Agenda Wajib Untuk Anggota Baru Komnas HAM
Oleh: Iwan Nurdin
Bulan Mei bagi kita selalu mengenangkan pada kejadian-kejadian besar khususnya Hari Kebangkitan Nasional dan Hari Lahirnya Reformasi/Kejatuhan Orde Baru. Di bulan ini pula, kita kembali tersadar bahwa balutan luka dalam tragedi Mei 1998 yang membawa korban luas di Jakarta dan Surakarta belum juga tersembuhkan.
Di bulan ini, Komnas HAM juga tengah menyelesaikan seleksi calon anggota barunya. Selanjutnya, hasil seleksi ini akan diserahkan ke DPR untuk dipilih menjadi komisoner baru. Banyak harapan kembali digantungkan pada komisi negara yang bertugas mengawasi aspek perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia di tanah air kita ini.
Meski beberapa pihak dan kalangan menilai bahwa pamor Komnas HAM saat ini mulai meredup, namun lembaga ini masih tetap menjadi tumpuan utama dalam penegakan hak asasi manusia di negeri kita.
Menurut pribadi penulis, ada beberapa penyebab utama yang membuat pamor Komnas HAM terasa meredup, diantaranya: terombang-ambingnya penyelesaian kasus dan tragedi ham berat seperti Peristiwa 65, Kasus Talangsari Lampung, Penghilangan Paksa, Tragedi Semanggi I dan II, Korban Kerusuhan Mei 98, pembunuhan aktivis Munir dll. Meski lambatnya penanganan kasus-kasus tersebut tidak bisa ditumpukan sepenuhnya kepada kinerja Komnas HAM, namun kelambatan ini telah memberi sumbangan besar bagi keredupan pamor Komnas HAM di mata publik. Inilah pekerjaan rumah terpenting bagi calon anggota komisioner kedepan yang tengah diseleksi. Membuka ruang politik dan hukum lebih luas agar kasus diatas terbuka jalan penyelesaian yang adil bagi para korban.
Meski demikian, ada beberapa agenda strategis lain di depan yang tak kalah penting: memantau penuh perihal penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan kebudayaan (Hak Eksosok) rakyat oleh negara. Sebab, selain Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Ekosok menjadi UU No. 11/2005, pengalaman sejarah pelanggaran ham di bidang sipil politik diseluruh dunia membuktikan bahwa pelanggaran ham sipil politik selalu diawali oleh pelanggaran hak asasi manusia di bidang ekosok oleh negara. Begitu juga sebaliknya, pelanggaran sipil politik selalu mengakibatkan pelanggaran hak ekosok. Keduanya tak bisa dipisahkan.
Agenda Ekosok
Dalam memantau hak ekosok, agenda yang sangat penting dan seringkali dilupakan di negeri kita adalah pembaruan agraria yang diatur pasal 11 ayat (2) kovenan ekosok tersebut. Pembaruan Agraria yang dimaksud dalam kovenan ini adalah pembaruan sistem pertanahan dan pertanian secara sinergis untuk menjamin setiap warga negara terjamin hak hidupnya dalam bidang pangan, gizi yang baik sebagai dasar menuju keadilan sosial.
Sebenarnya, pembaruan agraria telah lama menjadi mandat Tap MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam selain juga amanat dari UUPA 1960. Namun, lemahnya perhatian pemerintah terhadap hal ini telah membuat agenda ini dilupakan pemerintah. Sikap ini telah mengakibatkan meningkatnya konflik agraria, karena politik agrarian pemerintah lebih dominan mengalokasikan sumber-sumber agraria khususnya tanah dan air kepada pemodal ketimbang rakyat.
Tidak mengherankan jika sampai dengan 2005 konflik agraria merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan masyarakat kepada Komnas HAM (Amidhan:2005). Sebagai pembanding, dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria yang bersifat struktural di Indonesia dan belum diselesaikan saat ini telah mencapai 1753 dan terjadi di 2834 desa/kelurahan dengan mempersengketakan tanah seluas 10.892.203 ha dan mengakibatkan 1.189.482 KK menjadi korban.
Bahkan, dari Januari hingga April 2007 ini saja, KPA mencatat telah terjadi 13 kali konflik agraria diseluruh tanah air. Dari sisi korban, satu orang dilaporkan tewas, 143 orang ditangkap dan 39 diantaranya masih ditahan pihak kepolisian. Sementara, dari keseluruhan konflik tersebut juga telah terjadi pengungsian sementara 556 KK atau sedikitnya 1200 jiwa yang sebagian besar mereka adalah perempuan dan anak-anak (Iwan Nurdin: 2007).
Dengan menggunakan perspektif hak asasi manusia dalam melihat data ini, tentu dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran ham yang cukup serius dalam dunia agraria kita dan sebagian besar menimpa para petani, nelayan dan masyarakat adat.
Dorongan Komnas HAM dalam menghentikan konflik agraria sebenarnya pernah dilakukan melalui usulan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria dengan menggunakan prinsip transnational justice pada tahun 2003. Namun, usulan ini telah ditolak oleh pemerintah sekarang pada bulan Oktober 2005. Setelah ditolak, tidak ada upaya lanjutan yang dilakukan oleh Komnas HAM. Padahal, kekerasan terhadap korban konflik agrarian terus berlangsung dengan kualitas dan kuantitas yang semakin tinggi seiring diberlakukannya UU Sumber Daya Air, UU Perkebunan dan terakhir UU Penanaman Modal.
Awal Langkah
Melihat masih banyaknya penduduk yang telah menjadi korban tindak pelanggaran hak asasi manusia baik yang dilakukan oleh aparatus negara, perusahaan, maupun kelompok-kelompok sipil lain. Dapatlah ditarik kesimpulan bahwa ratifikasi dan pengesahan berbagai norma hukum hak asasi manusia tidak berbanding lurus dengan penegakan ham itu sendiri. Berbagai UU ini telah menjadi macan kertas, sebab berbagai peraturan turunan untuk mengimplementasikannya tak kunjung dilahirkan pemerintah.
Disinilah titik penting peran anggota baru Komnas HAM kedepan, memastikan sinergi antara institusi kenegaraan ini dengan pemerintah dalam menegakkan ham di tanah air. Memudahkan misi ini, sangat dibutuhkan sebuah cetak biru penegakan pemenuhan ham dibidang sipil politik dan ekosok yang mesti dilakukan negara.
Dengan demikian, sangat dibutuhkan sebuah sinergi dengan pemerintah dengan berpedoman pada cetak biru ini. Dengan menggunakan cetak biru yang jelas ini setidaknya akan membawa beberapa keuntungan utama; pertama Komnas HAM terlibat aktif dalam desakan untuk memperkuat peraturan yang telah ada kedalam tataran yang lebih operasional. Kedua, memetakan berbagai peraturan yang ada dan melemahkan kedudukan ham sehingga dapat cepat direkomendasikan untuk dicabut. Ketiga, mencegah tumbuhnya sektoralisme dalam penegakan ham, dengan demikian Komnas HAM kedepan tidak kembali terjebak dalam rutinitas birokrasinya sendiri.
Jakarta, 13 Mei 2007
Iwan Nurdin
No comments:
Post a Comment