May 15, 2007

Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan SBY-JK

Dua Setengah Tahun RPPK
Oleh: Iwan Nurdin

Jika diibaratkan dengan lalu lintas, jalan raya kebijakan pertanian kita sebenarnya penuh sesak dengan kendaraan perusahaan pertanian. Sementara, kendaraan yang bermuatan kepentingan petani kecil tidak diberi badan jalan, ia merambat pelan dan terjebak kemacetan. Akhirnya, kelompok ini secara paksa dinaikkan dalam kendaraan korporasi yang berlogo “angkutan tani” tetapi mengutip biaya tinggi. Angkutan jenis ini berderet-deret dalam jalan raya “Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan” (RPPK).

Praktek RPPK
Dalam praktek, akibat dari lalulintas kebijakan yang berlaku selama ini telah banyak petani menjadi korban. Terjadilah ironi antara manisnya teks kebijakan dengan pahitnya kenyataan di lapangan yang dirasakan kaum tani.

Inilah gambaran perjalanan dua setengah tahun RPPK. Dalam rencana aksinya, pemerintah berniat menyediakan 30 juta lahan abadi pertanian pangan dan perkebunan. Alih-alih membuka jalan bagi legalisasi lahan-lahan pertanian, rencana ini hanya membuka peluang bisnis pencetakan lahan bagi para kontraktor. Rencananya, lahan-lahan yang akan dibuka tersebut akan dibagikan kepada kepada petani. Belum lagi terbagi, skema yang ditawarkan pemerintah adalah membebankan biaya pembukaan lahan, sertifikasi, produksi awal sebagai kredit yang mesti dilunasi petani.

Meski sekarang lahan-lahan pertanian terus berkurang akibat konversi sekitar 100.000 ha setiap tahun (Deptan:2007). Subsidi jumlah kebutuhan pupuk terus ditingkatkan. Sebab, kebutuhan pupuk dalam satuan luas dibuat meningkat setiap tahun. Pupuk bersubsidi ini mengalir ke perusahaan pertanian dan perusahaan pupuk, bukan ke petani.

Dalam suasana perubahan iklim dan konversi lahan yang ekstrem. Pemerintah dengan berani menaikkan target produksi beras dua juta ton. Padahal, lahan pertanian sawah kita telah tercatat paling efisien dan produktif se-Asia. Kebijakan ini hanyalah cara memperoleh legitimasi dan signifikansi dari publik untuk membuka keran impor bibit hibrida dan tender penunjukan langsung pengadaan bibit.

Secara anggun, pemerintah mengumumkan kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), namun enggan membeli langsung ke petani. Kebijakan manis ini hanyalah madu kertas, di lapangan tengkulak membebankan kenaikan transportasi dan pungli ke petani. Bahkan, impor beras yang dibuka secara bersamaan telah membuat harga di lapangan terus merosot. Lagi-lagi bukan petani yang meraup keuntungan.

Terakhir, dalam upaya menaikkan produksi ethanol dan bio-fuel, pemerintah terus meluaskan kebun sawit, tebu dan jarak, namun nikmat bagi petani hanya bisa sebatas menjadi petani plasma perusahaan perkebunan ini.

Krisis 177 Tahun
Inilah jalan yang telah ditempuh oleh 2.5 tahun RPPK. Tentu ini bukanlah kesalahan pemerintah saat ini semata. Sebab akar tunjang masalah ini telah berusia ratusan tahun dan tak pernah dibenahi.

Meski novel Max Havelaar karya Maltatuli yang bercerita keprihatinan terhadap petani Indonesia kita telah terbit lebih seabad lalu, akar kebijakan pertanian yang lahir selama ini tak pernah berganti: memposisikan petani selalu sebagai objek kebijakan, penumpang dalam tubuh korporasi pertanian/perkebunan. Akibat kebijakan ini adalah krisis tanah, modal, dan teknologi pada wilayah pertanian dan pedesaan kita.

Jika dihitung, usia krisis ini kita telah berumur 177 tahun, dimulai sejak 1830 atau era tanam paksa, liberalisasi investasi perkebunan 1870, revolusi hijau 1970-an hingga sekarang, dan terakhir menerima perdagangan bebas 1994.
Buah pahit dari krisis ini telah melahirkan kepercayaan bahwa menjadi petani adalah pilihan hidup yang bersahabat dengan kemiskinan.

Saat ini, banyak petani kita dengan mudah melepaskan tanah yang tersisa untuk urban atau bahkan dijadikan modal sebagai TKI. Seperti leluhurnya di pedesaan, kelompok ini hidup tanpa ada upaya politik yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk melindungi mereka dari aniaya. Sebab, itulah ia hilang dari gemerlap diplomasi luar negeri pemerintah. Bukankah diplomat, kelas menengah dan politisi lebih tertarik pada keseksian nuklir Iran.

Akhirnya, kita tidak dapat menyanggah bahwa lebih dari 60 persen penduduk kita adalah petani, sebagian besar mereka berteduh di 68.000 desa yang tersebar di seluruh negeri. Mereka telah hidup dalam 177 tahun krisis ekonomi tanpa ada yang melindungi dalam hiruk pikuk zaman. Adakah kita peduli?

Jakarta, 30 April 2007


Iwan Nurdin

No comments: