May 17, 2007

Siapa Berhak Atas HGU


Oleh: Iwan Nurdin[1]
Kerasnya perlawanan kepada Hak Guna Usaha (HGU) 95 tahun yang baru saja disahkan oleh UU Penanaman Modal terus menguat. Bahkan, kalangan organisasi petani, akademisi, dan masyarakat sipil di Indonesia merasa penting untuk segera melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (Kompas 10/4/07).

Sebenarnya, siapakah kelompok yang paling berhak atas HGU? Selama ini, para pengusaha adalah kelompok yang selalu diutamakan diberi hak ini. Tulisan ini bermaksud memberi argumentasi bahwa sesungguhnya pemerintah salah sasaran dalam memberi HGU.

Dalam UUPA, HGU diatur dalam pasal 28-30 dan aturan konversi Pasal III. Dengan demikian, HGU selain sebuah bentuk hak baru juga merupakan kelanjutan dari erpacht Agrarische Wet 1870 dan peraturan consessie.

Namun, dalam penjelasan umum dan penjelasan pasal per pasal UUPA, HGU diperuntukkan untuk koperasi bersama milik rakyat bukan korporasi. Inilah rencana UUPA dalam menghentikan bentuk ekonomi dualistik yang dihasilkan oleh penjajahan. Bentuk dualistik itu adalah adanya perkebunan modern disatu sisi bersanding dengan pertanian subsisten dan masyarakat pertanian yang feodal disisi yang lain.

Lebih lanjut, hak erpacht dan consessie yang dikonversi kedalam HGU diberi jangka waktu selama-lamanya 20 tahun untuk segera dikembalikan kepada negara. Secara khusus, Bung Hatta dalam pidato sebelum pengesahan UUPA September 1960 merasa perlu memberi catatan bahwa perkebunan yang mempunyai hak erpacht dan consessie tersebut dahulunya memperoleh tanah dengan cara merampas dari masyarakat. Sehingga, harus segera dikembalikan kepada masyarakat sekitar setelah habis masanya. Jadi, semestinya semua keruwetan hak barat atas tanah sudah selesai pada tahun 1980.
HGU Tidak Sah
Pemerintah Orba enggan mengembalikan tanah-tanah tersebut dengan mengeluarkan Keppres RI No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 3 tahun 1979 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.

Beberapa alasan dikeluarkannya aturan tersebut dikarenakan sebagian besar perkebunan tersebut telah dinasionalisasi dan dijadikan BUMN sekaligus melihat kenyataan bahwa sebagian besar direksi dan komisaris perusahaan ini adalah para pensiunan pejabat tinggi atau perwira militer yang dirasa penting diberi priveledge. Hilanglah kesempatan rakyat mendapatkan kembali tanahnya.

Dilain pihak secara bersamaan, korporasi swasta juga diberi keleluasaan lebih luas dalam mendapatkan HGU diatas tanah yang diklaim sebagai tanah negara. Inilah pengulangan praktek Domein Verklaring dalam AW 1870 yang telah memanipulasi Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam UUPA yang seharusnya dipandu oleh kewajiban diabdikan pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan mempunyai fungsi sosial. Dengan demikian, pemberian HGU selama ini sebenarnya telah mempertahankan dualisme ekonomi pertanian kita.

Modus pemberian HGU semakin melebar dengan keluarnya PP No.40/1996, di mana hak itu bisa ditetapkan di atas tanah yang bukan milik negara melalui mekanisme pelepasan hak. Era ini telah membuat pengambilalihan tanah masyarakat semakin meluas dengan memanfaatkan minimnya pengetahuan hukum pertanahan yang dimiliki oleh rakyat.

Penelusuran singkat ini, membuktikan bahwa praktek pemberian HGU di Indonesia selama ini sebenarnya “illegal” dalam pandangan masyarakat sekitar dan secara nyata berdiri di atas pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Kerapnya gejala petani dan masyarakat adat mengidentikkan perusahaan perkebunan sebagai simbol perselingkuhan hukum dan modal telah menjadikan perusahaan perkebunan menjadi objek gerakan okupasi dan reklaiming tanah. Keadaan ini sebenarnya menjelaskan kepada kita bahwa pada umumnya perusahaan perkebunan berdiri diatas perlawanan masyarakat dan setiap saat selalu berpotensi meletupkan konflik sosial.

Dengan demikian, pemerintah dan DPR mestilah bersepakat untuk segera membentuk sebuah badan independen yang bersifat adhoc untuk melakukan audit terhadap HGU dan menyelesaikan segenap persoalan didalamnya dengan mengutamakan hak rakyat atas tanah. Kemudian, sudah saatnya HGU hanya diperuntukkan bagi koperasi bersama milik rakyat sesuia UUPA 1960 sehingga terdapat sebuah desain nasional bagi petani kita untuk membentuk badan usaha bersama milik petani dan badan usaha bersama milik desa. Dengan begitu, terjadi sebuah reforma agraria yang memberi jalan bagi pembangunan tanah, modal dan teknologi untuk petani kita menuju keadilan sosial.

Jakarta, 26 April 2007
Iwan Nurdin
[1] Versi lain dari tulisan ini dimuat di Harian Sinarharapan, 13 Mei 2007 Bersama Usep Setiawan

No comments: