Oleh: Iwan Nurdin
Lahirnya gerakan sosial dan gerakan politik yang menuntut keadilan agraria melalui pembaruan agraria tidak dapat dipisahkan dengan berlakunya rezim politik agraria yang berlaku di tanah air sejak era kolonialisme hingga sekarang ini.
Pembedaanya, pada masa lalu, gerakan-gerakan yang menuntut keadilan agraria ini sangat kental hubungan langsungnya dengan gerakan politik. Bahkan, gerakan langsung mengasosiasikan diri dalam wadah-wadah partai politik yang ada. Pembedaan lainnya, gerakan pada masa kolonialisme diarahkan langsung pada tuntutan politik tertinggi: kemerdekaan nasional.
Pada masa setelah kemerdekaan, khususnya dimasa kekuasaan Soekarno, ciri-ciri ini tetap dipertahankan. Pola gerakan semacam ini telah mengakibatkan gerakan yang menuntut pembaruan agraria khususnya gerakan landreform dengan mudah diberi stigma PKI/komunisme setelah kekuasaan Orde Baru naik.
Gerakan pembaruan agraria mulai bangkit kembali secara perlahan pada masa Orde Baru di tengah kondisi masyarakat yang dididik oleh pemerintah untuk menjauhi aktifitas yang berbau politik dan ideologi (depolitisasi dan deideologisasi). Sehingga, salah satu ciri gerakan pembaruan agraria di masa orde baru dan dalam beberapa hal bertahan hingga sekarang ini adalah sebuah organisasi gerakan sosial dalam berbagai bentuk atau formasi organisasinya, meski sangat bertendensi politik dalam isu-isu perjuangan yang tengah dibangun.
Pada awalnya, wilayah-wilayah gerakan sosial RA ini tumbuh dan ditentukan oleh kreatifitas langsung dari para aktivis gerakan –biasanya kaum terpelajar dan atau kelas menengah perkotaan-- serta pimpinan organisasi gerakan setempat untuk menumbuhkan sebuah solidaritas sosial yang baru.
Karena depolitisasi ini, para pelaku dan organisasi RA selalu menghindar pola-pola penyelesaian melalui politik yang artifisial dengan kekuasaan, semisal membuat organisasi politik. Sebab, di kalangan rakyat sendiri, pada masa itu menilai bahwa penyelesaian konflik agraria lewat jalur-jalur organisasi politik model begini dipandang sebagai sesuatu yang menakutkan.
Para aktivis gerakan agraria, mendorong tumbuhnya solidaritas dikalangan tani pada masa Orde Baru melalui sesuatu yang ada dan langsung dialami di dalam penderitaan kaum petani, semisal konflik agraria. Sehingga, dari solidaritas bersama ini tumbuhlah identitas gerakan pembaruan agraria dengan menjadikannya sebagai sebuah serikat/organisasi petani.
Dari proses ini, dapat diketahui bahwa pertumbuhan terpenting dan sangat awal dari gerakan pembaruan agraria pada masa Orde Baru adalah kemampuan para aktivis gerakan memetamorfosakan ketidakpuasan masyarakat menjadi sebuah ikatan solidaritas.
Ikatan ini dibangun dari proses interaksi bersama-sama para aktivis dengan rakyat yang dengan segala kreatifitasnya memanggil penderitaan yang tengah dialami oleh rakyat kedalam sebuah ”konfrontasi” terhadap politik agraria yang tengah berlaku sehingga menimbulkan sebuah perasaan dan ikatan bersama.
Jadi: ciri lanjutan dari gerakan pembaruan agraria pada tahap ini adalah gerakan advokasi penyelesaian beragam kasus/sengketa agraria.
Membaca dari kejadian ini, dapat disimpulkan bahwa Gerakan Pembaruan Agraria (GPA) adalah sebuah langkah kolektif dari sekumpulan orang-orang yang memiliki penderitaan yang sama dalam satu rezim penguasaan tanah yang mengeksploitasi mereka.
Gerakan ini tumbuh dan hidup dalam berbagai gerakan tani, masyarakat adat di tingkat lokal. Mereka, juga telah turut mendorong lahirnya gerakan tani di tingkat nasional sebagai sebagai sebuah bentuk representasi gerakan.
Selama ini, gerakan pembaruan agraria khususnya gerakan tani di tingkat nasional adalah terusan perjuangan yang kerapkali berfungsi sebagai pengeras suara dari berbagai rangkaian persoalan yang dialami oleh masyarakat agraria di tingkat lokal. Selain itu, GPA di level nasional juga memainkan peran advokasi kebijakan yang bertujuan supaya kebijakan politik di tingkat nasional memberi ruang lebih besar dan luas bagi tumbuhnya gerakan-gerakan pembaruan agraria di lokal.
