May 18, 2007

Menguatkan Masyarakat Desa

Menguatkan Pedesaan
Iwan Nurdin[1]

Baru di abad ini, semua penyokong eksistensi negara-bangsa begitu mempercayai bahwa kesejahteraan umat manusia ditentukan oleh seberapa bersahabat dengan pasar. Padahal, beberapa dekade lalu, para aparat negara bangsa masih berkutat pada usaha-usaha menjinakkan keliaran pasar. Ukuran bersahabat dengan pasar masa kini sederhana saja: bebaskan perkenonomian dari intervensi pemerintah!

Sejak naiknya Orde Baru, sesungguhnya pendulum kebijakan ekonomi politik kita secara perlahan tapi pasti menuju arah yang berkesesuaian dengan pasar bebas bahkan dengan kecepatan yang semakin tinggi seiring dengan reformasi ekonomi yang dibimbing IMF dan Bank Dunia sejak 98 hingga sekarang.

Rezim pasar bebas di Indonesia menampilkan beberapa sisi pokok: memberi kesejahteraan pada segelintir, meminggirkan tanpa ampun kaum banyak nan papa karena tidak mampu memenangkan kompetisi bebas dan terakhir memberi harapan giliran hidup sejahtera pada yang lain.

Jika skala peta diperbesar, nampaklah bahwa korban yang terpinggirkan tersebut adalah masyarakat pedesaan yang berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Penyebab utama mengapa petani dan buruh tani menjadi kelompok beresiko tinggi dalam globalisasi disebabkan oleh rendahnya kepemilikan luas lahan pertanian rumah tangga petani, keterbatasan modal dalam mengembangkan lahan yang ada, serta lambannya perkembangan teknologi pertanian dipedesaan yang mendorong diversifikasi kerja.

Kedaulatan ekonomi politik pedesaan sesungguhnya sangat rentan dalam menghadapi kebijakan global dewasa ini. Sebab, globalisasi ekonomi yang mengagungkan asas perlakuan sama dalam semua bidang baik pertanian, industri, perdagangan dan jasa telah memposisikan desa semakin sulit dikembangkan dari dalam dan atau melalui dirinya sendiri. Sehingga, faktor diluar desa jauh lebih dominan dalam mempengaruhi perubahan sosial di pedesaan dan acapkali perubahan ini semakin memarjinalkan desa.

Melihat kecenderungan ini, usaha untuk memperjuangkan dan mengembalikan kedaulatan ekonomi poltik desa mesti dilakukan dengan sungguh-sungguh. Sebab, sebagian besar penduduk kita mendiami pedesaan dan berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Desa yang kuat dan sejahtera adalah cermin negara yang sehat.


Badan Usaha Milik Desa.
Saat ini, di negeri kita terdapat 68.000 desa, dan 45 persen darinya dikategorikan sebagai desa tertinggal. Sementara, 75 persen penduduk yang mendiaminya merupakan buruh tani atau petani gurem dengan lahan pertanian kurang dari 0.5 ha. Inilah wajah bopeng pedesaan, karena diperkirakan setiap dua hari, rata-rata lebih dari satu penduduk desa bermigrasi ke kota sekitar untuk mencari pekerjaan diluar pertanian dan pedesaan dan sebagian besar diantaranya adalah kelompok usia muda.

Padahal, potensi desa yang secara geografis tersebar dari pantai hingga pegunungan, dari daratan hingga kepulauan begitu besar. Bayangkan, jika setiap desa dikembangkan koperasi produksi dan jasa, maka sekurang-kurangnya terdapat 120.000 badan usaha bersama milik rakyat yang dikelola oleh masyarakat pedesaan.

Secara sosiologis, badan usaha pedesaan yang lebih cepat bisa dikembangkan tentusaja adalah koperasi, sebab modal sosial masyarakat pedesaan sangat memungkinkan badan usaha jenis ini.

Koperasi ini secara khusus pada tahap awal mengelola tanah untuk pertanian dan peternakan secara integratif, yang kemudian secara perlahan mengembangkan dirinya dalam industri pupuk organik, industri pengolah dan pemasaran.

Oleh karena itu, pembangunan badan usaha bersama milik pedesaan mestilah diawali dengan pembaruan agraria. Pembaruan agraria yang dimaksud adalah penataan struktur pemilikan, penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria khususnya tanah dan air yang sebelumnya timpang menjadi lebih adil. Dengan sendirinya, sumber-sumber agraria yang sebelumnya dikuasai oleh korporasi maupun individu secara berlebihan ditata kembali sehingga memberi akses bagi petani gurem, tunakisma dan buruh tani untuk turut menikmati. Penataan ini tidak diarahkan pada membagi tanah kepada rumah tangga semata atau membagi tanah tanpa program dukungan untuk memproduktifkan tanah namun membagikan tanah untuk dijadikan badan usaha bersama milik petani dan badan usaha bersama milik desa.

Pada akhirnya, memutar arah kiblat pembangunan ke desa tentu bukan pekerjaan mudah. Sebab proses pembangunan ekonomi selama ini telah menyumbangkan sebuah relasi yang timpang antara pertanian-industri serta desa-kota telah membias pada pandangan dan kebijakan ekonomi politik dan hokum yang ada. Hanya saja, 60 persen penduduk Indonesia masih bekerja dan menetap di desa, kebijakan mestila berpihak kepada wong ndeso ini.

Jakarta, 18 Mei 2007


[1]Adalah Kordinator Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tinggal di Jakarta.

No comments: