November 24, 2009

Reformasi Agraria Gagal Distribusikan Tanah untuk Rakyat Miskin

Suara Pembaruan. Sabtu, 21 November 2009
[JAKARTA] Reformasi agraria saat ini belum dijalankan. Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007 lalu, untuk mendistribusikan jutaan hektare tanah kepada rakyat miskin, belum terealisasi. Akibatnya, penduduk miskin semakin miskin, sementara tanah telantar ada di mana-mana.

"Ironis memang, kita negara agraris dengan mayoritas penduduknya petani, tetapi tidak punya tanah. Akibatnya, kemiskinan dan pengangguran merajalela di mana-mana. Sementara itu, tanah telantar, ada di mana-mana," kata Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Usep Setiawan di Jakarta, Jumat (20/11).

Melihat itu, KPA mendesak Presiden Yudhoyono untuk tegas melakukan reformasi agraria, agar janji yang disampaikannya beberapa tahun lalu tidak menjadi pepesan kosong.

Mengenai kinerja Badan Pertanahan Nasional (BPN), Usep mengatakan, badan ini seharusnya menjadi ujung tombak reformasi agraria. Namun, sayangnya, BPN tidak bekerja maksimal. BPN, katanya, punya program kerja 100 hari, di antaranya, mempercepat munculnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang reformasi agraria.

Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) merilis data dari BPN bahwa tanah telantar di Indonesia mencapai 7,3 hektare. Luas tersebut sama dengan 133 kali luas Singapura. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada 1999, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 47,97 juta jiwa, dan turun pada tahun 2003 menjadi 35,68 juta jiwa.

Dari jumlah 35,68 juta jiwa itu, 22,69 juta orang berada di pedesaan. Karena sebagian besar warga pedesaan bermata pencaharian sebagai petani, maka artinya sebagaian besar masyarakat miskin negeri ini adalah mereka yang status mata pencahariannya bertani, atau disebut dengan petani. Data pada 2001 mengungkapkan 55% dari penduduk miskin di Indonesia adalah petani.

Sementara itu, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG), Idrus Marham di Jakarta, Jumat, mengatakan, untuk memuluskan agenda reformasi agraria yang dicanangkan Presiden Yudhoyono, tidak ada cara lain kecuali mengganti posisi Kepala BPN Joyo Winoto dengan orang baru, yang memahami peta pertanahan nasional. [E-7/L-8]

Masalah Pertanian Kita

Kompas Cetak. Senin, 23 November 2009

Oleh Usep Setiawan

Berbeda dengan para menteri pertanian sebelumnya yang ingin menggenjot produktivitas pertanian, mentan yang baru memulai visinya dengan urgensi pelaksanaan reforma agraria.

Menyempitnya luas lahan pertanian seiring penyempitan penguasaan petani atas lahan pertanian menegaskan gejala ”konversi” lahan pertanian ke nonpertanian berbanding lurus dengan ”ploretarisasi” petani.

Tampaknya, inilah yang mendorong Suswono, Mentan baru, mengajukan agenda mendasar dan penting diapresiasi. Mentan berjanji menjalankan reforma agraria melalui koordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) (Kompas, 23/10/2009).

Selama ini, reforma agraria ”dititipkan” Presiden Yudhoyono ke BPN melalui Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006. Salah satu tugas dan fungsi BPN ialah menjalankan reforma agraria yang setelah lebih dari tiga tahun berjalan terseok-seok. Penyebabnya, komitmen dan dukungan lembaga pemerintah yang lain yang terkait urusan agraria, termasuk Departemen Pertanian, terbilang minim.

Agenda lanjutan

Menyusul sinyal dari Mentan, ada sejumlah agenda penting lanjutan. Pertama, identifikasi subyek calon penerima manfaat program reforma agraria. Di sektor pertanian, petani miskin, tak bertanah, yang lahannya sempit, buruh tani, nelayan tradisional, dan masyarakat adat/lokal harus diprioritaskan.

Kedua, identifikasi tanah yang layak dijadikan obyek reforma agraria yang akan diterima oleh subyek miskin. Tanah-tanah subur yang selama ini ditelantarkan ”pemiliknya” perlu dibangkitkan dan diproyeksikan bagi kebutuhan rakyat miskin. Revisi PP No 36/1998 tentang tanah telantar harus menjadi agenda mendesak untuk dituntaskan.

Ketiga, mengembangkan mekanisme yang transparan, partisipatif, dan demokratis dalam menjalankan distribusi, redistribusi, dan konsolidasi tanah pertanian agar reforma agraria mencapai tujuan serta sampai target dan sasaran. Jika tujuan pokok menghadirkan keadilan agaria tanpa konsentrasi penguasaan tanah dan kekayaan alam di segelintir orang, ini harus dikawal jangan sampai melenceng.

Keempat, perlu reorientasi, reformulasi arah, fokus agenda, dan program pertanian. Orientasi dan formulasi lama cenderung ”produktivitas mengandalkan efisiensi” yang ditopang pembangunan pertanian bermodal besar dengan perspektif agrobisnis. Kelak, perlu rumusan lebih berkeadilan dengan ”produktivitas mengutamakan pemerataan” yang ditopang penguasaan dan pemilikan aset produktif tanah, modal dan sarana produksi pertanian oleh kaum miskin desa.

Kelima, dalam kebijakan pangan, Deptan perlu menggeser paradigma ketahanan pangan menuju kemandirian dan kedaulatan pangan. Secara keseluruhan, Deptan bertanggung jawab menyediakan akses pada berbagai sarana dan input pertanian yang dibutuhkan petani miskin mengiringi program landreform.

Titik tekan agenda lanjutan bagi Deptan ada pada poin empat dan lima. Untuk ketiga poin sebelumnya, Deptan perlu berkoordinasi dengan BPN. Maka, posisi, fungsi, tugas, dan kewenangan BPN perlu diperkuat dan diperluas, termasuk dalam konteks ”penataan ruang”, guna memastikan program landreform sebagai inti reforma agraria agar dapat berjalan efektif dan terkoneksi dengan sektor lain.

Perlu lompatan

Mengingat waktu yang tersedia bagi pemerintah tidak panjang (2009-2014), perlu aneka kebijakan yang sifatnya lompatan besar. Deptan sebagai lembaga pemerintah di sektor pertanian dan mengurus puluhan juta petani yang umumnya miskin butuh cara pikir dan tindak melompat jauh ke depan.

Sektor pertanian akan jalan di tempat, bahkan mundur ke belakang, jika lompatan kebijakan itu gagal ditemukan. Gagal membangun sektor pertanian, maka gagal pula membangun fondasi eksistensi negeri agraris. Untuk itu, Mentan perlu melakukan lompatan dengan mengintegrasikan kebijakan pertanian dan kebijakan penataan struktur pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam lain kemakmuran rakyat.

Menghubungkan kebijakan pertanian dengan reforma agraria. Inilah jantung dari tantangan terbesar sekaligus tugas mulia Mentan dan jajarannya. Mentan baru ditantang mengembalikan sektor pertanian sebagai primadona pembangunan yang membebaskan rakyat dari jerat kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan, sambil mengurai perangkap krisis pangan dan energi serta degradasi lingkungan akibat gurita kapitalisme dan pemanasan global, dan sistem perdagangan yang tak adil.

Di tangan jajaran pemerintahan terkait pertanian dan keagrariaanlah makna hakiki dari ”demokrasi, kesejahteraan, dan keadilan” yang digaungkan Presiden Yudhoyono dapat dibumikan ke alam nyata, bukan dibumihanguskan ke alam mimpi tak berujung.

Usep Setiawan Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria

November 20, 2009

Masihkah Jawa Lumbung Beras Nasional?

Kompas, Rabu, 18 November 2009 | 04.44 WIB

Khudori

Sebagai lumbung beras nasional, Pulau Jawa ada di titik amat kritis. Di satu sisi, karena ketergantungan akut semua perut warga pada beras, swasembada beras menjadi keharusan bagi siapa pun yang memerintah negeri ini.

Beras adalah pangan mahapenting di negeri berpenduduk 230 juta ini, tak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga sosial-politik. Karena itu, sejak Orde Baru hingga kini, baik harga, pasokan, maupun distribusi beras dikendalikan. Posisi Jawa menjadi penting karena memasok 56-60 persen beras nasional.

Di sisi lain, Jawa merupakan episentrum aktivitas ekonomi nasional. Sekitar 70 persen uang negeri ini berputar di Jawa (Baswir, 2003). Hal ini membuat aktivitas ekonomi di Jawa berputar bak gasing. Laju industrialisasi, transformasi ekonomi, dan jumlah penduduk yang besar membuat tekanan pada lahan menjadi panas. Pertumbuhan ekonomi mendongkrak mutu sosial-ekonomi lahan nonpertanian.

Di simpang jalan

Perkawinan antara permintaan dan rente lahan nonpertanian yang terus meningkat ini membuat tekanan pada lahan berjalan masif. Ini membuat keberadaan hutan, sawah, dan ladang ada di simpang jalan: tetap dipertahankan sebagai kawasan penyangga dan penghasil pangan atau dikonversi.

Dampak dari tekanan pada lahan itu bisa dilihat dari rutinitas banjir, longsor, dan kekeringan di sejumlah kota di Jawa. Namun, sejauh mana kondisi tutupan hutan dan daerah aliran sungai (DAS) sebagai penyuplai air irigasi, khususnya terkait jaminan produksi pangan dari sawah, belum banyak diketahui. Ketersediaan informasi ini penting sebagai penanda kritis-tidaknya Pulau Jawa sebagai penyangga pangan nasional.

Hasil interpretasi citra Landsat 2006/2007 oleh Barus dan kawan-kawan (2009) menunjukkan, tutupan lahan hutan total di Jawa tinggal 14 persen, jauh dari angka ideal (30 persen) untuk menjaga lingkungan fisik dan areal sawah. Dari 156 DAS di Jawa, hanya 10 DAS (6,4 persen) yang punya tutupan luas hutan lebih dari 30 persen, bahkan 50 DAS (32 persen) di antaranya tutupan hutannya nol persen. Akibatnya, sebagian besar sub-DAS di Jawa berpotensi besar dilanda banjir/longsor rutin. Air hujan yang seharusnya bisa mengisi air tanah dan pelan-pelan dialirkan karena adanya tutupan hutan, berubah menjadi air limpasan permukaan, yang tidak saja mubazir, tetapi juga menjadi menggerus lapisan subur tanah.

Menurut Barus dkk, dari empat kelas daerah rawan longsor (1-4, dari rendah/tidak ada sampai besar), kategori kelas tiga menempati rerata 80 persen dari tiap sub-DAS dan kelas 4 menempati areal 10 persen.

Dari empat kelas daerah rawan banjir, kategori kelas tiga mempunyai rerata 65 persen dari tiap sub-DAS, dan kelas empat sekitar 20 persen. Berpijak dari kombinasi ketiga kondisi itu—DAS kritis, rawan banjir, dan rawan longsor—sebenarnya lingkungan fisik di Jawa sudah rusak/kritis.

Apabila musim hujan, sebagian besar sawah akan banjir dan longsor. Sebaliknya, sawah akan kekeringan pada musim kemarau. Rutinitas banjir dan longsor akan membuat padi puso, DAS dan jaringan irigasi rusak. Padi adalah tanaman rakus air. Tanpa ketersediaan air memadai, produksi padi ada di zona bahaya. Banjir, longsor, dan kekeringan akan mengancam eksistensi Jawa sebagai lumbung padi nasional.

Jawa, basis produksi beras

Untuk mempertahankan Jawa sebagai basis produksi beras, harus dilakukan aneka langkah cepat dan simultan.

Pertama, menetapkan zonasi agroekologi sawah. Konsep pewilayahan ini didasari kenyataan, tiap tanaman memiliki perbedaan tingkat kesesuaian lahan. Dari zonasi agroekologi sawah oleh Nurwadjedi (2009), luas sawah mencapai 2,87 juta hektar (40 persen) dari 7,16 juta hektar kawasan budidaya di Jawa. Sebagian besar (93 persen) sawah itu berjenis tanah fluvial dan volkanik yang amat subur dibandingkan dengan tanah di luar Jawa, dengan kondisi irigasi beragam (dari teknis hingga tadah hujan). Dengan penetapan ini, sawah dalam zonasi harus dilindungi eksistensinya.

Penetapan dan perlindungan lahan ini merupakan amanat UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, ditetapkan 16 September 2009. Melalui UU ini, kawasan dan lahan pertanian pangan ditetapkan (jangka panjang, menengah, dan tahunan) lewat perencanaan kabupaten/kota, provinsi, dan nasional (Pasal 11-17).

Keberadaan kawasan dan lahan dilindungi hanya bisa dikonversi untuk kepentingan umum. Itu pun dengan syarat mahaberat (Pasal 44-46): didahului kajian kelayakan dan rencana alih fungsi, pembebasan kepemilikan, dan ada lahan pengganti 1-3 kali yang dikonversi plus infrastruktur. Siapa yang melakukan alih fungsi lahan yang dilindungi bisa dipidana 2-7 tahun dan denda Rp 1 miliar-Rp 7 miliar. Pidana ditambah jika pelakunya pejabat (Pasal 72-74).

Kedua, segera dilakukan rehabilitasi tutupan lahan hutan, menekan laju degradasi lahan dan bencana banjir. Terkait ini, penerapan pengelolaan sumber daya air terpadu dan prinsip hilir membayar hulu tidak bisa ditunda-tunda. Karakteristik air terkait daerah hulu-hilir. Konsekuensinya, batas hidrologis tidak selalu identik dengan batas administratif.

Pengelolaan sumber daya air harus menimbang kesatuan hidrologis sebagai satu kesatuan wilayah. Ini penting karena DAS- DAS besar di Jawa, seperti DAS Solo, Ciliwung, dan Citanduy, bersifat lintas provinsi dan melewati puluhan kabupaten/kota. Daerah hilir sebagai pengguna (irigasi, PAM) harus memberi insentif hulu untuk melakukan usaha konservasi dan rehabilitasi. Tanpa dua langkah ini, degradasi sawah terus berlangsung. Jika itu terjadi, lumbung beras Jawa tinggal cerita.

Khudori Penulis Buku Ironi Negeri Beras; Peminat Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi

Pertanian Kita dalam Peta Dunia

Kompas, Rabu, 18 November 2009
Bayu Krisnamurthi

Melihat pandangan negara-negara lain terhadap Indonesia dalam pertemuan multilateral APEC di Singapura, terasa bahwa kita adalah negara yang dipandang penting dalam peta dunia.

Sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan memiliki pertumbuhan ekonomi ketiga tertinggi setelah China dan India, Indonesia dinilai penting dalam menjaga keseimbangan pertumbuhan ekonomi global.

Hal tersebut juga berlaku dalam bidang pertanian. Berdasarkan data statistik dunia, Indonesia adalah penghasil pertanian terbesar keenam dunia dengan nilai keluaran sekitar 60 miliar dollar Amerika Serikat (2007). Indonesia adalah produsen biji-bijian pangan (sereal) terbesar kelima dan produsen buah-buahan terbesar kesepuluh di dunia. Indonesia juga produsen beras nomor tiga di dunia setelah China dan India meski merupakan konsumen terbesar ketiga juga setelah China dan India. Sekadar menambahkan, Indonesia adalah produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar dunia, nomor tiga untuk karet dan kakao, nomor empat untuk kopi, dan nomor enam untuk teh.

Arti penting pertanian Indonesia itu terefleksikan dalam berbagai usaha mencari solusi persoalan global. Melalui posisi Indonesia yang kian terhormat di forum-forum internasional— ASEAN, APEC, atau G-20—peran Indonesia dapat lebih banyak tersampaikan.

Ketidakpastian iklim

Dalam ketahanan pangan dan terkait perubahan iklim, Indonesia adalah korban ketidakpastian iklim, tetapi sekaligus dapat menawarkan solusi. Ketidakpastian iklim telah menimbulkan masalah bagi ribuan petani Indonesia yang menghadapi kekeringan, kebanjiran, atau siklus iklim yang berubah-ubah.

Ketidakpastian iklim membuat produktivitas kian sulit ditingkatkan, gejolak harga kian membingungkan. Bahkan, beberapa pulau di Indonesia terancam berat abrasi air laut dan terancam tenggelam.

Namun, Indonesia juga dapat menawarkan solusi. Pertama, dengan membangun ketahanan pangan sendiri, Indonesia telah turut berkontribusi dalam ketahanan pangan global. Pengalaman krisis pangan tahun 2008 menunjukkan, ketidakstabilan pangan pada satu negara dapat memicu persoalan, bukan melalui perdagangan atau investasi, tetapi melalui informasi.

Tahun 2008, Filipina membutuhkan tambahan amat besar stok beras. Keadaan ini menyebabkan harga beras melambung tinggi, termasuk di negara-negara yang telah berswasembada beras bahkan pada negara-negara eksportir. India yang mengalami masalah penurunan produksi gula tahun 2009 juga menyebabkan kenaikan harga gula di beberapa negara. Artinya, dengan Indonesia mampu menjaga stabilitas ketahanan pangan, selain untuk kepentingan rakyat Indonesia sendiri, maka akan dapat memberi solusi—setidaknya mengurangi beban—persoalan ketahanan pangan global.

Kedua, menambah pasokan pangan tetap merupakan agenda besar di seluruh dunia. Ketersediaan lahan dan air menjadi amat penting. Indonesia masih memiliki kedua sumber daya alam penting itu. Badan Pertanahan Nasional telah mengidentifikasi lahan seluas 7,1 juta hektar yang dapat dimanfaatkan untuk perluasan areal tanaman pangan. Sebagian di antaranya dapat dibuka untuk kerja sama internasional menambah pasokan pangan pasar global, sebagian lainnya untuk penambahan pasokan pasar domestik.

Strategis

Karena itu, amat strategis langkah Presiden RI menawarkan revitalisasi industri dan pertanian—khususnya untuk gula, pupuk, daging, kedelai, dan hal-hal terkait daya saing sektor pangan—sebagai kesempatan investasi kepada para pemimpin dunia usaha di ”CEO Summit” pertemuan APEC Singapura.

Investasi di bidang-bidang itu dapat bermakna ganda, sebagai peluang yang menguntungkan serta sebagai bagian solusi ketahanan pangan global dan membangun pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih berimbang.

Hal itu harus dilakukan dengan tetap melakukan pembenahan diri ke dalam. Petani, industri, pedagang, dan semua pelaku pertanian diajak untuk lebih proaktif melakukan adaptasi dan mitigasi lingkungan.

Semua praktik keseharian yang tak ramah lingkungan harus dikurangi bersama bahkan dihilangkan. Iklim investasi terus diperbaiki sehingga memberi apresiasi lebih besar bagi ”investasi hijau”. Pemerintah akan menyambut tiap kreativitas dan inovasi petani untuk dapat lebih hemat air. Apresiasi akan diperoleh pemerintah daerah jika menerapkan kebijakan yang efektif dalam melarang pembakaran sampah atau sisa tanaman di permukiman, sawah, kebun, apalagi di hutan; dan aneka kegiatan prolingkungan lainnya. Efisiensi industri dengan menggunakan teknologi ramah lingkungan akan mendapat respons positif dari konsumen.

