May 20, 2007

KIta Butuh Pengadilan Agraria

Mendesaknya Pembentukan Lembaga Pengadilan Agraria
Oleh: Iwan Nurdin

Meski dalam kecemasan, warga Meruya Selatan sedikit lebih beruntung. Ada sejumlah anggota DPR dan Gubernur DKI Jakarta yang siap pasang badan membela mereka mulai dari mencegah eksekusi hingga gugatan balik ke pengadilan. Bisa jadi, jika tidak ada aset Pemda, Komplek Perumahan Pegawai DPR dan DPA, Univeritas milik konglomerat ternama, tentu eksekusi Meruya telah lama dilakukan. Dan, semua pejabat akan bersuara sama, “kita negara hukum, maka kita semua wajib menaatinya”.

Putusan MA yang mengalahkan warga Meruya Selatan atas PT. Porta Nigra sedikit banyak telah membuka kembali tabir carut marutnya administrasi pertananahan yang ada dan telah mengakibatkan menyeruaknya konflik agraria di tanah air. Kasus ini hanyalah salah satu 2810 kasus tanah yang saat ini tercatat di BPN dan belum bisa diselesaikan. Di dalamnya, cerita model Meruya jamak ditemui.

Menilik kasus-kasus pertanahan, penulis mencatat ada beberapa keumuman yang dipakai oleh seseorang ataupun perusahaan dalam memperebutkan tanah. Pertama, melalui pengadilan. Cara kerjanya: dua orang/kelompok/badan hukum bersengketa memperebutkan klaim kepemilikan tanah melalui pengadilan. Anehnya, objek sengketa adalah areal pertanian bahkan perkampungan. Sementara, masyarakat setempat tidak tahu menahu adanya sengketa melalui pengadilan tersebut. Setelah pengadilan memenangkan salah satu pihak. Maka, masyarakat digegerkan perintah pengosongan dan eksekusi pengadilan yang tiba-tiba datang.

Pintu masuk ke pengadilan biasanya adalah akta jual beli, beredarnya sertifikat ganda, bahkan izin lokasi diatas tanah belum bersertifikat. Umumnya, setelah sampai di pengadilan warga biasa menjadi tidak berkutik.

Kedua: mensertifikatkan Tanah Negara kepada yang tidak berhak. Seperti diketahui, Pemda dan BPN tidak bisa melepaskan tanah perkebunan khususnya PTPN meskipun tanah-tanah tersebut tidak digarap secara benar. Ancamannya adalah penghilangan asset negara/korupsi. Namun, pelepasan ini dimungkinkan dan dibenarkan jika perusahaan tersebut mengajukan sendiri pelesapan areal HGU-nya. Awalnya, perkebunan meminta masyarakat menggarap areal perkebunan dengan tanaman pangan dalam jangka waktu 3 tahun. Disela-sela waktu tersebut, PTPN mengajukan pelepasan areal HGU dengan alasan telah diduduki oleh masyarakat. Anehnya, tanah tersebut kemudian bersertifikat atas nama oknum BPN, Pemda dan pegawai perkebunan. Seringkali areal HGU PTPN disekitar kota-kota seperti Medan dan Semarang dilepaskan dengan cara-cara seperti ini.

Ketiga, kasus-kasus lebih rumit bisa ditemukan di areal kehutanan yang akan dialihfungsikan ke perkebunan. Sebab, acapkali izin lokasi perkebunan yang diberikan Pemda hanyalah kedok perusahaan dalam mengambil hasil kayu. Penyelesaian ini lebih rumit sebab selain aturan hukum kehutanan dan pertanahan yang saling menegasikan, kasus seperti ini juga bertali bertali temali dengan kepentingan buruh tebang, masyarakat adat hingga dana reboisasi dan rehabilitasi lahan yang kesemuanya menggiurkan.

Percepatan Penyelesaian Kasus.
Dari tiga cara yang umum dipakai ini saja, kita bisa melihat betapa licinnya para mafia tanah dalam memanfaatkan bolongnya peradilan kita saat menyidangkan kasus pertanahan.

Padahal, dalam kasus pertanahan banyak sekali dimensi sosial yang dipertentangkan, mulai dari hubungan sosial, religi, keberlanjutan komunitas masyarakat dan juga harga diri dan martabat manusia (dignity). Dan, ditengah pertentangan ini, Pengadilan Umum dan Tata Usaha Negara (TUN) seringkali hanya memandang sisi formalitas hubungan hukum antara individu/komunitas dengan tanah semata. Maka, wajar kemudian putusan pengadilan seringkali bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.

Berulangnya putusan-putusan yang semacam ini, telah membuat pihak yang bersengketa khususnya pihak korban lebih memilih mengadukan persoalan pertanahan ke Komnas HAM, DPR RI.

Oleh sebab itu, patut dipikirkan segera dibentuk sebuah badan peradilan agraria yang independen di negeri kita. Peradilan ini, bisa berupa peradilan khusus yang berada dibawah peradilan umum layaknya Pengadilan Pajak, Niaga, Anak, Sengketa Perburuan, Perikanan, Pengadilan Syariah di Aceh, Pers yang telah ada. Bahkan, jika diperlukan dalam masa-masa awal, mengingat banyaknya kasus agrarian, pengadilan ini dibuat sejajar dengan pengadilan umum.

Peradilan ini bisa diisi oleh hakim-hakim adhoc yang ahli tidak semata-mata hukum tanah secara formil, tetapi memahami aspek pertanahan yang multidimensional itu. Dengan demikian, peradilan ini mestilah dibentuk dengan berdasarkan UU yang merujuk pada UUPA 1960 dan UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sebenarnya, usulan serupa ini telah banyak dilontarkan oleh berbagai kalangan ahli dan aktivis masyarakat sipil hingga lembaga negara seperti Komnas HAM melalui pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA). Namun, sepertinya di negeri ini tanah masih terlalu mahal untuk diserahkan kepada dewi keadilan yang sebenarnya. Entah berapa banyak Meruya lagi dibutuhkan.


Naskah Awal Untuk Diskusi.
Iwan Nurdin

13 Mei 2007

No comments: