August 22, 2007
Lahan Abadi Pertanian Pangan; Siapa yang DiLindungi?
Oleh: Iwan Nurdin
Saat ini pemerintah melalui Departemen Pertanian (Deptan) tengah menggodok RUU Pengelolaan Lahan Pertanian abadi. Konsultasi publik di beberapa wilayah sedang dilakukan. Sejalan dengan hal ini, DPR RI juga telah memprioritaskan RUU ini kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Niat mulia pemerintah untuk mencegah konversi lahan pertanian pangan melalui inisiatif RUU ini patut didukung. Sayangnya, pemerintah agaknya melupakan hal pokok: bahwa melindungi lahan pertanian pangan haruslah seiring dengan melindungi orang-orang yang selama ini memproduktifkan tanah yaitu petani.
Dalam RUU ini pemerintah berangkat pada pemahaman bahwa konversi tanah pertanian telah mencapai tahap yang mengkhawatirkan bahkan telah mencapai 150.000 ha/tahun (Soehartanto: 2005). Konversi ini utamanya disebabkan oleh sistem ekonomi nasional kita yang mendudukan posisi ekonomi pertanian pangan kita yang tidak menguntungkan jika dibandingkan sektor ekonomi lainnya seperti perdagangan, industri dan perumahan.
Dengan titik tolak pandangan seperti ini tentusaja sangat penting dan logis untuk segera melindungi lahan-lahan pertanian pangan kita melalui penetapan kawasan lahan pertanian pangan abadi yang dilarang untuk dikonversi. Penetapan areal lahan abadi pertanian pangan ini akan disesuaikan pada rencana tata ruang wilayah di tingkat provinsi dan kabupaten. Sementara, bagi para pemilik lahan ini akan diberikan berbagai kemudahan intensif fiskal berupa penghapusan pajak, sertifikasi gratis, dan serangkaian insentif lainnya (Pasal 15).
Disinilah letak kealpaan pemerintah bahwa pemilik lahan pertanian pangan mayoritas adalah para petani gurem. Bukankah dengan intensif semacam ini pemerintah justru melupakan pokok persoalan konversi lahan selama ini adalah sempitnya tanah pertanian yang dimiliki oleh petani dan lemahnya posisi mereka ketika berhadapan dengan sistem pasar pertanian kita yang liberal.
Sehingga, intensif semacam ini tidak akan banyak berbuah manis. Bahkan, melalui RUU ini secara sadar pemerintah tengah mendesain komoditisasi tanah pertanian dan menciptakan regulasi yang mendorong kemudahan investor korporasi pertanian pangan dengan diberi jaminan dan kepastian hukum tentang areal abadi pertanian pangan, dan berbagai insentif fiskal yang menguntungkan investor.
Jika demikian, draft UU ini sesungguhnya menggunakan dalih melindungi lahan pertanian pangan abadi untuk sehingga semakin mudah dilirik investor dan membuka jalan bagi kehadiran korporasi pertanian kedalam sistem pertanian pangan kita. Sementara, pemilik lahan gurem didorong menjadi buruh tani.
Bagaimana Seharusnya?
Seharusnya, penetapan lahan abadi pertanian dilakukan oleh pemerintah selaras dengan dijalankannya program pembaruan agraria. Sehingga, membuka jalan bagi para petani gurem dan buruh tani memperoleh lahan pertanian dengan luasan lahan yang secara ekonomis dapat menguntungkan.
Sementara, untuk meningkatkan produksi pangan yang berkualitas dan meningkatkan kapasitas petani dalam sistem pasar, desain yang diarahkan oleh pemerintah dalam RUU adalah membangun badan usaha bersama milik petani dan badan usaha bersama milik desa yang diwadahi dalam bentuk ekonomi koperasi.
Selanjutnya, larangan konversi lahan pertanian abadi dalam RUU ini mestilah disesuaikan dengan larangan peralihan lahan dari petani kepada non petani seperti perusahaan pertanian pangan kecuali kepada badan usaha koperasi yang benar-benar dimiliki oleh petani dan desa.
Mengacu pada upaya-upaya tersebut, RUU ini mestilah mengaitkan diri dengan semangat yang ada dalam UUPA 1960, UU Penetepan Batas Minimum dan Maksimum Luas Tanah Pertanian yang disesuaikan dengan keadaan sekarang, dan tentu saja UU Pokok Bagi Hasil.
Dengan bersandar pada UU ini, maka muatan dalam RUU ini adalah: pengalokasian tanah pertanian pangan yang benar-benar diperuntukkan bagi petani; menghapus dan mencegah tumbuhnya petani dan perusahaan yang memiliki lahan sangat luas; penetapan lahan pertanian pangan abadi; perlindungan lahan pertanian pangan dari konversi, desain usaha ekonomi pertanian yang kuat untuk mencegah konversi melalui badan usaha bersama milik petani; desain dan dukungan langsung bagi tumbuhnya indutralisasi pertanian berkelanjutan yang dimiliki petani sejak dari benih hingga pemasaran; desain dan dukungan langsung untuk menumbuhkan modal di pedesaan melalui badan usaha bersama milik desa yang akan menjadi dasar bagi cetak biru hubungan pertanian dan industri yang saling menguatkan dan hubungan desa kota yang setara.
Jika rumusannya demikian, RUU ini bukanlah larangan konversi yang ujungnya adalah alat mempidana baru para petani kita yang hidupnya sudah terjepit, apalagi menjadi alat legal yang “memaksa” para petani segera menjual tanah sempitnya karena dipandang oleh pemerintah tidak mampu mencegah lahan tersebut tidak dikonversi.
Jakarta, 18 Juli 2007
Iwan Nurdin