Oleh: Iwan Nurdin
Pendahuluan
Seperti telah penulis ulas sebelumnya, sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles sejak 1811-1816 telah membawa beberapa persoalan terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.
Namun kalangan sarjana juga mengidentifikasi bahwa meletusnya perang ini juga diakibatkan oleh keresahan para priayi yang mendapatkan keuntungan dari sistem Raffles khususnya para priayi Surakarta yang telah mengikuti lelang penguasaan tanah sistem Raffles (Rajagukguk: 1994) namun sistem ini dinyatakan tidak berlaku oleh Belanda.
Perang ini telah membawa kerugian besar bagi Belanda yang pada saat itu belum pulih dari kerugian selama Perang Eropa. Namun, menurut Onghok Ham, Perang Diponegoro (1825-1830) juga telah memberi sumbangan penting bagi Pemerintah Belanda dalam memahami seluk beluk penguasaan tanah di Jawa pedalaman. Sebab, dukungan dan sekaligus perlawanan para priayi terhadap pihak kolonial telah membuka pemahaman mereka bahwa sandaran kekuasaan Belanda di Jawa hanya dapat bertahan jika para priyayi berkolaborasi dengan mereka. Kolaborasi ini juga akan membawa stabilitas Jawa untuk dapat lebih memberi keuntungan colonial.
Kekalahan yang dialami oleh pihak kerajaan dalam perang ini telah membuat keresahan yang dialami oleh para priayi-priayi semakin meningkat. Sebab, dalam situasi politik yang tidak stabil tersebut, intrik-intrik politik terkait kesetiaan para priayi kepada raja tentu merupakan isu yang sangat sensitif. Sehingga, setiap saat mengancam kedudukan sosial mereka.
Dalam posisi ini, Belanda sebagai pemenang perang yang telah memahami hubungan sosial ini, menawarkan sebuah solusi politik yang ditujukan untuk memperkuat kedudukan para priyayi. Tawaran tersebut adalah pemberian tanah milik, gaji uang bulanan, dan kedudukan yang dapat diwariskan. Bagi para priyayi, dalam situasi politik yang demikian, tawaran ini adalah kesempatan yang sangat menggiurkan. Sebab, unsur ketidakpastian tentang status sosial dan kepemilikan tanah yang selama ini melekat dalam sistem politik feodal kerajaan Jawa terhadap para priayi dihilangkan.
Pelaksanaan Politik Tanam Paksa.
Pelaksanaan politik tanam paksa dijalankan sejak tahun 1830-1870 yang dimulai sejak kekuasaan Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Era tanam paksa di Jawa sesungguhnya sebuah proses percepatan pemidahan kekuasaan agrarian dari kaum feodal lama (priayi) kepada pemerintahan feodal baru yakni pemerintah Hindia Belanda. Para priayi sendiri dipakai oleh Belanda sebagai tenaga administrative dan “politik” yang kedudukannya dapat diwariskan.
Juga dapat kita dilacak bahwa politik tanam paksa juga dalam beberapa segi meneruskan dan merubah sistem pajak Raffless saja dengan. Hanya saja pajak dihapuskan dengan pemaksaan kerja dan jenis tanaman. Tanaman tersebut adalah kopi, tebu dan nila.
Secara garis besar tanam paksa dijalankan di Jawa dengan cara:
1.Menghidupkan kembali peran-peran Bupati, Wedana dan Bekel (Lurah) di wilayah-wilayah dan memperkuatnya menjadi kekuasaan yang dapat diwariskan.
2.Bahkan, untuk bupati diberi tanah gaji dan juga gaji bulanan. Tanah gaji tersebut dapat diambil alih oleh pemerintah kolonial dengan memberinya kompensasi berupa dua kali gaji dengan kewajiban menyerahkan seluruh wilayah lungguh mereka. Sehingga, para cacah (sikep) yang berada di dalam wilayah tanah lungguh juga dikuasai oleh pemerintah kolonial. Penguasaan terhadap sikep berarti juga penguasaan terhadap numpang dan bujang dalam wilayah lungguh untuk dijadikan tenaga kerja.
3.Domein Theory semasa Raffless bahwa tanah adalah milik negara tetap diteruskan dan direpresentasikan kepada unsur terkecil pemerintahan berupa kepemilikan desa terus dilanjutkan bahkan diperluas cakupannya hingga ke Jawa Pedalaman. Perbedaanya, para kepala desa ini memperoleh tanah gaji dan kedudukan yang dapat diwariskan.
4.Pejabat bupati, wedana dan kepala desa dan yang tetap menginginkan tanah gaji akan diberi setengah dari gaji bulanan saja. Sementara, tanah-tanah gaji yang mereka minta tersebut yang ditentukan sendiri oleh mereka luasan arealnya dan letaknya setelah disetujui oleh pemerintah Belanda. Dan tentusaja mereka memilih tanah-tanah paling subur dan luas.
5.Semua penduduk memperoleh tanah garapan, tak terkecuali para numpang dan bujang. Tanah garapan mereka adalah tanah yang dapat pula diwariskan penggarapannya. Tanah tersebut semula berasal dari tanah para sikep yang diambil alih oleh pemerintah desa dan dibagikan kepada para numpang atau bujang atau mewajibkan penduduk bujang dan numpang membuka areal baru di desa setempat.
6.Karena semua penduduk telah mempunyai tanah, maka mereka mempunyai kewajiban membayar pajak dan kerja bhakti seperti di era kerajaan. Namun pajak tersebut diubah dengan kewajiban menanam tanaman ekspor yang luasnya paling sedikit 1/5 kemudian dinaikkan menjadi 1/3 dari total tanah pertanian desa yang kerap disebut sebagai tanah persekutuan/tanah kongsen atau tanah lanyah. Penghitungan jumlah pajak tanah suatu desa ditentukan dengan harga komoditas yang diwajibkan ditanam tersebut oleh pemerintah. Harga pajak ini adalah cara untuk meningkatkan produktifitas tanah wilayah tanam paksa tersebut. Tak jarang lebih dari separuh tanah pertanian desa akhirnya digunakan sebagai tanah kongsen penghitungan pajak ini.
7.Para petani ini mengerjakan wilayah desa yang ditentukan sebagai wilayah untuk tanam paksa (tanah lanyah/tanah kongsen) ini dengan kerjawajib bergilir dan bersama-sama. Selain itu, penduduk desa juga tetap diwajibkan mengerjakan tanah-tanah gaji para priayi bupati dan pejabat wedana atau kepala desa dengan imbalan makan, dan kewajiban kerja bhakti membangun gedung, jalan, rel kereta, irigasi dan menjaganya secara bergiliran tanpa digaji. Kesemuanya menjadi tanggung jawab lurah untuk mengkoordinirnya.
8.Untuk mendorong keberhasilan sistem ini di tiap wilayah desa, kepala desa juga mendapatkan komisi atau persentase dari hasil cultuurstelsel (tanam paksa) ini.
9.Sistem ini tidak diberlakukan pada desa-desa perdikan (desa bebas pajak) karena kewajiban khusus dari kekuasaan feodal seperti mengurus makam dan memelihara pesantren.
Keuntungan Sistem Tanam Paksa Bagi Belanda
Bagi Belanda sistem tanam paksa sangat menguntungkan. Bahkan, keuntungan dari tanam paksa telah mampu mentransformasi negara Belanda menjadi negara industri dan perdagangan yang kokoh dan kuat. Modal tersebut didapat dari keuntungan tanam paksa (batig slot) di Jawa.
Tanam paksa telah membuat barang-barang hasil ekspor pertanian dan perkebunan Jawa menjadi kompetitif dengan barang-barang serupa dari Amerika Latin dan Hindia Barat yang didapatkan melalui sistem perbudakan modern.
Untuk pemerintah colonial, sistem tanam paksa telah membawa keuntungan berupa: 11, 3 juta gulden pada tahun 1830. Kemudian keuntungan tersebut meningkat 66, 1 juta gulden pada 1831.
Menurut Burger, sejak 1832-1867 total saldo keuntungan (batig slot) yang diambil dari Jawa sejak 823 juta gulden. Dengan modal sedemikian, Belanda mempunyai cukup modal untuk membayar lunas semua hutang VOC dan merombak perekonomian nasional mereka untuk menyalurkan kredit dalam rangka menumbuhkan pengusaha swasta nasional mereka. Bahkan, pada tahun 1851-1860 Hindia Belanda menyumbang 30 persen dari total pendapatan negeri Belanda (Simarmata:2002).
Akibat Tanam Paksa Pada Masyarakat Jawa
Bagi masyarakat Jawa keuntungan besar yang dinikmati oleh Belanda adalah malapetaka besar. Bahkan, sistem tanam paksa tetap meninggalkan bekas-bekasnya sosial yang mendalam hingga saat ini.
Kemiskinan yang mendalam dan akut dialami oleh rakyat Jawa. Di Semarang, Cirebon dan Demak dilaporkan sepanjang 1849-1850 terjadi bencana kelaparan hebat yang telah mengakibatkan 200.000 korban meninggal atau terpaksa pindah ketempat lain.
Namun, beberapa akibat sosial tanam paksa tersebut adalah yang bisa kita periksa adalah:
1.Pengambil alihan tanah sikep menjadi milik desa dan membagikan tanah-tanah sikep kepada para numpang dan bujang tersebut telah melahirkan petani rumah tangga dengan kepemilikan tanah pertanian yang kecil. Para petani kecil ini masih dibebani dengan kerja tambahan tersebut sehingga tidak dapat mengembangkan diri meski mempunyai tanah garapan yang dapat mereka wariskan kepada keturunan mereka.
2.Kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban penanaman tersebut telah mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan petani untuk menurunkan beban kerja keluarga.
3.Sementara itu, secara politik sistem ini juga telah menghidupkan pemerintahan Desa menjadi struktur pemerintahan efektif mengontrol administrasi kewilayahan dan penduduk. Sistem ini juga menjadikan kepemimpinan di wilayah Jawa menjadi sangat otoriter.
4.Masyarakat petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk bertahan hidup dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak mereka. Lahan pekarangan secara teori memang tidak dihitung pajaknya.
5.Sistem tanam paksa telah menutup peranan ekonomi kalangan swasta untuk tumbuh dan berperan baik dari kalangan priayi, tionghoa, arab maupun golongan pengusaha Belanda sendiri.
6.Tanam paksa juga telah melahirkan pengistilahan baru dalam lapisan-lapisan di masyarakat petani. Istilah-istilah kuli kenceng (kewajiban penuh kerja bakti), kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawa penuh) telah menggantikan istilah sikep dan numpang. Sebab, semua pemilik tanah wajib menjalankan kerja bakti di tanah-tanah cultuurstelsel.
Penutup
Dari sistem wajib setor VOC hingga era tanam paksa, kita memperoleh gambaran beberapa jenis penguasaan tanah di Jawa hingga era tanam paksa: pertama, tanah negara yang dahulunya telah dilelang kepada perorangan untuk dikuasai particuliere landerijen (tanah partikelir) yang didalamnya berarti juga turut menguasai penduduknya. Didalamnya juga diwajibkan tanam paksa bagi petani dan pajak-pajak kepada pedagang oleh pemilik tanah. kedua, tanah yang dikuasai dan digarap oleh penduduk dengan luas kepemilikan yang kecil sekedar untuk menjadikan mereka wajib mengikuti kerja tanam paksa karena menggarap tanah. Tanah kongsen tanah dimana seluruh penduduk desa wajib bekerja mulai dari menanam dan memelihara tanaman tersebut secara Cuma-Cuma dan pemerintah desa mengontrol ketat setiap penduduk untuk menjalankan kerja tanam paksa secara bergiliran. ketiga, tanah gaji para elit desa, wedana hingga bupati yang juga dikerjakan oleh penduduk.
Jakarta, 29 November 2007
Iwan Nurdin
No comments:
Post a Comment