Gelap Mata Mengundang Investasi
Iwan Nurdin[1]
Draft UU Penanaman Modal rencananya akan disyahkan dalam rapat paripurna DPR tanggal 13 Maret ini. Melihat pasal-pasal dalam RUU ini, kita sesungguhnya tengah menyaksikan potret kebijakan negara yang gelap mata terhadap investasi.
Lepas dari titik tolak kebutuhan investasi yang sangat mendesak, sangat tidak masuk diakal bahwa negara kita – dalam draft RUU ini-- akan mengatur fasilitas penanaman modal khususnya penyediaan tanah bagi investasi jauh lebih buruk dari Agrarische Wet 1870 milik kolonial. Draft RUU ini membolehkan Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun, HGB 80 tahun, Hak Pakai 70 tahun, dan cara pemberiannya diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus. Selain bertentangan dengan UUPA 1960. RUU ini mencadangkan tanah untuk usaha perkebunan jauh lebih lama dari hukum agraria kolonial Belanda yang sesungguhnya tujuannya sama yakni menarik investasi swasta perkebunan di Indonesia. Dalam Agrarische Wet 1870, pemerintah hanya membolehkan pemakaian tanah selama 75 tahun (Rajagukguk:1995).
Dalam keterangannya, pemerintah menjelaskan bahwa negara lain seperti China memberi hak sejenis selama 100 tahun, dan di Malaysia selama 90 tahun. Namun, pemerintah tidak menjelaskan bahwa “HGU” di China hanya diberikan pada lokasi-lokasi yang jauh di pedalaman sehingga dengan sendirinya perusahaan perkebunan membangun jaringan infrastruktur. Sementara, Malaysia memberi HGU setelah para petaninya dipastikan semuanya memperoleh tanah minimal 16 Ha per kepala keluarga.
Dengan pasal ini, secara kasat mata kita dapat melihat bahwa dalam prakteknya kelak RUU ini tidak diarahkan untuk mendorong kemandirian perekonomian rakyat. Para pengambil kebijakan tidak meyakini bahwa petani kita mampu membangun perkebunan, pertanian dan perikanan atau bahkan ditingkatkan menjadi perusahaan. Justru RUU percaya bahwa para pemodal adalah kelompok paling tepat diberi tanah yang luas, sementara rakyat cukup menjadi tenaga kerja murah di dalamnya. Inilah ciri utama hukum agraria kolonial yang dihidupkan kembali atas nama investasi. Membiarkan petani gurem tanpa tanah modal dan teknologi mengalokasikan tanah untuk pengusaha yang semua rakyat tani dengan mudah bisa melakukannya: bercocok tanam.
Perilaku gelap mata lainnya adalah dalam prakteknya nanti RUU ini mengesampingkan semua praktek kotor korporasi kecuali penggelapan pajak. Dalam RUU ini, yang disebut kejahatan korporasi adalah penggelapan pajak, penggelembungan biaya pemulihan, dan bentuk penggelembungan biaya lainnya yang untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan kerugian negara (pasal 18). Nampaknya pengalaman pahit lumpur lapindo, pencemaran teluk buyat belum membuka mata nurani pengambil kebijakan.
Arah Investasi.
Daftar perilaku gelap mata ini masih dapat diperpanjang, seperti ketentuan perlakuan sama bagi perusahaan nasional dan asing, larangan nasionalisasi, dan kemudahan tenaga kerja asing. Negara-negara membangun lainnya yang menerapkan ketentuan ini sesungguhnya mempunyai posisi dan tujuan nasional yang jelas, terukur dan dikerjakan secara sungguh-sungguh. Malaysia misalnya, selain membuka luas investasi negara ini secara sungguh-sungguh mewujudkan Visi Malaysia 2020. Sementara, China dan Vietnam berkomitmen menjadi negara sosialis melalui jalan pasar. Hal yang demikian ini belum ada pada negara kita.
Pada akhirnya, RUU ini memperlihatkan bahwa pemerintah kelimpungan dalam menggenjot arus investasi asing langsung ke Indonesia. Walhasil, kita menyaksikan draft RUU yang berisi pelelangan semua sumber-sumber daya ekonomi nasional kepada investor zonder keterhubungan dengan strategi pembangunan nasional kedepan. Sehingga, para politisi senayan dan pemerintah seolah tengah memberi pengumuman luas: “you mesti datang sebab kami punya paket pelayanan paling bagus. You boleh lakukan apa saja selama beroperasi disini selama tidak menggelapkan pajak. You punya untung boleh bawa pulang, kalau You nggak betah boleh pergi atau jual sesuka hati”. Ah, sepertinya kalender kita masih di tahun 1870.
[1] Dimuat di Harian Kompas, 23 Maret 2007
No comments:
Post a Comment