mengkreasi lebih sempurna azas keterwakilan liberal di desa pada tubuh BPD yang selama ini dipilih atas dasar kewilayah atau mata pilih semata. Sehingga, sebelum dipilih secara bebas oleh masyarakat, telah ditentukan melalui musyawarah mufakat oleh masyarakat siapa-siapa calon dari golongan ini yang berhak dipilih untuk duduk di dalam BPD.

Kelembagaan ekonomi di desa, seringkali tidak dapat tumbuh. Bahkan, koperasi yang di idealkan oleh pendiri bangsa kita telah menjadi momok di desa-desa. Sehingga, kerapkali rakyat tidak bisa membedakan koperasi dengan rentenir formal yang berwujud koperasi simpan pinjam.

Telah banyak di desa-desa lainnya, khususnya di Kalimantan Barat, Sumatera Utara, serikat-serikat tani yang berhasil membangun Badan Usaha Bersama Milik Masyarakat Desa. Dalam bentuk, wujud dari usaha bersama ini koperasi yang benar-benar dari anggota dan untuk kesejahteraan anggota.

Ada baiknya, jika Pemerintah Desa yang hadir disini secara bersama-sama bergotong royong untuk mengundang kawan-kawan kita yang telah berhasil dari proses ini untuk belajar dari pengalaman mereka dan mengajarkan langsung kepada warga desa kita.

Dalam hal pembangunan Kelembagaan Sosial dan Budaya di masyarakat desa, patutlah kita merasa prihatin yang mendalam. Sebab, sesungguhnya situasi saat ini secara sosial masyarakat desa mulai tergerak ke arah individualisme yang mendalam. Perilaku individualisme ini telah merenggangkan semangat gotong royong dalam melawan kemiskinan dan kebodohan di didesa. Sementara, semangat kebersamaa di desa juga kadangkala menyimpang dalam bentuk-bentuk seperti tawuran antar kampung dsb.

Kelembagaan sosial yang baik dapat didorong atau dikembangkan lebih baik bentuk-bentuk gotong royong kematian, mengedepankan dan melembagakan penyelesaian konflik antar masyarakat melalui musyawarah.

Bentuk dan lembaga kebudayaan-kebudayaan yang hidup di desa akan mendorong lahirnya masyarakat yang lebih menghargai dan mengagungkan peradaban dan keadabannya sendiri secara baik wajar dan terus menerus mempertinggi kualitas kebudayaannya secara mandiri.

Dengan demikian, budaya-budaya yang menjajah seperti konsumerisme, perilaku boros, tidak cermat, tidak tepat waktu, tidak toleran, malas belajar selalu dipandang sebagai musuh utama peradaban masyarakat desa.

Pembangunan semacam ini, adalah modal sosial yang sangat kuat dalam melawan kapitalisme.

Penutup

Sebagai penutup, saya hendak mengatakan bahwa apa yang saya usulkan bukanlah sesuatu yang kita mulai dari nol. Sebab, modal awal kita telah ada. Bukankah organisasi, jaringan kerja telah sejak awal kita miliki.




Iwan Nurdin