November 22, 2007

Pokok-Pokok Penguasaan Tanah Pada Masa Pra-Kolonial

Tulisan ini dirangkum dari berbagai tulisan Ong Hok Ham
Oleh: Iwan Nurdin

Lapisan Sosial
Dalam konsepsi kerajaan di Jawa, penduduk dibedakan dalam struktur: Raja, Abdi Dalem (di dalamnya terdapat priyayi/adik raja) dan kalangan diluar itu yang disebut wong cilik.

Bagi raja pribadi, yang sebenarnya menjadi warganya (kawula) adalah golongan abdi dalem ini. Mereka dibedakan dari kalangan wongcilik atau massa rakyat biasa karena keistimewaan mereka yakni dapat menikmati hasil tanah tanpa harus mengerjakan sendiri.

Para priyayi dan elit kerajaan ini dibagi ke dalam wilayah-wilayah penguasaan. Wilayah penguasaan mereka dibagi tidak didasarkan luas kewilayahan, namun dihitung berdasarkan jumlah cacah. Misalnya seorang pejabat kerajaan atau pangeran menerima tanah seluas 800 cacah (keluarga petani).

Kekayaan, prestise dan kemakmuran elit kerajaan diukur menurut jumlah cacahnya, tidak menurut luas tanahnya. Jadi pada masa itu, penguasaan wilayah kalah penting dibandingkan dengan penguasaan penduduk (tenaga kerja).

Dari para cacahnya inilah, para elit kerajaan ini mendapatkan lungguh (apanage) yang merupakan tanah gaji. Tanah lungguh ini akan kembali kepada raja jika para priayi dan abdi dalem ini ini dipecat atau meninggal dunia. Tergantung kepada raja apakah ahli warisnya kelak dapat melanjutkan lungguh ini atau tidak. Hal yang demikian ini dilakukan untuk mencegah timbulnya kaum ningrat yang kokoh.

Pembedaan di Kalangan Wong Cilik
Para cacah ini, adalah kaum tani yang sangat tergantung kepada tanah dalam proses produksinya. Kaum tani ini terbagi-bagi dalam golongan atau kelas yang didasarkan pada tatacara mereka menguasai tanah.

Sementara, tanah-tanah juga dibagi kedalam dua bagian utama: yakni tanah pusaka (heirloom land) dan tanah yasa atau tanah hasil pembukaan dan pengusahaan sendiri (self developed land).

Petani yang menguasai tanah disebut Sikep (mereka inilah yang memeluk dan menanggung beban tanah kepada para priayi). Para petani sikep ini mempunyai numpang (tanggungan) dan bujang (belum menikah) yang merupakan lapisan terendah.

Sikep memperoleh tanah dari para raja atau melalui priayi. Para sikep ini yang mempunyai kewajiban pajak dan kerja bakti kepada para priayi (cacah). Jika Negara membutuhkan pajak baru dan kewajiban-kewajiban yang lebih luas, maka akan dibentuk Sikep baru. Tanah-yang diperoleh sikep ini disebut tanah pusaka karena mereka dapat mewariskan kepada ahli warisnya. Sementara, para sikep juga dapat meluaskan tanah mereka dengan menggunakan numpang mereka untuk meluaskan tanah (tanah yasa).

Para numpang juga mempunyai hak menguasahakan tanah-tanah persekutuan (tanah lanyah) secara beegantian dan tidak boleh memilikinya. Fungsi utama pembagian secara bergilir ini adalah untuk menjaga para numpang tetap menetap di wilayah tersebut.

Hubungan Kerajaan dan Sikep
Telah diuraikan bahwa hanya sikeplah yang mempuyai kewajiban membayar pajak kepada priayi dan kerajaan. Jika Negara membutuhkan berbagai pajak yang luas dan banyak maka akan dibentuk sikep baru. Proses membentuk sikep baru dengan cara memecah tanah sikep lama disebut pancasan.

Jika hubungan raja dan priayi adalah hubungan kawula-gusti (patron client). Maka proses ini akan berulang antara hubungan priyayi dan sikep di lapisan dua, dan sikep kepada numpang dilapisan terendah.

Namun hubungan patron client pada lapisan dua dibuat “rapuh” karena Raja selalu akan mengatur supaya di dalam wilayah lungguhnya, para sikep hidup terpisah-pisah tempat tinggalnya.

Sementara para sikep selalu merasa terancam dengan adanya pancasan oleh kehendak priayi dan raja jika hendak membentuk sikep baru. Dengan demikian, hubungan sikep dengan para numpang dan bujang juga bak api dalam sekam. Sebab, sewaktu-waktu jika politik berubah para numpang juga dapat menjadi sikep.

Kesimpulan
Dengan melihat pola-pola umum ini, maka dapat disimpulkan bahwa konsep kepemilikan tanah pada masa pra-kolonial dapat diartikan mutlak dimiliki oleh Raja semata. Bahkan, para elit sendiripun secara samar-samar saja mempunyai hak atas tanah.

Jakarta, 21 November 2007


Iwan Nurdin.

No comments: