Oleh Iwan Nurdin
A.Pendahuluan
Tulisan ini adalah rencana dari seri penulisan yang mencoba mengetengahkan pandangan-pandangan penulis tentang pokok-pokok penguasaan tanah di Jawa yang dan perubahan-perubahan sosial utama yang mengikutinya dibelakang.
Tentusaja, sebagai sebuah proyek penulisan dari penulis yang mengisahkan tentang keutamaan atau pokok-pokok semata, pikiran-pikiran yang terkandung didalamnya tidak mengetengahkan sebuah hal-hal yang khusus terjadi apalagi sebuah pengistilahan khusus yang kerapkali terjadi di pedesaan Jawa yang sebenarnya sangat beragam. Namun, keberagaman tersebut ternyata menghadirkan kembali pola-pola umum yang terjadi.
Seri tulisan ini bersifat mengurai semata berdasarkan kurunwaktu. Kemudian, dalam seri tulisan selanjutnya penulis akan mencoba menghadirkan kepada pengasuh bagaimana cikal bakal kehadiran kelas petani gurem dan kaum buruh di pedesaan Jawa hingga mengupasnya kedalam perjuangan reforma agraria.
B.Pokok Penguasaan Tanah Masa Pra-Kolonial
Sejarawan Onghokham (1984) menjelaskan bahwa dalam konsepsi kerajaan Mataram Islam atau sebelumnya, penduduk dibedakan dalam struktur: Raja sebagai pusat kekuasaan dan kalangan Abdi Dalem. Di kalangan abdi dale mini terdapat kelas elit yang berstatus priyayi/adik raja. Bagi Raja inilah sesungguhnya warga negaranya (kawula). Sementara, diluar kalangan tersebut terdapat kalangan wong cilik.
Para priyayi dan elit kerajaan ini dibagi ke dalam wilayah-wilayah penguasaan tanah. Mereka diberi hak oleh raja untuk menguasai namun tidak memiliki. Sebab, Raja adalah pemilik semua tanah. Wilayah penguasaan mereka dibagi tidak didasarkan luas kewilayahan, namun dihitung berdasarkan jumlah cacah. Misalnya seorang pejabat kerajaan atau pangeran menerima tanah seluas 800 cacah (keluarga petani sikep).
Dari para cacahnya inilah, para elit kerajaan ini mendapatkan lungguh (apanage) yang merupakan tanah gaji. Tanah lungguh ini akan kembali kepada raja jika para priayi dan abdi dalem ini ini dipecat. Jika priayi tersebut meninggal dunia, tergantung kepada raja apakah ahli warisnya kelak dapat melanjutkan lungguh ini atau tidak.
Para cacah ini, adalah kaum tani yang sangat tergantung kepada tanah dalam proses produksinya. Kaum tani ini terbagi-bagi dalam golongan atau kelas yang didasarkan pada tatacara mereka menguasai tanah. Petani yang menguasai tanah disebut Sikep, mereka inilah yang memeluk dan menanggung beban tanah kepada para priayi. Para petani sikep ini mempunyai numpang (tanggungan) dan bujang (belum menikah) yang merupakan lapisan social terendah.
Sikep memperoleh tanah langsung dari raja atau melalui priayi. Para sikep ini yang mempunyai kewajiban pajak dan kerja bakti kepada para priayi (cacah). Jika Negara membutuhkan pajak baru dan kewajiban-kewajiban yang lebih luas, maka akan dibentuk Sikep baru dengan cara memecah penguasaan sikep lama (pancasan).
Sementara itu, para numpang juga mempunyai hak mengusahakan tanah-tanah persekutuan (tanah lanyah) secara bergantian dan tidak boleh memilikinya yang diatur oleh kepala desa (bekel). Fungsi utama pembagian secara bergilir ini adalah untuk menjaga para numpang tetap menetap di wilayah tersebut.
Beberapa kesimpulan yang diuraikan oleh Onghokham tersebut adalah: Jika hubungan raja dan priayi adalah hubungan kawula-gusti (patron client). Maka proses ini akan berulang antara hubungan priyayi dan sikep di lapisan dua, dan sikep kepada numpang dilapisan terendah.
Dengan melihat pola-pola umum penguasaan tanah ini, maka dapat disimpulkan bahwa konsep kepemilikan tanah pada masa Mataram Islam dapat diartikan bahwa tanah mutlak dimiliki oleh Raja semata. Bahkan, para elit sendiripun secara samar-samar saja mempunyai hak atas tanah.
C.Penguasaan Tanah Pada Masa Kolonial
Kolonialisme yang panjang di Jawa, dan dimulai dari daerah pesisir Utara menuju kepedalaman Jawa telah membuat struktur penguasaan tanah pada masa sebelum kolonialisme berubah. Rentang waktu kolonialisme di Jawa yang panjang, yang mencakup era merkantilis hingga era industri modern telah membuat penguasaan tanah di Jawa menyesuaikan diri dengan negara induknya (Simarmata: 2002; Rajagugkguk:1995).
Pada masa VOC, agaknya kongsi dagang ini belum terlalu berminat dalam penguasaan-penguasaan langsung tanah dan kekuasaan. VOC lebih berminat mengadakan perjanjian kerjasama dan atau pemaksaan penguasa wilayah di Jawa bekerjasama untuk memastikan kuota (contingenten) hasil-hasil agraris di tiap-tiap wilayah dapat disetor (wajib setor) kepada VOC (Kartodirdjo dan Suryo: 1991).
Bagi kalangan wong cilik, wajib setor ala VOC relatif sama dengan upeti untuk priayi dan raja. Terlebih para pengumpulnya tetaplah sama: kalangan penguasa/priayi lokal. Sampai VOC bangkrut, usaha-usaha semacam ini tetap dipertahankan oleh pemerintah Belanda yang mengambil alih kekuasaan di Jawa.
Dapat disimpulkan bahwa struktur penguasaan agraria pada masa VOC tidak mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan masa pra-kolonial. Meski terdapat kekecualian khususnya di beberapa wilayah taklukan seperti Batavia dan sekitarnya. Beberapa tanah dijual kepada orang-orang Eropa dan China. Tanah tersebut dijual berikut orang-orang yang bermukim di wilayah tersebut. Sehingga, para pemilik tanah dapat diperbolehkan mengutip pajak, mewajibkan kerja secara mandiri kepada para penduduk (Tanah Partikelir).
B.1 Pajak Tanah Raffles
Pada tahun 1811, ketika kekuasaan Hindia Belanda secara resmi berada ditangan Inggris dan menunjuk Sir Thomas Stanford Raffles menjadi Gubernur Jenderal. Dikenalkanlah oleh sang gubernur sistem sewa tanah. Sistem ini dijalankan dengan pengertian bahwa semua tanah sebelumnya adalah milik raja (domein theory). Dan, karena raja telah mengakui kedaulatan Inggris di wilayah Jawa maka pemilik tanah adalah pemerintah penjajah. Sehingga, penduduk harus membayar sewa kepada pemerintah penjajah (Rajagukguk:1995).
Tetapi bagaimana cara mengutip sewa? Di beberapa daerah Jawa Barat khususnya Bandung, Karawang dan dimana tidak ada kekuasaan raja yang efektif, Raffles melelang tanah-tanah khususnya di daerah taklukan kepada para pengusaha dengan mendasarkan pada jumlah penduduk, hasil panen kopi dan padi setiap tahunnya. Sistem ini sama dengan penguasaan dimasa sebelumnya yang dikenal dengan tanah partikelir.
Sementara, di daerah-daerah lainnya khususnya di daerah yang dikuasai dengan perjanjian (Mataram) sistem ini dijalankan dengan cara mengurangi peranan penguasa lokal (bupati). Bahkan, jumlah penguasa lokal setingkat bupati dikurangi dengan melakukan penggabungan-penggabungan wilayah (Tjondronegoro dan Wiradi (Peny): 1984).
Pemerintahan di masa Raffles menentukan secara langsung tarif sewa tanah kepada para penggarap sekaligus memerintahkan kepala desa mengumpulkan uang sewa. Pada mulanya, tarif sewa tersebut 2/5 hasil padi. Namun pada perkembangannya sewa tersebut meningkat pada tanah-tanah subur sewa tanah mencapai ½ dan pada tanah kualitas menengah 1/3 dari hasil panen setahun. Hanya tanah-tanah kurang subur harga sewa 2/5 masih dipertahankan.
Bagi pemerintah kolonial sendiri, cara yang digunakan Raffles dianggap kurang berhasil dalam menghasilkan uang. Beberapa hal tersebut disebabkan oleh lemahnya administrasi, jumlah pegawai pemerintah yang mengontrol sangat sedikit, secara operasional sistem ini juga mahal dijalankan sementara rakyat masih dibebaskan menggarap tanah dengan jenis tanaman apa saja.
Beberapa kesimpulan pola penguasaan tanah dan bagaimana sistem utama yang dijalankan pada masa Raffles adalah: pertama, Raffles mencoba menghilangkan peranan golongan feodal lama dalam mengutip pajak dari petani dengan cara mengganti penguasaan tanah melalui tangan kekuasaan pemerintah jajahan yang masih tetap berciri feodal. Kedua, Tanah adalah milik pemerintah. Maka, karena pemerintahan terkecil adalah desa maka semua tanah tersebut adalah milik desa. Sehingga pemerintah desalah yang mempunyai kewajiban membayar pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah besarannya. Untuk itu, pemerintah desa diwajibkan mengutip pajak itu dari penduduk. Ketiga, Dalam wilayah dimana kekuasaan lokal sudah tidak efektif akibat penguasaan langsung pemerintah Raffles dapat langsung mengundang pemodal untuk mengikuti lelang sehingga sang pemenang dapat langsung menguasai tanah, penduduk, dan hasil panen.
B.2 Pola Penguasaan Tanah Era Tanam Paksa
Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles sejak 1811-1816 telah membawa beberapa persoalan terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga membawa segi perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.
Namun kalangan sarjana juga mengidentifikasi bahwa meletusnya perang ini juga diakibatkan oleh keresahan para priayi yang sebelumnya mendapatkan keuntungan dari sistem Raffles, khususnya para priayi Surakarta yang telah mengikuti lelang penguasaan tanah sistem Raffles, namun dinyatakan tidak lagi berlaku oleh Belanda (Rajagukguk: 1994).
Perang ini telah membawa kerugian besar bagi Belanda yang pada saat itu belum pulih dari kerugian selama Perang Eropa. Namun, menurut Onghokham (Tjondronegoro dan Wiradi (peny): 1984), Perang Diponegoro yang berlangsung sejak 1825-1830 juga telah memberi sumbangan penting bagi Pemerintah Belanda dalam memahami seluk beluk penguasaan tanah di Jawa pedalaman. Sebab, dukungan dan sekaligus perlawanan para priayi terhadap pihak kolonial telah membuka pemahaman mereka bahwa sandaran kekuasaan Belanda di Jawa hanya dapat bertahan jika para priyayi berkolaborasi dengan mereka. Kolaborasi ini juga akan membawa stabilitas Jawa untuk dapat lebih memberi keuntungan pada penguasa kolonial.
Pelaksanaan politik tanam paksa dijalankan sejak tahun 1830-1870 yang dimulai sejak kekuasaan Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Era tanam paksa di Jawa sesungguhnya sebuah proses percepatan pemindahan beberapa segi kekuasaan agraria dari kaum feodal lama (priayi) kepada pemerintahan feodal baru yakni pemerintah Hindia Belanda khususnya dalam hal penguasaan para sikep numpang dan bujang di desa. Sementara, para priayi sendiri dipakai oleh Belanda sebagai tenaga administrative dan “politik” yang kedudukannya dapat diwariskan.
Dengan memperkuat peran-peran Bupati, Wedana dan Bekel (Lurah) di wilayah-wilayah maka Belanda mendapatkan dukungan penuh dari kekuasaan feodal. Bahkan, untuk semakin mendapatkan dukungan Belanda menjadikan kekuasaan tersebut sebagai sesuatu yang dapat diwariskan berikut fasilitas berupa gaji bulanan dan tanah gaji (Tjondronegoro dan Wiradi (peny): 1984).
Tanah gaji tersebut dapat diambil alih oleh pemerintah kolonial dengan memberinya kompensasi berupa dua kali gaji. Pejabat bupati, wedana dan kepala desa dan yang tetap menginginkan tanah gaji akan diberi setengah dari gaji bulanan saja. Sementara, tanah-tanah gaji yang mereka minta tersebut yang ditentukan sendiri oleh mereka luasan arealnya dan letaknya setelah disetujui oleh pemerintah Belanda. Dan tentusaja mereka memilih tanah-tanah paling subur dan luas.
Semua penduduk desa memperoleh tanah garapan, tak terkecuali para numpang dan bujang. Tanah garapan mereka adalah tanah yang dapat pula diwariskan penggarapannya. Tanah tersebut berasal dari tanah para sikep yang diambil alih oleh pemerintah desa dan dibagikan kepada para numpang atau bujang atau mewajibkan penduduk bujang dan numpang membuka areal baru di desa setempat.
Karena semua penduduk telah mempunyai tanah, maka mereka mempunyai kewajiban membayar pajak dan kerja bhakti seperti di era kerajaan. Namun pajak tersebut diubah dengan kewajiban menanam tanaman ekspor yang luasnya paling sedikit 1/5 kemudian dinaikkan menjadi 1/3 dari total tanah pertanian desa yang kerap disebut sebagai tanah persekutuan/tanah kongsen atau tanah lanyah (Rajagukguk:1995). Penghitungan jumlah pajak tanah suatu desa ditentukan dengan harga komoditas yang diwajibkan ditanam tersebut oleh pemerintah. Harga pajak ini adalah cara untuk meningkatkan produktifitas tanah wilayah tanam paksa tersebut (Simarmata:2002). Tak jarang lebih dari separuh tanah pertanian desa akhirnya digunakan sebagai tanah kongsen penghitungan pajak ini.
Para petani ini mengerjakan wilayah desa yang ditentukan sebagai wilayah untuk tanam paksa (tanah lanyah/tanah kongsen) ini dengan kerja wajib bergilir dan bersama-sama. Selain itu, penduduk desa juga tetap diwajibkan mengerjakan tanah-tanah gaji para priayi bupati dan pejabat wedana atau kepala desa dengan imbalan makan, dan kewajiban kerja bhakti membangun gedung, jalan, rel kereta, irigasi dan menjaganya secara bergiliran tanpa digaji. Kesemuanya menjadi tanggung jawab lurah untuk mengkoordinirnya (Prisma:1991).
Untuk mendorong keberhasilan sistem ini di tiap wilayah desa, kepala desa juga mendapatkan komisi atau persentase dari hasil cultuurstelsel (tanam paksa) ini. Sistem ini tidak diberlakukan pada desa-desa perdikan (desa bebas pajak) karena kewajiban khusus dari kekuasaan feodal seperti mengurus makam dan memelihara pesantren (Tjondronegoro dan Wiradi (peny):1984).
Bagi Belanda sistem tanam paksa sangat menguntungkan. Bahkan, keuntungan dari tanam paksa telah mampu mentransformasi negara Belanda menjadi negara industri dan perdagangan yang kokoh dan kuat. Modal tersebut didapat dari keuntungan tanam paksa (batig slot) di Jawa (Simarmata:2002).
Tanam paksa telah membuat barang-barang hasil ekspor pertanian dan perkebunan Jawa menjadi kompetitif dengan barang-barang serupa dari Amerika Latin dan Hindia Barat yang didapatkan melalui sistem perbudakan modern (Rajagukguk:1995). Bahkan, sejak 1832-1867 total saldo keuntungan yang diambil dari Jawa sebebesar 823 juta gulden. (Simarmata:2002).
Beberapa perubahan sosial yang terjadi akibat sistem tanam paksa yang ditemukan oleh Onghokham (Tjondronegoro dan Wiradi (peny):1984) Edi Cahyono (1991) dan Rajagukguk (1995) adalah: Pertama, pengambil alihan tanah penduduk menjadi kepemilikan desa telah melahirkan petani rumah tangga dengan kepemilikan tanah pertanian yang kecil. Para petani kecil ini masih dibebani dengan kerja tambahan tersebut sehingga tidak dapat mengembangkan diri meski mempunyai tanah garapan yang dapat mereka wariskan kepada keturunan mereka. Kedua, kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban penanaman tersebut telah mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan petani untuk menurunkan beban kerja keluarga. Ketiga, sementara itu, secara politik sistem ini juga telah menghidupkan pemerintahan Desa menjadi struktur pemerintahan efektif mengontrol administrasi kewilayahan dan penduduk. Sistem ini juga menjadikan kepemimpinan di wilayah Jawa menjadi sangat otoriter. Keempat, Masyarakat petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk bertahan hidup dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak mereka. Lahan pekarangan secara teori memang tidak dihitung pajaknya. Kelima, Sistem tanam paksa telah menutup peranan ekonomi kalangan swasta untuk tumbuh dan berperan baik dari kalangan priayi, tionghoa, arab maupun golongan pengusaha Belanda sendiri. Keenam, Tanam paksa juga telah melahirkan pengistilahan baru dalam lapisan-lapisan di masyarakat petani. Istilah-istilah kuli kenceng (kewajiban penuh kerja bakti), kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawa penuh) telah menggantikan istilah numpang dan sikep. Sebab, semua pemilik tanah wajib menjalankan kerja bakti di tanah-tanah cultuurstelsel. Dengan demikian tanam paksa telah mentransformasi beberapa penduduk menjadi kuli/buruh (Prisma:1991).
Jakarta, 3 Desember 2007
Iwan Nurdin
No comments:
Post a Comment