Oleh: Iwan Nurdin[1]
Pendahuluan
Secara singkat, kondisi agraria nasional kita yang sangat memprihatinkan dewasa ini disebabkan oleh kesalahan pembangunan ekonomi kapitalistik yang selama ini dijalankan.
Meski pada masa awal pembangunan era Soekarno, pembaruan agraria sempat menjadi agenda bangsa, namun telah kita ketahui bersama bahwa program pembaruan agraria akhirnya dipeti-eskan sebelum berhasil dijalankan sepenuhnya pada saat orde baru berkuasa.
Kebijakan pembangunan ekonomi Orba sedikitnya telah menambah persoalan dalam bidang pertanahan yaitu: pertama, di sektor pertanian, kebijakan pertanahan tidak didasarkan atas penataan aset produksi tetapi langsung diarahkan kepada upaya peningkatan produktivitas melalui revolusi hijau. Sehingga meningkatkan jumlah petani tuna kisma dan mendorong percepatan guremisasi petani. Kedua, pada saat banyak petani kehilangan akses pada tanah, berlangsung pula kebijakan pengalokasian tanah dalam skala besar kepada industri perkebunan dan industri kehutanan. Ketiga, Pembangunan industri dan perluasan kota juga telah menimbulkan konversi besar-besaran lahan pertanian, apalagi belum ditaatinya tata ruang dan penataan tanah sebagai acuan pemanfaatan dan penggunaan tanah. Kelima, tumbuhnya kecenderungan meletakkan tanah dalam kerangka perburuan rente sehingga menjadi ajang permainan spekulasi. Kelima hal ini telah mengakibatkan setidaknya dua hal utama: pertama, kesemua proses diatas telah mendorong semakin tingginya kuantitas dan kualitas sengketa serta konflik pertanahan di tanah air. Kedua, kesemua hal di atas telah mendorong semakin timpangnya pemilikan, penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria khususnya tanah.
Sudah barang tentu, dengan berbagai komplikasi tambahan diatas semakin mengukuhkan argumentasi bahwa pembaruan agraria adalah sebuah agenda yang sangat mendesak untuk dijalankan bagi bangsa ini. Juga, ini merupakan tantangan, sebab mewujudkan pembaruan agraria pada masa kini tidak lebih mudah dibanding era sebelumnya.
Rezim Pasar Dalam Pembaruan Agraria.
Pasca ditetapkannya Tap. MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, diskursus dan aksi politik yang berelasi dengan isu pembaruan agraria semakin mendapat tempat dalam panggung politik Indonesia. Tapi, kecenderungan ini bukanlah gejala Indonesia semata. Karena, sebenarnya hampir di semua tempat di berbagai belahan dunia yang tengah mengalami proses integrasi kedalam rezim pasar bebas yang intensif, keadaan yang demikian ini selalu terjadi. Jadi, bisa dikatakan, ini adalah sebuah gejala internasional.
Jika merunut lebih kebelakang, sejak tahun 1975, Bank Dunia sebenarnya telah mengeluarkan sebuah dokumen penting yang berjudul Land Reform Policy Paper (LRPP). Dalam dokumen tersebut, Bank Dunia mengakui bahwa program Land Reform adalah sebuah jalan yang penting dalam menggerakkan perekenomian nasional sebuah negara dan dapat mendorong lebih cepat pertumbuhan ekonomi pedesaan.
Namun, mengacu pada situasi pasar politik dewasa itu, dokumen ini tersebut tidak dijalankan. Sebab, pada masa itu lembaga-lembaga semacam WB masih menaruh kepercayaan yang tinggi kepada keberhasilan revolusi hijau di bidang pertanian yang dianggap jauh lebih mudah dan aman secara politik. Dilain sisi, jurus penyesuaian ekonomi domestik kedalam sistem ekonomi pasar internasional (Structural Adjusment Programs?SAPs)dianggap lebih jitu dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam perkembangannya kemudian, kedua program tersebut justru secara nyata terbukti semakin meningkatkan ketergantungan petani kepada para industriawan benih, pupuk dan pestisida. Sementara lahan-lahan pertanian mereka semakin kurus akibat model pertanian semacam ini. Sementar itu, SAPs bisa dengan mudah dibuktikan kegagalannya dibanyak tempat diberbagai belahan dunia.
Bercermin pada dua kegagalan ini, isu tentang pembaruan agraria kembali mendapat tempat yang penting di era 90-an. Bahkan, pembaruan agraria saat ini, selalu tidak dipisahkan dengan isu-isu pengentasan kemiskinan dunia.
Sayangnya, pembaruan agraria yang dimaksud oleh lembaga seperti WB, IMF, WTO dan bahkan FAO serta berbagai lembaga pengabdi pasar lainnya adalah pembaruan agraria yang sama sekali berbeda dengan pembaruan agraria dari yang diperjuangkan oleh banyak kalangan gerakan sosial dan serikat petani.
Pembaruan agraria yang disebarluaskan oleh lembaga-lembaga ini adalah sebuah pembaruan agraria yang singkatnya mendorong secara luas sertifikasi tanah, dan distribusi tanah kepada para penggarap dengan cara dikredit/dihutangkan kepada para petani penggarap.
Basis argumentasinya utamanya adalah, dengan sertifikasi tanah yang meluas maka para petani akan lebih mudah berhubungan dengan lembaga keuangan karena sertifikat tanah adalah surat berharga yang dengan mudah diagunkan. Padahal, sistem ekonomi pasar telah menempatkan pertanian pada posisi yang kerdil dan terkucil.
Sehingga, cara ini dalam jangka menengah akan mengakibatkan petani terlempar secara legal dari tanahnya. Pilihan ini sebenarnya sebuah fase transisi untuk mencapai jalan yang lempang bagi kemudahan transaksi tanah, dan upaya menjadikan tanah dan air sebagai komoditas jual beli (saat ini, isu ini tengah di bahas di WTO). Di sisi lain, cara ini akan memudahkan konsentrasi kepemilikan tanah kepada pemodal besar.
Sistem kredit/hutang kepada para petani yang mendapatkan tanah berdasarkan pada pandangan bahwa tanah hanya akan terdistribusi kepada petani yang benar-benar bisa memproduktifkan tanah. Padahal, proses ini telah mendorong petani penggarap mendapatkan tanah-tanah dengan harga yang lebih mahal dan kurang subur. Bukankah akan selalu lebih banyak permintaan (demand) dibandingkan supply tanah. Juga, tanah-tanah yang subur kecil kemungkinan dilepaskan oleh para tuan tanah kepada para petani. Model ini juga juga membahayakan perekonomian nasional secara luas dan jangka panjang, sebab seringkali biaya pembelian tanah tersebut didapat oleh pemerintah melalui skema hutang. Dan, hutang tersebut diperoleh dengan persyaratan membuka pasar pertanian di dalam negeri.
Pembaruan agraria versi pasar juga didasarkan kesimpulan bahwa pembagian tanah kepada rumah tangga petani akan lebih menguntungkan ketimbang kepada serikat tani atau koperasi produksi serikat tani. Pandangan ini didasarkan bahwa pertanian besar yang selama ini dikelola negara dan komune produksi di negara-negara sosialis telah mengalami kegagalan dalam mencapai efisiensi produksi.
Pandangan inilah yang mengkhawatirkan dan sekaligus mendapat perlawanan banyak gerakan sosial dunia. Sebab, pembaruan agraria yang dijalankan adalah sebuah upaya sistematis dalam mengintegrasikan masyarakat pertanian dan pedesaan kedalam rezim pasar bebas dalam hal produksi dan keuangan.
Proses pembaruan agraria yang dibimbing pasar ini sama sekali tidak ditujukan sebagai sebuah cara dalam mendorong transformasi sosial melalui lapangan agraria melalui pembentukan modal di pedesaan. Sehingga, pembaruan agraria model pasar sama sekali tidak menyentuh proses perencanaan pembangunan ekonomi desa kota yang saling menguatkan, menumbuhkan industri nasional yang kuat.
Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)
Lalu, bagaimana dengan pembaruan agraria di Indonesia ditengah situasi nasional dan internasonal yang demikian ini?
Berikut rangkuman pandangan yang membingkai advokasi PPAN:
Sebagai kebijakan yang dilatari keinginan untuk mendistribusikan lahan hutan produksi yang bisa dikonversi sejumlah 8.15 juta hektar, tentu beragam tanggapan diberikan oleh kalangan termasuk juga kelompok yang memperjuangkan Pembaruan Agraria.
Ada dua tanggapan utama, pertama kalangan yang menganggap bahwa Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) ini mesti ditentang. Sementara kelompok kedua kalangan yang menganggap bahwa program ini mesti dikawal secara kritis mulai dari sisi substansi hingga ke sisi implementasi.
Kelompok pertama yang menentang misalnya, memberikan ulasan setidaknya ada tujuh alasan mengapa PPAN mesti ditolak. Pertama, PPAN bertumpu pada revitalisasi pertanian sehingga lebih mengacu pada upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian yang sudah ada khususnya perkebunan. Upaya jenis ini jelas-jelas sangat dititik beratkan pada investasi bukan membentuk modal pedesaan yang kuat. Kedua, Pembaruan Agraria hanya dijadikan urusan teknis semata sehingga sejalan dengan proyek administrasi pertanahan dan mendorong integrasi usaha petani kecil kedalam pertanian/perkebunan skala besar. Ketiga, PPAN hanya ditujukan pada tanah-tanah Negara yang hanya mungkin dibagikan tanpa ada keinginan kuat merombak struktur agraria yang ada.
Keempat, PPAN tidak mengakomodasi sepenuhnya keinginan menyelesaikan konflik agraria. Kelima, PPAN bertumpu pada institusi yang lemah yakni BPN. Keenam, PPAN kemungkinan dibawah bimbingan program-program Bank Dunia yang mendorong liberalisasi pertanahan. Dan terakhir, PPAN kemungkinan besar hanya sebuah dagangan politik jangka pendek SBY-JK (Dianto Bahcriadi:2006).
Sementara kelompok kedua, berangkat dari pandangan bahwa PPAN bukanlah reforma agraria sejati seperti yang diinginkan selama ini. Namun, sebagai sebuah batu loncatan dalam mendorong pembaruan agraria sejati yang diinginkan. Dengan demikian, PPAN dianggap sebagai peluang politik yang ada dalam memperkuat basis-basis kelompok masyarakat dalam memperjuangkan Pembaruan Agraria.
Menurut Gunawan Wiradi, pembaruan agraria yang sukses setidaknya memenuhi beberapa prasyarat utama yang harus dipenuhi. Diantaranya, Adanya keinginan politik yang kuat dari pemerintah, organisasi tani yang kuat, adanya elit politik yang terpisah kepentingannya dengan elit bisnis serta dukungan dari pihak tentara dan kepolisian, serta pemahaman minimal pemahaman dasar dalam hal pembaruan agraria. Dengan mengacu pada prasyarat inilah sesungguhnya PPAN, dalam implementasinya kelak, mestilah diperjuangkan sebagai peluang politik untuk memperkuat prasyarat. Pertama, dengan dijadikannya pembaruan agraria sebagai sebuah program nasional dari pemerintah yang berkuasa, pembaruan agraria akan lebih dapat menarik masyarakat banyak sesuai dengan beragam kepentingan politiknya untuk terlibat dan peduli dalam mengawasi kebaikan, keburukan dan kesalahan teknis implementasi dari program ini. Melalui proses dan keterlibatan masyarakat banyak semacam ini, ruang-ruang public yang bebas (free public sphare) akan termanfaatkan secara lebih luas dalam menyebarluaskan gagasan dan pengetahuan tentang pembaruan agraria sejati. Kedua, PPAN haruslah diperjuangkan sebagai program nasional yang akan melibatkan pejabat birokrasi dari pusat hingga daerah dengan kewajiban melibatkan organisasi rakyat dan masyarakat sipil dari nasional hingga wilayah. Pola kerja ini, akan membuka luas lahirnya serikat-serikat atau kelompok tani baru di semua wilayah nasional. Dengan demikian, terjadi sebuah lompatan kebutuhan masyarakat tani untuk mengorganisasikan diri. Proses ini juga akan membuka keragaman baru dari serikat-serikat tani yang selama ini masih didominasi oleh petani yang terlibat konflik semata.
Ketiga, meski belum terlalu kuat dijelaskan, PPAN mestilah dipandang oleh serikat tani sebagai salah satu jalan bagi penyelesaian konflik agraria. Dalam kaitan ini, upaya-upaya legalisasi tanah-tanah rakyat yang selama terkait dalam kawasan konflik agraria dan telah diduduki oleh masyarakat mempunyai peluang lebih luas untuk segera diselesaikan. Peluang ini dapat dilakukan dengan melakukan pendataan kawasan-kawasan yang selama ini telah dikuasai dan dikelola oleh masyarakat tani. Pendataan ini semestinya dilakukan dalam aspek-aspek antara lain: pemetaan wilayah klaim atau wilayah kelola masyarakat, pemetaan rencana tata kuasa, tata guna, tata produksi serta tata wilayah pada kawasan masyarakat tersebut. Selanjutnya, data harus dilengkapi dengan sejarah pendudukan tanah dan data dari kalangan masyarakat yang berhak menjadi subjek pembaruan agraria.
Keempat, PPAN adalah salah satu wahana legal yang ada dan tersedia (bukan semua) sebagai salah satu alat transformasi serikat tani yang selama ini telah ada. Transformasi yang dimaksud berdasarkan kenyataan: selama ini organisasi tani keberadaannya didasarkan pada ikatan solidaritas sesama korban konflik agraria. Padahal, upaya penyelesaian konflik yang selama ini dilakukan pemerintah adalah membagi tanah-tanah yang diklaim oleh masyarakat per-individu. Melihat kenyataan selama ini bahwa tanah-tanah tersebut juga secara satuan ekonomi tidak membuat petani dapat bertransformasi secara pendapatan dan teknologi apalagi ditengah situasi makro ekonomi nasional yang meminggirkan pertanian dan petani. Sehingga, dalam kurun waktu tertentu, tanah-tanah tersebut dijual dan terkonsentrasi kembali pada golongan ekonomi kuat.
Dengan terbukanya berbagai skema implementasi dalam PPAN, kalangan gerakan pembaruan agraria dapat memperjuangkan agar tanah-tanah yang diklaim oleh organisasi rakyat jatuh dalam wilayah pengelolaan dan penguasaan bersama. Penguasaan secara kolektif ini juga harus diupayakan pada usaha penataan kembali struktur corak produksi yang berlaku selama ini menuju struktur kolektif usaha pertanian bersama (koperasi). Dengan demikian, upaya-upaya penetrasi teknologi, manajemen, dan modal akan dapat dilakukan oleh masyarakat secara bersama. Pelatihan dan pengawalan intensif harus dilakukan oleh kalangan gerakan sehingga menjadi alternative penataan produksi dari yang ditawarkan regime.
Kelima, program ini akan membuka peluang kesadaran politik baru di masyarakat. Sebab, selama ini idiom-idiom pembaruan agraria yang seringkali dilekatkan dengan komunisme mendapat alat peredam yang kuat dari tubuh lembaga negara sendiri. Dengan demikian, pengawalan terhadap PPAN dapat dipandang sebagai sebuah proses advokasi dalam mendorong alat negara seperti tentara dan kepolisian “mendukung” atau minimalnya tidak anti terhadap pembaruan agraria.
Keenam, PPAN haruslah dipandang sebagai peluang politik dan peluang ini dapat dimanfaatkan oleh kalangan gerakan tani dengan cara mengawal pelaksanaan PPAN setidaknya dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai-berikut: Melakukan pendataan secara akurat wilayah penguasaan dan pengelolaan; wilayah klaim masyarakat; rencana-rencara tata kuasa, tata kelola, dan tata produksi; rencana tata wilayah sekaligus data subjek secara jelas.
Menyusun dan mempraktekkan model pembaruan agraria yang disepakati oleh organisasi rakyat dengan dipandu dengan prinsip-prinsip kolektif dan berkeadilan. Melakukan dialog intensif, hingga perjuangan melalui aksi-aksi terbuka dalam wadah implementasi PPAN kepada pemerintah untuk dapat mengimplementasikan model pembaruan agraria versi rakyat pada wilayah-wilayah yang selama ini telah diduduki sekaligus perlindungan legalnya. Melakukan promosi keberhasilan pembaruan agraria versi rakyat agar diadopsi secara nasional dalam program PPAN.
Membentuk jaringan kerja untuk melakukan monitoring terhadap implementasi PPAN pada level wilayah dan melaporkan hasil-hasil monitoring pada pusat-pusat kordinasi jaringan kerja di wilayah dan nasional. Monitoring ini mestilah mencatat secara jernih keberhasilan, kegagalan teknis implementatif PPAN. Sehingga membuka peluang politik lebih luas bagi dijalankannya PA sejati dan membuka peluang dalam memperjuangkan objek-objek pembaruan agraria yang lain dari yang ditawarkan semata-mata oleh pemerintah selama ini.
Dengan corak pandang yang demikian, pengawalan dan keterlibatan organisasi gerakan Pembaruan Agraria bukanlah sebuah keterlibatan dan pengawalan tanpa kekritisan dari sisi substansi hingga implementasi. Juga, cara pandangan ini telah menempatkan PPAN sebagai salah satu peluang yang ada dalam mendorong Pembaruan Agraria sejati. Ketujuh, PPAN sesungguhnya secara praktek telah menggiring kelompok pembaruan dan kontra pembaruan bergerak dalam sebuah ruang persinggungan dan pertentangan yang sama yakni PPAN. Sehingga, identifikasi persoalan (substansi filososofis, praktek implementasi, disharmoni produk hukum) mudah dilakukan, sekaligus juga kemudahan bagi konsolidasi dan kerja bersama antar serikat dan unsur gerakan reforma agraria dalam memberikan perlawanan.
PPAN Menjelang Lauching
Pada pertemuan dengan elemen-elemen Gerakan Pembaruan Agraria di kantor BPN jalan Sisingamangaraja (09/5 2007), Kepala BPN Joyowinoto mengungkapkan bahwa:
Pemerintah sedang menggodok PP Reforma Agraria dan sedang dalam tahap-tahap akhir. Setelah disahkan presiden, Reforma Agraria akan dilaunching ke publik di Blitar tanggal 20 Mei 2007 atau 1 Juni. Namun, hingga sekarang launching tersebut belum ada kelanjutan kabarnya.
Menurut keterangan Kepala BPN, bahwa penerima manfaat dari Reforma Agraria ini adalah:
WNI yang sudah dewasa baik laki-laki maupun peremuan dengan syarat-syarat: perorangan, usia paling kurang 18 tahun, sudah kawin, miskin, tidak memiliki tanah, memiliki tanah kurang dari 0.5 Ha.
Sementara, Objek Reforma Agraria ini adalah:
Tanah bekas HGU, HGB dan HP
Tanah yang terkena ketentuan konversi
Tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya
Tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan
Tanah objek Landreform
Tanah bekas objek landreform
Tanah timbul
Tanah bekas kawasan pertambangan
Tanah yang dihibahkan oleh pemerintah
Tanah tukar-menukar dari dan oleh pemerintah
Tanah yang dibeli oleh pemerintah
Tanah pelepasan Kawasan Hutan Produksi Konversi atau tanah bekas kawasan hutan yang pernah dilepaskan yang jumlahnya 8.15 Juta ha.
Sementara, dalam melaksanakan rencana ini, akan dibentuk lembaga Dewan Reforma Agraria Nasional (Ketua Presiden dan Ketua Pelaksana Ka. BPN RI), di tingkat provinsi akan dibentuk DRAP serta di tingkat kabupaten/kota DRAK.
Untuk pembiayaan, akan dibentuk Badan Pengelolaan dan Pembiayaan Reforma Agraria (BPP-RA) di nasional dan di wilayah. Badan ini akan bertanggung jawab kepada Ka.BPN. Pembiayaan dari RA ini akan mengambil APBN dan APBD.
Dalam tatacara pelaksanaannya, identifikasi objek akan dilakukan oleh BPN Wilayah atau BPN Provinsi yang dilaporkan kepada Ka.BPN. Selanjutnya, hasil identifikasi ini akan divalidasi.
Dalam inventarisasi penerima manfaat (subjek reform) akan diterbitkan oleh pemerintah daerah dimulai dari tingkat terendah (desa/kelurahan), atau inventarisasi langsung yang dilakukan BPN RI atau dengan BPP-RA. Para penerima manfaat yang diusulkan ini akan diseleksi sesuai dengan syarat penerima manfaat yang telah disebutkan.
Disinilah kita mulai melihat bahwa harapan-harapan dalam advokasi PPAN mulai menjauh. Sebab, rencana kita sebagai insan gerakan tidak terwadahi. Bukankah subjek individu ditengah ekonomi makro dan mikro yang meminggirkan pertanian akan mengakibatkan tanah-tanah tersebut tidak akan dapat secara maksimal mengangkat kesejahteraan rakyat. Bukankah dengan subjek individu, transformasi organisasi petani (tanah, modal dan teknologi) yang kita harapkan melalui PPAN tidak terwadahi.
Sementara, objek-objek yang ditawarkan oleh PPAN memang mewadahi keinginan selama ini. Namun, mekanisme identifikasi objek yang ditentukan oleh pemerintah tanpa melibatkan serikat tani telah mengakibatkan semua objek tersebut sebenarnya sangat sulit diperoleh rakyat. Seharusnya, masyarakat dibuka kesempatan melakukan klaim objek reforma agraria dalam wadah PPAN.
[1] Adalah Koordinator advokasi kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Pendahuluan
Secara singkat, kondisi agraria nasional kita yang sangat memprihatinkan dewasa ini disebabkan oleh kesalahan pembangunan ekonomi kapitalistik yang selama ini dijalankan.
Meski pada masa awal pembangunan era Soekarno, pembaruan agraria sempat menjadi agenda bangsa, namun telah kita ketahui bersama bahwa program pembaruan agraria akhirnya dipeti-eskan sebelum berhasil dijalankan sepenuhnya pada saat orde baru berkuasa.
Kebijakan pembangunan ekonomi Orba sedikitnya telah menambah persoalan dalam bidang pertanahan yaitu: pertama, di sektor pertanian, kebijakan pertanahan tidak didasarkan atas penataan aset produksi tetapi langsung diarahkan kepada upaya peningkatan produktivitas melalui revolusi hijau. Sehingga meningkatkan jumlah petani tuna kisma dan mendorong percepatan guremisasi petani. Kedua, pada saat banyak petani kehilangan akses pada tanah, berlangsung pula kebijakan pengalokasian tanah dalam skala besar kepada industri perkebunan dan industri kehutanan. Ketiga, Pembangunan industri dan perluasan kota juga telah menimbulkan konversi besar-besaran lahan pertanian, apalagi belum ditaatinya tata ruang dan penataan tanah sebagai acuan pemanfaatan dan penggunaan tanah. Kelima, tumbuhnya kecenderungan meletakkan tanah dalam kerangka perburuan rente sehingga menjadi ajang permainan spekulasi. Kelima hal ini telah mengakibatkan setidaknya dua hal utama: pertama, kesemua proses diatas telah mendorong semakin tingginya kuantitas dan kualitas sengketa serta konflik pertanahan di tanah air. Kedua, kesemua hal di atas telah mendorong semakin timpangnya pemilikan, penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria khususnya tanah.
Sudah barang tentu, dengan berbagai komplikasi tambahan diatas semakin mengukuhkan argumentasi bahwa pembaruan agraria adalah sebuah agenda yang sangat mendesak untuk dijalankan bagi bangsa ini. Juga, ini merupakan tantangan, sebab mewujudkan pembaruan agraria pada masa kini tidak lebih mudah dibanding era sebelumnya.
Rezim Pasar Dalam Pembaruan Agraria.
Pasca ditetapkannya Tap. MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, diskursus dan aksi politik yang berelasi dengan isu pembaruan agraria semakin mendapat tempat dalam panggung politik Indonesia. Tapi, kecenderungan ini bukanlah gejala Indonesia semata. Karena, sebenarnya hampir di semua tempat di berbagai belahan dunia yang tengah mengalami proses integrasi kedalam rezim pasar bebas yang intensif, keadaan yang demikian ini selalu terjadi. Jadi, bisa dikatakan, ini adalah sebuah gejala internasional.
Jika merunut lebih kebelakang, sejak tahun 1975, Bank Dunia sebenarnya telah mengeluarkan sebuah dokumen penting yang berjudul Land Reform Policy Paper (LRPP). Dalam dokumen tersebut, Bank Dunia mengakui bahwa program Land Reform adalah sebuah jalan yang penting dalam menggerakkan perekenomian nasional sebuah negara dan dapat mendorong lebih cepat pertumbuhan ekonomi pedesaan.
Namun, mengacu pada situasi pasar politik dewasa itu, dokumen ini tersebut tidak dijalankan. Sebab, pada masa itu lembaga-lembaga semacam WB masih menaruh kepercayaan yang tinggi kepada keberhasilan revolusi hijau di bidang pertanian yang dianggap jauh lebih mudah dan aman secara politik. Dilain sisi, jurus penyesuaian ekonomi domestik kedalam sistem ekonomi pasar internasional (Structural Adjusment Programs?SAPs)dianggap lebih jitu dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam perkembangannya kemudian, kedua program tersebut justru secara nyata terbukti semakin meningkatkan ketergantungan petani kepada para industriawan benih, pupuk dan pestisida. Sementara lahan-lahan pertanian mereka semakin kurus akibat model pertanian semacam ini. Sementar itu, SAPs bisa dengan mudah dibuktikan kegagalannya dibanyak tempat diberbagai belahan dunia.
Bercermin pada dua kegagalan ini, isu tentang pembaruan agraria kembali mendapat tempat yang penting di era 90-an. Bahkan, pembaruan agraria saat ini, selalu tidak dipisahkan dengan isu-isu pengentasan kemiskinan dunia.
Sayangnya, pembaruan agraria yang dimaksud oleh lembaga seperti WB, IMF, WTO dan bahkan FAO serta berbagai lembaga pengabdi pasar lainnya adalah pembaruan agraria yang sama sekali berbeda dengan pembaruan agraria dari yang diperjuangkan oleh banyak kalangan gerakan sosial dan serikat petani.
Pembaruan agraria yang disebarluaskan oleh lembaga-lembaga ini adalah sebuah pembaruan agraria yang singkatnya mendorong secara luas sertifikasi tanah, dan distribusi tanah kepada para penggarap dengan cara dikredit/dihutangkan kepada para petani penggarap.
Basis argumentasinya utamanya adalah, dengan sertifikasi tanah yang meluas maka para petani akan lebih mudah berhubungan dengan lembaga keuangan karena sertifikat tanah adalah surat berharga yang dengan mudah diagunkan. Padahal, sistem ekonomi pasar telah menempatkan pertanian pada posisi yang kerdil dan terkucil.
Sehingga, cara ini dalam jangka menengah akan mengakibatkan petani terlempar secara legal dari tanahnya. Pilihan ini sebenarnya sebuah fase transisi untuk mencapai jalan yang lempang bagi kemudahan transaksi tanah, dan upaya menjadikan tanah dan air sebagai komoditas jual beli (saat ini, isu ini tengah di bahas di WTO). Di sisi lain, cara ini akan memudahkan konsentrasi kepemilikan tanah kepada pemodal besar.
Sistem kredit/hutang kepada para petani yang mendapatkan tanah berdasarkan pada pandangan bahwa tanah hanya akan terdistribusi kepada petani yang benar-benar bisa memproduktifkan tanah. Padahal, proses ini telah mendorong petani penggarap mendapatkan tanah-tanah dengan harga yang lebih mahal dan kurang subur. Bukankah akan selalu lebih banyak permintaan (demand) dibandingkan supply tanah. Juga, tanah-tanah yang subur kecil kemungkinan dilepaskan oleh para tuan tanah kepada para petani. Model ini juga juga membahayakan perekonomian nasional secara luas dan jangka panjang, sebab seringkali biaya pembelian tanah tersebut didapat oleh pemerintah melalui skema hutang. Dan, hutang tersebut diperoleh dengan persyaratan membuka pasar pertanian di dalam negeri.
Pembaruan agraria versi pasar juga didasarkan kesimpulan bahwa pembagian tanah kepada rumah tangga petani akan lebih menguntungkan ketimbang kepada serikat tani atau koperasi produksi serikat tani. Pandangan ini didasarkan bahwa pertanian besar yang selama ini dikelola negara dan komune produksi di negara-negara sosialis telah mengalami kegagalan dalam mencapai efisiensi produksi.
Pandangan inilah yang mengkhawatirkan dan sekaligus mendapat perlawanan banyak gerakan sosial dunia. Sebab, pembaruan agraria yang dijalankan adalah sebuah upaya sistematis dalam mengintegrasikan masyarakat pertanian dan pedesaan kedalam rezim pasar bebas dalam hal produksi dan keuangan.
Proses pembaruan agraria yang dibimbing pasar ini sama sekali tidak ditujukan sebagai sebuah cara dalam mendorong transformasi sosial melalui lapangan agraria melalui pembentukan modal di pedesaan. Sehingga, pembaruan agraria model pasar sama sekali tidak menyentuh proses perencanaan pembangunan ekonomi desa kota yang saling menguatkan, menumbuhkan industri nasional yang kuat.
Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)
Lalu, bagaimana dengan pembaruan agraria di Indonesia ditengah situasi nasional dan internasonal yang demikian ini?
Berikut rangkuman pandangan yang membingkai advokasi PPAN:
Sebagai kebijakan yang dilatari keinginan untuk mendistribusikan lahan hutan produksi yang bisa dikonversi sejumlah 8.15 juta hektar, tentu beragam tanggapan diberikan oleh kalangan termasuk juga kelompok yang memperjuangkan Pembaruan Agraria.
Ada dua tanggapan utama, pertama kalangan yang menganggap bahwa Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) ini mesti ditentang. Sementara kelompok kedua kalangan yang menganggap bahwa program ini mesti dikawal secara kritis mulai dari sisi substansi hingga ke sisi implementasi.
Kelompok pertama yang menentang misalnya, memberikan ulasan setidaknya ada tujuh alasan mengapa PPAN mesti ditolak. Pertama, PPAN bertumpu pada revitalisasi pertanian sehingga lebih mengacu pada upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian yang sudah ada khususnya perkebunan. Upaya jenis ini jelas-jelas sangat dititik beratkan pada investasi bukan membentuk modal pedesaan yang kuat. Kedua, Pembaruan Agraria hanya dijadikan urusan teknis semata sehingga sejalan dengan proyek administrasi pertanahan dan mendorong integrasi usaha petani kecil kedalam pertanian/perkebunan skala besar. Ketiga, PPAN hanya ditujukan pada tanah-tanah Negara yang hanya mungkin dibagikan tanpa ada keinginan kuat merombak struktur agraria yang ada.
Keempat, PPAN tidak mengakomodasi sepenuhnya keinginan menyelesaikan konflik agraria. Kelima, PPAN bertumpu pada institusi yang lemah yakni BPN. Keenam, PPAN kemungkinan dibawah bimbingan program-program Bank Dunia yang mendorong liberalisasi pertanahan. Dan terakhir, PPAN kemungkinan besar hanya sebuah dagangan politik jangka pendek SBY-JK (Dianto Bahcriadi:2006).
Sementara kelompok kedua, berangkat dari pandangan bahwa PPAN bukanlah reforma agraria sejati seperti yang diinginkan selama ini. Namun, sebagai sebuah batu loncatan dalam mendorong pembaruan agraria sejati yang diinginkan. Dengan demikian, PPAN dianggap sebagai peluang politik yang ada dalam memperkuat basis-basis kelompok masyarakat dalam memperjuangkan Pembaruan Agraria.