Namun, ciri terpenting dari gerakan pembaruan agraria di nasional adalah membenarkan apa-apa yang tengah dilakukan dan terjadi di tingkat lokal (reklaiming, okupasi, pendidikan dan pengorganisasian) dengan cara melakukan advokasi ke dalam tubuh-tubuh kekuasaan negara (Pemerintah, DPR, Komnas HAM). Upaya ini bertujuan agar serikat-serikat di tingkat lokal itu bisa tetap eksis, membesar atau bermertamorfosa.
Sementara itu, proses di tingkat lokal juga mengalami perkembangan penting, sebab banyak wilayah-wilayah gerakan yang telah melakukan okupasi tanah berhasil melakukan transformasi sosial didalamnya dengan cara merubah cara-cara berproduksi mereka. Semisal sekelompok buruh kebun disekitar perkebunan telah berubah menjadi menjadi petani skala rumah tangga. Pada wilayah-wilayah hutan produksi misalnya, banyak kelompok tani telah berhasil merubah corak bertanam monokultur milik perusahaan kehutanan menjadi sistem wanatani yang mandiri. Dengan cara pandang yang lain, sebenarnya telah terjadi kantung-kantung revolusi agraria di lokal-lokal Indonesia meski skalanya masih pada level kampung.
Pada organisasi tani yang lain, untuk menjaga eksistensi dari kantung lokal pembaruan agraria tersebut, mereka memanfaatkan ruang-ruang politik yang tengah dibuka oleh negara dengan memanfaatkan seperti ruang politik seperti pemilihan Kepala Desa, BPD bahkan Parlemen Lokal dan beberapa bahkan memainkan peran penting dalam pemilihan kepala daerah dan DPD.
Lahirnya gerakan sosial dan gerakan politik yang menuntut keadilan agraria melalui pembaruan agraria tidak dapat dipisahkan dengan berlakunya rezim politik agraria yang berlaku di tanah air sejak era kolonialisme hingga sekarang ini.
Pembedaanya, pada masa lalu, gerakan-gerakan yang menuntut keadilan agraria ini sangat kental hubungan langsungnya dengan gerakan politik. Bahkan, gerakan langsung mengasosiasikan diri dalam wadah-wadah partai politik yang ada. Pembedaan lainnya, gerakan pada masa kolonialisme diarahkan langsung pada tuntutan politik tertinggi: kemerdekaan nasional.
Pada masa setelah kemerdekaan, khususnya dimasa kekuasaan Soekarno, ciri-ciri ini tetap dipertahankan. Pola gerakan semacam ini telah mengakibatkan gerakan yang menuntut pembaruan agraria khususnya gerakan landreform dengan mudah diberi stigma PKI/komunisme setelah kekuasaan Orde Baru naik.
Gerakan pembaruan agraria mulai bangkit kembali secara perlahan pada masa Orde Baru di tengah kondisi masyarakat yang dididik oleh pemerintah untuk menjauhi aktifitas yang berbau politik dan ideologi (depolitisasi dan deideologisasi). Sehingga, salah satu ciri gerakan pembaruan agraria di masa orde baru dan dalam beberapa hal bertahan hingga sekarang ini adalah sebuah organisasi gerakan sosial dalam berbagai bentuk atau formasi organisasinya, meski sangat bertendensi politik dalam isu-isu perjuangan yang tengah dibangun.
Pada awalnya, wilayah-wilayah gerakan sosial RA ini tumbuh dan ditentukan oleh kreatifitas langsung dari para aktivis gerakan –biasanya kaum terpelajar dan atau kelas menengah perkotaan-- serta pimpinan organisasi gerakan setempat untuk menumbuhkan sebuah solidaritas sosial yang baru.
Karena depolitisasi ini, para pelaku dan organisasi RA selalu menghindar pola-pola penyelesaian melalui politik yang artifisial dengan kekuasaan, semisal membuat organisasi politik. Sebab, di kalangan rakyat sendiri, pada masa itu menilai bahwa penyelesaian konflik agraria lewat jalur-jalur organisasi politik model begini dipandang sebagai sesuatu yang menakutkan.
Para aktivis gerakan agraria, mendorong tumbuhnya solidaritas dikalangan tani pada masa Orde Baru melalui sesuatu yang ada dan langsung dialami di dalam penderitaan kaum petani, semisal konflik agraria. Sehingga, dari solidaritas bersama ini tumbuhlah identitas gerakan pembaruan agraria dengan menjadikannya sebagai sebuah serikat/organisasi petani.
Dari proses ini, dapat diketahui bahwa pertumbuhan terpenting dan sangat awal dari gerakan pembaruan agraria pada masa Orde Baru adalah kemampuan para aktivis gerakan memetamorfosakan ketidakpuasan masyarakat menjadi sebuah ikatan solidaritas.
Ikatan ini dibangun dari proses interaksi bersama-sama para aktivis dengan rakyat yang dengan segala kreatifitasnya memanggil penderitaan yang tengah dialami oleh rakyat kedalam sebuah ”konfrontasi” terhadap politik agraria yang tengah berlaku sehingga menimbulkan sebuah perasaan dan ikatan bersama.
Jadi: ciri lanjutan dari gerakan pembaruan agraria pada tahap ini adalah gerakan advokasi penyelesaian beragam kasus/sengketa agraria.
Membaca dari kejadian ini, dapat disimpulkan bahwa Gerakan Pembaruan Agraria (GPA) adalah sebuah langkah kolektif dari sekumpulan orang-orang yang memiliki penderitaan yang sama dalam satu rezim penguasaan tanah yang mengeksploitasi mereka.
Gerakan ini tumbuh dan hidup dalam berbagai gerakan tani, masyarakat adat di tingkat lokal. Mereka, juga telah turut mendorong lahirnya gerakan tani di tingkat nasional sebagai sebagai sebuah bentuk representasi gerakan.
Selama ini, gerakan pembaruan agraria khususnya gerakan tani di tingkat nasional adalah terusan perjuangan yang kerapkali berfungsi sebagai pengeras suara dari berbagai rangkaian persoalan yang dialami oleh masyarakat agraria di tingkat lokal. Selain itu, GPA di level nasional juga memainkan peran advokasi kebijakan yang bertujuan supaya kebijakan politik di tingkat nasional memberi ruang lebih besar dan luas bagi tumbuhnya gerakan-gerakan pembaruan agraria di lokal.
Namun, ciri terpenting dari gerakan pembaruan agraria di nasional adalah membenarkan apa-apa yang tengah dilakukan dan terjadi di tingkat lokal (reklaiming, okupasi, pendidikan dan pengorganisasian) dengan cara melakukan advokasi ke dalam tubuh-tubuh kekuasaan negara (Pemerintah, DPR, Komnas HAM). Upaya ini bertujuan agar serikat-serikat di tingkat lokal itu bisa tetap eksis, membesar atau bermertamorfosa.
Sementara itu, proses di tingkat lokal juga mengalami perkembangan penting, sebab banyak wilayah-wilayah gerakan yang telah melakukan okupasi tanah berhasil melakukan transformasi sosial didalamnya dengan cara merubah cara-cara berproduksi mereka. Semisal sekelompok buruh kebun disekitar perkebunan telah berubah menjadi menjadi petani skala rumah tangga. Pada wilayah-wilayah hutan produksi misalnya, banyak kelompok tani telah berhasil merubah corak bertanam monokultur milik perusahaan kehutanan menjadi sistem wanatani yang mandiri. Dengan cara pandang yang lain, sebenarnya telah terjadi kantung-kantung revolusi agraria di lokal-lokal Indonesia meski skalanya masih pada level kampung.
Pada organisasi tani yang lain, untuk menjaga eksistensi dari kantung lokal pembaruan agraria tersebut, mereka memanfaatkan ruang-ruang politik yang tengah dibuka oleh negara dengan memanfaatkan seperti ruang politik seperti pemilihan Kepala Desa, BPD bahkan Parlemen Lokal dan beberapa bahkan memainkan peran penting dalam pemilihan kepala daerah dan DPD.
Beragamnya perkembangan organisasi perjuangan pembaruan agraria di Indonesia ini menuntut para pelaku gerakan untuk terus membuka ruang politik pembaruan agraria agar menjadi lebih luas, memainkan ruang dialog yang lebih luas antar gerakan pembaruan agraria di wilayah dan nasional ini betujuan untuk saling membagikan pengalaman yang ada. Dan, yang terpenting adalah melakukan transformasi agraria secara sistematis pada wilayah-wilayah pendudukan gerakan pembaruan agraria untuk dijadikan basis ikatan solidaritas yang baru dalam gerakan pembaruan agraria.
Jakarta, 29 Mei 2007
Iwan Nurdin