Mungkin anda pernah melihat iklan BPN soal perselisihan dua petani soal batas tanahnya yang didamaikan oleh si cantik Desi Ratnasari di teve. Yup, itu adalah iklan soal Larasitas BPN.
Program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Pertanahan (Larasita) ini sering diklaim oleh BPN sebagai contoh sertifikasi pertanahan yang termasuk pionir di dunia. Oleh sebab itu Kepala BPN, Joyo Winoto, PhD mengakui di depan Komisi II DPR-RI telah mendapat penghargaan dari Bank Dunia karena program ini.
BPN kerap memberi penjelasan bahwa program LARASITA membuat terobosan soal mobile office atau kantor bergerak yang melayani sertifikasi pertanahan rakyat. Menurut BPN, latar belakang program ini disebabkan unit terendah kantor pertanahan saat ini hanya terdapat di ibukota kabupaten. Sementara, sebagian besar rakyat tinggal di pedesaan. Sehingga, dengan terobosan ini mayoritas rakyat dapat terlayani dalam program sertifikasi pertanahan. Pendeknya, dengan mobile office petugas BPN dapat melayani rakyat hingga ke pelosok dengan mobil atau sepeda motor program Larasita.
Program ini diresmikan oleh Presiden SBY di pelataran Candi Prambanan, Klaten,16 Desember 2008. Saat itu penulis hadir disana karena diundang oleh BPN. Dan, kami mengkritik keras program ini di media massa.
Menurut saya, waktu itu program ini bukan terobosan, tapi pemborosan. Memang benar bahwa sebagian besar rakyat kita berada dipedesaan, tapi jawaban yang tepat bukan mobile office tetapi koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah daerah yang mempunyai tangan hingga ke RT, jauh lebih efektif, murah dan tepat sasaran. Sebab unsur kepala desa hingga RT yang sangat tahu kondisi dan sejarah tanah-tanah yang digarap oleh warganya.
Menurut Desi Ratnasari, Larasita juga bertujuan menemukan tanah terlantar, dan sengketa pertanahan. Jika membaca Peraturan Kepala BPN tentang Larasita, program ini memang ditujukan untuk menemukan objek reforma agraria. Jadi pada saat petugas BPN turun ke desa-desa dengan kendaraan Larasita. Ditemukanlah objek tanah yang dapat digunakan untuk reforma agraria.
Ini juga dapat dipastikan mustahil tercapai, sebab jika itu sasaran pekerjaannya (baca: menemukan objek RA), maka yang dilakukan bukanlah sertifikasi tanah, tetapi melakukan registrasi tanah-tanah khususnya di pedesaan. Peraturan dimasalalu yang pernah ada adalah PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah. registrasi ini dilakukan bersama aparat desa. Sehingga ada istilah desa lengkap soal data agraria dan desa belum lengkap. Registrasi dalam PP ini bukanlah sertifikasi, sebab sertifikasi adalah ujung dari proses pendaftaran tanah. Dengan proses registrasi memang akan ditemukan ketimpangan struktur agraria di desa sekaligus tanah objek reforma agraria atau land reform.
Kritik selanjutnya adalah, sertifikasi pada struktur agraria yang timpang (kepemilikan, penguasaan dan tataguna tanah) justru akan melegalkan struktur yang timpang tersebut. Jadi kalau ada banyak orang tidak bertanah, ada sedikit orang dan badan usaha menguasai tanah yang luas, sertifikasi adalah jalan melegalkan ketimpangan tersebut. Terakhir, sertifikasi tanpa didahului oleh reforma agraria hanya akan menjadi fondasi utama dari pasar tanah liberal, dan tentusaja sangat bertentangan dengan UUPA 1960.
Kenyataannya, program ini memang telah menyeret petani yang bertanah kecil semakin cepat kehilangan tanahnya, karena tanah yang bersertifikat tersebut semakin mudah dijual atau diagunkan kepada perbankan. Dalam keadaan bertanah sempit dan situasi makro ekonomi yang tidak berpihak kepada petani, maka sertifikasi pertanahan adalah alat sistematis yang justru menjerumuskan tanah petani semakin cepat terjual dan jatuh kepada pemodal besar, sehingga ketimpangan tanah pun semakin lebar.
Itulah sebabnya tanah pertanian sekarang ini semakin banyak dimiliki oleh kelompok non petani yang tinggal di kota, sementara petani gurem telah menjadi buruh tani.
Waktu itu, saya berkesimpulan bahwa program ini memang arahan Bank Dunia yang mendorong terjadinya liberalisasi pertanahan di Indonesia melalui proyek hutang Land Administration Project (LAP) dan Land Management dan Policy Development Project (LMPDP). Mungkin saja sinyalemen ini benar mengingat Bank Dunia memberi penghargaan besar kepada proyek Larasita BPN.
Setahun lebih Larasita berjalan, telah banyak uang rakyat digelontorkan. Sertifikasi tanah adalah hak warga negara, mendapatkan tanah juga untuk kehidupan yang layak juga adalah hak para petani tak bertanah.
Kesimpulan saya masih sama dengan awal program ini. LARASITA program yang boros dan tidak layak dilanjutkan.