Menurut Gunawan Wiradi, pembaruan agraria yang sukses setidaknya memenuhi beberapa prasyarat utama yang harus dipenuhi. Diantaranya, Adanya keinginan politik yang kuat dari pemerintah, organisasi tani yang kuat, adanya elit politik yang terpisah kepentingannya dengan elit bisnis serta dukungan dari pihak tentara dan kepolisian, serta pemahaman minimal pemahaman dasar dalam hal pembaruan agraria. Dengan mengacu pada prasyarat inilah sesungguhnya PPAN, dalam implementasinya kelak, mestilah diperjuangkan sebagai peluang politik untuk memperkuat prasyarat. Pertama, dengan dijadikannya pembaruan agraria sebagai sebuah program nasional dari pemerintah yang berkuasa, pembaruan agraria akan lebih dapat menarik masyarakat banyak sesuai dengan beragam kepentingan politiknya untuk terlibat dan peduli dalam mengawasi kebaikan, keburukan dan kesalahan teknis implementasi dari program ini. Melalui proses dan keterlibatan masyarakat banyak semacam ini, ruang-ruang public yang bebas (free public sphare) akan termanfaatkan secara lebih luas dalam menyebarluaskan gagasan dan pengetahuan tentang pembaruan agraria sejati. Kedua, PPAN haruslah diperjuangkan sebagai program nasional yang akan melibatkan pejabat birokrasi dari pusat hingga daerah dengan kewajiban melibatkan organisasi rakyat dan masyarakat sipil dari nasional hingga wilayah. Pola kerja ini, akan membuka luas lahirnya serikat-serikat atau kelompok tani baru di semua wilayah nasional. Dengan demikian, terjadi sebuah lompatan kebutuhan masyarakat tani untuk mengorganisasikan diri. Proses ini juga akan membuka keragaman baru dari serikat-serikat tani yang selama ini masih didominasi oleh petani yang terlibat konflik semata.
Ketiga, meski belum terlalu kuat dijelaskan, PPAN mestilah dipandang oleh serikat tani sebagai salah satu jalan bagi penyelesaian konflik agraria. Dalam kaitan ini, upaya-upaya legalisasi tanah-tanah rakyat yang selama terkait dalam kawasan konflik agraria dan telah diduduki oleh masyarakat mempunyai peluang lebih luas untuk segera diselesaikan. Peluang ini dapat dilakukan dengan melakukan pendataan kawasan-kawasan yang selama ini telah dikuasai dan dikelola oleh masyarakat tani. Pendataan ini semestinya dilakukan dalam aspek-aspek antara lain: pemetaan wilayah klaim atau wilayah kelola masyarakat, pemetaan rencana tata kuasa, tata guna, tata produksi serta tata wilayah pada kawasan masyarakat tersebut. Selanjutnya, data harus dilengkapi dengan sejarah pendudukan tanah dan data dari kalangan masyarakat yang berhak menjadi subjek pembaruan agraria.
Keempat, PPAN adalah salah satu wahana legal yang ada dan tersedia (bukan semua) sebagai salah satu alat transformasi serikat tani yang selama ini telah ada. Transformasi yang dimaksud berdasarkan kenyataan: selama ini organisasi tani keberadaannya didasarkan pada ikatan solidaritas sesama korban konflik agraria. Padahal, upaya penyelesaian konflik yang selama ini dilakukan pemerintah adalah membagi tanah-tanah yang diklaim oleh masyarakat per-individu. Melihat kenyataan selama ini bahwa tanah-tanah tersebut juga secara satuan ekonomi tidak membuat petani dapat bertransformasi secara pendapatan dan teknologi apalagi ditengah situasi makro ekonomi nasional yang meminggirkan pertanian dan petani. Sehingga, dalam kurun waktu tertentu, tanah-tanah tersebut dijual dan terkonsentrasi kembali pada golongan ekonomi kuat.
Dengan terbukanya berbagai skema implementasi dalam PPAN, kalangan gerakan pembaruan agraria dapat memperjuangkan agar tanah-tanah yang diklaim oleh organisasi rakyat jatuh dalam wilayah pengelolaan dan penguasaan bersama. Penguasaan secara kolektif ini juga harus diupayakan pada usaha penataan kembali struktur corak produksi yang berlaku selama ini menuju struktur kolektif usaha pertanian bersama (koperasi). Dengan demikian, upaya-upaya penetrasi teknologi, manajemen, dan modal akan dapat dilakukan oleh masyarakat secara bersama. Pelatihan dan pengawalan intensif harus dilakukan oleh kalangan gerakan sehingga menjadi alternative penataan produksi dari yang ditawarkan regime.
Kelima, program ini akan membuka peluang kesadaran politik baru di masyarakat. Sebab, selama ini idiom-idiom pembaruan agraria yang seringkali dilekatkan dengan komunisme mendapat alat peredam yang kuat dari tubuh lembaga negara sendiri. Dengan demikian, pengawalan terhadap PPAN dapat dipandang sebagai sebuah proses advokasi dalam mendorong alat negara seperti tentara dan kepolisian “mendukung” atau minimalnya tidak anti terhadap pembaruan agraria.
Keenam, PPAN haruslah dipandang sebagai peluang politik dan peluang ini dapat dimanfaatkan oleh kalangan gerakan tani dengan cara mengawal pelaksanaan PPAN setidaknya dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai-berikut: Melakukan pendataan secara akurat wilayah penguasaan dan pengelolaan; wilayah klaim masyarakat; rencana-rencara tata kuasa, tata kelola, dan tata produksi; rencana tata wilayah sekaligus data subjek secara jelas.
Menyusun dan mempraktekkan model pembaruan agraria yang disepakati oleh organisasi rakyat dengan dipandu dengan prinsip-prinsip kolektif dan berkeadilan. Melakukan dialog intensif, hingga perjuangan melalui aksi-aksi terbuka dalam wadah implementasi PPAN kepada pemerintah untuk dapat mengimplementasikan model pembaruan agraria versi rakyat pada wilayah-wilayah yang selama ini telah diduduki sekaligus perlindungan legalnya. Melakukan promosi keberhasilan pembaruan agraria versi rakyat agar diadopsi secara nasional dalam program PPAN.
Membentuk jaringan kerja untuk melakukan monitoring terhadap implementasi PPAN pada level wilayah dan melaporkan hasil-hasil monitoring pada pusat-pusat kordinasi jaringan kerja di wilayah dan nasional. Monitoring ini mestilah mencatat secara jernih keberhasilan, kegagalan teknis implementatif PPAN. Sehingga membuka peluang politik lebih luas bagi dijalankannya PA sejati dan membuka peluang dalam memperjuangkan objek-objek pembaruan agraria yang lain dari yang ditawarkan semata-mata oleh pemerintah selama ini.
Dengan corak pandang yang demikian, pengawalan dan keterlibatan organisasi gerakan Pembaruan Agraria bukanlah sebuah keterlibatan dan pengawalan tanpa kekritisan dari sisi substansi hingga implementasi. Juga, cara pandangan ini telah menempatkan PPAN sebagai salah satu peluang yang ada dalam mendorong Pembaruan Agraria sejati. Ketujuh, PPAN sesungguhnya secara praktek telah menggiring kelompok pembaruan dan kontra pembaruan bergerak dalam sebuah ruang persinggungan dan pertentangan yang sama yakni PPAN. Sehingga, identifikasi persoalan (substansi filososofis, praktek implementasi, disharmoni produk hukum) mudah dilakukan, sekaligus juga kemudahan bagi konsolidasi dan kerja bersama antar serikat dan unsur gerakan reforma agraria dalam memberikan perlawanan.
PPAN Menjelang Lauching
Pada pertemuan dengan elemen-elemen Gerakan Pembaruan Agraria di kantor BPN jalan Sisingamangaraja (09/5 2007), Kepala BPN Joyowinoto mengungkapkan bahwa:
Pemerintah sedang menggodok PP Reforma Agraria dan sedang dalam tahap-tahap akhir. Setelah disahkan presiden, Reforma Agraria akan dilaunching ke publik di Blitar tanggal 20 Mei 2007 atau 1 Juni. Namun, hingga sekarang launching tersebut belum ada kelanjutan kabarnya.
Menurut keterangan Kepala BPN, bahwa penerima manfaat dari Reforma Agraria ini adalah:
WNI yang sudah dewasa baik laki-laki maupun peremuan dengan syarat-syarat: perorangan, usia paling kurang 18 tahun, sudah kawin, miskin, tidak memiliki tanah, memiliki tanah kurang dari 0.5 Ha.
Sementara, Objek Reforma Agraria ini adalah:
Tanah bekas HGU, HGB dan HP
Tanah yang terkena ketentuan konversi
Tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya
Tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan
Tanah objek Landreform
Tanah bekas objek landreform
Tanah timbul
Tanah bekas kawasan pertambangan
Tanah yang dihibahkan oleh pemerintah
Tanah tukar-menukar dari dan oleh pemerintah
Tanah yang dibeli oleh pemerintah
Tanah pelepasan Kawasan Hutan Produksi Konversi atau tanah bekas kawasan hutan yang pernah dilepaskan yang jumlahnya 8.15 Juta ha.
Sementara, dalam melaksanakan rencana ini, akan dibentuk lembaga Dewan Reforma Agraria Nasional (Ketua Presiden dan Ketua Pelaksana Ka. BPN RI), di tingkat provinsi akan dibentuk DRAP serta di tingkat kabupaten/kota DRAK.
Untuk pembiayaan, akan dibentuk Badan Pengelolaan dan Pembiayaan Reforma Agraria (BPP-RA) di nasional dan di wilayah. Badan ini akan bertanggung jawab kepada Ka.BPN. Pembiayaan dari RA ini akan mengambil APBN dan APBD.
Dalam tatacara pelaksanaannya, identifikasi objek akan dilakukan oleh BPN Wilayah atau BPN Provinsi yang dilaporkan kepada Ka.BPN. Selanjutnya, hasil identifikasi ini akan divalidasi.
Dalam inventarisasi penerima manfaat (subjek reform) akan diterbitkan oleh pemerintah daerah dimulai dari tingkat terendah (desa/kelurahan), atau inventarisasi langsung yang dilakukan BPN RI atau dengan BPP-RA. Para penerima manfaat yang diusulkan ini akan diseleksi sesuai dengan syarat penerima manfaat yang telah disebutkan.
Disinilah kita mulai melihat bahwa harapan-harapan dalam advokasi PPAN mulai menjauh. Sebab, rencana kita sebagai insan gerakan tidak terwadahi. Bukankah subjek individu ditengah ekonomi makro dan mikro yang meminggirkan pertanian akan mengakibatkan tanah-tanah tersebut tidak akan dapat secara maksimal mengangkat kesejahteraan rakyat. Bukankah dengan subjek individu, transformasi organisasi petani (tanah, modal dan teknologi) yang kita harapkan melalui PPAN tidak terwadahi.
Sementara, objek-objek yang ditawarkan oleh PPAN memang mewadahi keinginan selama ini. Namun, mekanisme identifikasi objek yang ditentukan oleh pemerintah tanpa melibatkan serikat tani telah mengakibatkan semua objek tersebut sebenarnya sangat sulit diperoleh rakyat. Seharusnya, masyarakat dibuka kesempatan melakukan klaim objek reforma agraria dalam wadah PPAN.
[1] Adalah Koordinator advokasi kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
1 comment:
wah wah wah. mantap sekali ulasannya
Post a Comment