Semua itu jelas tak dapat dilakukan sendiri. Menteri Pertanian dengan tepat melakukan pendekatan lebih terbuka kepada dunia usaha untuk membangun kerja sama sinergis. Penguatan organisasi pertanian dengan struktur baru pun akan didayagunakan untuk mengurai sumbatan kebijakan dan pelaksanaannya, sekaligus mencari terobosan bersama lintas sektor.

Semua itu diharapkan dapat kian mengaktualisasikan peran pertanian di dunia bagi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat; dan tidak hanya menjadi angka-angka statistik belaka.

Bayu Krisnamurthi Wakil Menteri Pertanian

November 18, 2009

Konflik Pertanahan Tinggi Sumsel Urutan Ketujuh

KOMPAS, Selasa, 17 November 2009 | 04:21 WIB

Palembang, Kompas - Jumlah kasus konflik tanah di Provinsi Sumatera Selatan termasuk tinggi karena menduduki peringkat ketujuh se-Indonesia. Peringkat tersebut berdasarkan data yang dihimpun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia pada tahun 2008.

Demikian dikatakan Manajer Regional Sumatera Walhi Mukri Friatna di sela-sela diskusi bertema ”Kepastian dan Perlindungan Atas Tanah dan Penyelesaian Konflik untuk Pembaruan Agraria”, Senin (16/11) di Palembang.

Mukri menjelaskan, sebagian besar konflik tanah di Sumsel adalah konflik antara petani dan perusahaan perkebunan ataupun konflik antara petani dan pemerintah.

Penyebabnya, keberadaan tanah ulayat tidak diakui dan hak masyarakat yang sudah menggarap tanah selama bertahun-tahun juga tidak diakui. Penyelesaian konflik tanah pun tidak mudah.

”Lahan gambut bisa diklaim sebagai milik perusahaan, padahal ada masyarakat di situ yang sudah menggarap lahan secara turun-temurun. Tanah ulayat dipandang tidak memiliki kekuatan hukum,” kata Mukri.

Menurut Mukri, dari luas hutan di Sumsel yang mencapai 3 juta hektar, sekitar 30 persen di antaranya adalah lahan yang menjadi konflik.

Adapun provinsi yang menempati peringkat pertama dalam jumlah konflik tanah adalah Nusa Tenggara Timur, di mana 50 persen dari luas hutannya menjadi konflik. Pada urutan kedua adalah Provinsi Lampung, ketiga Kalimantan Barat, keempat Sumatera Utara, kelima Sulawesi Tengah, dan keenam Kalimantan Timur.

Mukri menuturkan, di seluruh Indonesia terdapat 372 kasus konflik tanah yang didampingi oleh Walhi dan diharapkan selesai tahun 2012. Di Sumsel terdapat 15 kasus konflik tanah yang didampingi Walhi Sumsel.

Perlu sertifikat

Menurut Kepala Biro Pemerintahan Pemprov Sumsel Mulyadin Roham, pemerintah kabupaten/kota sebagai pemilik wilayah seharusnya menganggarkan dana untuk membantu masyarakat membuat sertifikat tanah. Dengan adanya sertifikat, kepastian hukum terhadap tanah masyarakat menjadi jelas.

Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaharuan Agraria mengutarakan, konflik tanah terus terjadi karena pemerintah tidak punya peta peruntukan tanah. Setiap departemen punya program sendiri dan berjalan sendiri dalam memanfaatkan lahan sehingga menyebabkan konflik perebutan tanah, perebutan sumber air, dan degradasi lahan. (WAD)

Indonesia Belum Punya Peta Penggunaan Tanah

Palembang | Mon 16 Nov 2009 23:30:00
INDONESIA sampai saat ini belum memiliki peta penggunaan tanah nasional dan juga belum mempunyai perencanaan nasional penggunaan lahan yang terpadu dan komprehensif.

Dengan demikian kerap menimbulkan tumpang tindih dan konflik lahan di masyarakat, kata Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) di Palembang, Senin (16/11).

Deputi Advokasi dan Kebijakan KPA Nasional itu, pada diskusi terbuka "Kepastian, Perlindungan Hak atas Tanah dan Penyelesaian Konflik untuk Pembaharuan Agraria" kerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatra Selatan (Sumsel), mengingatkan bahwa keberadaan peta penggunaan dan rencana pengelolaan lahan nasional itu sangat urgen keberadaannya.

"Tanpa itu, di lapangan semua akan jalan sendiri-sendiri nyaris tanpa koordinasi dan saling benturan satu sama lain," kata Iwan.

Korban yang paling besar dalam setiap terjadi konflik agraria, menurut dia, adalah masyarakat terutama para petani yang biasanya akan tergusur akibat lahannya diserobot atau diambil alih pihak lain, seperti perusahaan.

Dia menilai pula, hingga kini di Indonesia terus terjadi kompetisi dan konflik penggunaan ruang dengan tanah sebagai basis utamanya baik untuk penggunaan ekonomi, politik/pemerintahan, ekologi, cadangan, dan bahkan pertahanan keamanan akibat kebijakan hukum yang sektoralistik.

"Penurunan kualitas lahan dan juga konflik perebutan air terjadi serta berakibat pada meledaknya konflik turunan agraria, seperti penggusuran dan penyerobotan lahan," katanya.

Iwan menyebutkan fakta adanya krisis agraria itu, antara lain degradasi lahan dan hutan yang mencapai rata-rata 2,5 hingga 2,8 juta hektare per tahun, sedangkan rehabilitasi hanya 400.000-500.000 ha per tahun, dengan tingkat keberhasilan hanya 50 persen.

Belum lagi adanya alihfungsi lahan subur, terjadi pula krisis air dan kerusakan besar-besaran fungsi hidrologi, kerusakan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil, kebakaran lahan dan hutan serta perubahan iklim.

KPA mencatat pula terdapat 1.753 kasus konflik agraria struktural dengan luas lahan disengketakan mencapai 10,9 juta ha, dan telah mengakibatkan tidak kurang dari 1,2 juta KK menjadi korban di wilayah perkebunan dan kehutanan.

Ia juga mengingatkan bahwa jumlah penduduk bekerja di sektor pertanian mencapau 44,3 persen dari penduduk yang bekerja secara nasional. Namun hanya menyumbang 15,9 persen pendapatan kotor (PDB) nasional.

Akibatnya, menurut Iwan, terjadi distribusi kemiskinan di antara para petani itu, sehingga menyumbang angka kemiskinan yang tinggi mencapai 32,5 juta jiwa atau 14,2 persen dari jumlah penduduk.

"Laju percepatan kemiskinan di Indonesia untuk wilayah perkotaan mencapai 13,36 persen, dan di perdesaan mencapai 21,90 persen," kata Iwan.(Ant)

Sumsel Peringkat Tujuh

KORAN SINDO, Monday, 16 November 2009
PALEMBANG(SI) – Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) konflik agraria di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) ternyata menduduki peringkat tujuh secara nasional.


Manajer wilayah Sumatera Eksekutif Nasional Walhi Mukri Friatna mengungkapkan, sebanyak 30% dari 3 juta hektare kawasan hutan di Sumsel, diantaranya mengandung konflik agraria. Mayoritas konflik terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan serta pihak pengelola hutan. Dia mengatakan, peringkat tersebut tergolong tinggi. Daerah dengan konflik pertanahan terbanyak di Indonesia atau peringkat pertama adalah Nusa Tenggara Timur (NTT),disusul Lampung,Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Poso, dan Kalimantan Timur serta Sumsel.

Data peringkat konflik ini adalah data per tahun 2008 lalu. “Dari hampir 3 juta hektar kawasan hutan di Sumsel, 30% diantaranya mengandung konflik agraria,”ujar Mukri dalam diskusi terbuka mengenai pertanahan dengan tema kepastian, perlindungan hak atas tanah dan penyelesaian konflik untuk pembaruan agraria di hotel Bumi Asih Palembang,kemarin. Dia mengatakan, konflik menyangkut lahan agraria di Sumsel tertinggi terjadi di Kabupaten OKI dan MUBA.

Menurut dia,konflik yang muncul menyangkut akses kelola lahan oleh masyarakat. Contohnya ada tanah ulayat yang tidak diakui pihak manapun serta soal praktik langsung hak kelolanya.“Oleh karena hak kelola masyarakat tidak diakui,maka masyarakat tidak bisa mengakses tanah itu,” ujar Mukri sembari mengkritisi pemerintahan SBY yang hingga kini belum merealisasikan reformasi agraria seperti yang telah dijanjikan pada masa kampanye. Anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menilai peta penggunaan tanah tidak jelas.

Selain itu ketiadaan lahan menjadi persoalan pertanahan di Indonesia. Di sisi lain terus terjadi kompetisi dan konflik penggunaan ruang tanah oleh pihak tertentu, antara masyarakat dengan perusahaan atau lainnya.“Sebagian besar lahan-lahan tersebut dikuasai oleh perusahaan besar,”ujarnya. Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Sumsel Mulyadin Roham mengatakan, sedikitdemisedikitkonflik tanah berhasil diatasi. Saat ini berhasil diatasi 50% konflik tanah dari yang ada di Sumsel. Dia mengakui konflik yang terjadi antara perusahaan perkebunan dan masyarakat.

“Dari data yang tercatat di Pemprov Sumsel ada 91 konflik pertanahan yang tersebar di seluruh Sumsel. Namun separuhnya kini sudah mendekati penyelesaian konflik. Melalui upaya penyelesaian bersama dengan Pemkab/Pemkot, konflik itu sudah mulai berkurang,” ujar nya. Dia menjelaskan,penyelesaian konflik agraria dinilai tidak mudah, membutuhkan ketelitian serta data-data pendukung dari instansi terkait yang akurat.Surat tanah atau surat lain yang berkaitan dengan tanah yang disengketakan serta batas-batas tanah pun perlu diteliti kembali.

Dia mengungkapkan perlunya mereformasi birokrasi di tingkat desa, kelurahan atau kecamatan. Alasannya para pejabat pemerintahan tersebut sering mengeluarkan surat keterangan tanah di wilayah masing-masing.Akibatnya sering muncul konflik pertanahan. (jimmy octa harto)

900.000 Hektare hutan di Sumsel jadi lahan sengketa

BISNIS INDONESIA Rabu, 18/11/2009
900.000 Hektare hutan di Sumsel jadi lahan sengketa

PALEMBANG: Lahan seluas 900.000 hektare dari 3 juta hektare kawasan hutan di Sumsel masih berstatus lahan sengketa antara masyarakat dan perusahaan perkebunan.

Mukri Friatna, Manajer Wilayah Sumatra Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), mengungkapkan dengan kondisi tersebut Sumsel menempati peringkat ke tujuh secara nasional dan masih tergolong tinggi mengenai konflik pertanahan Tanah Air, selain Nusa Tenggara Timur, Lampung, Kalimantan Barat, Sumatra Utara, Poso, dan Kalimantan Timur.

"Hampir 3 juta hektare kawasan hutan di Sumsel, 30% mengandung konflik agraria. Konflik menyangkut lahan agraria di Sumsel tertinggi, yakni terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin, "ujarnya dalam diskusi terbuka mengenai pertanahan dengan tema Kepastian, Perlindungan Hak atas Tanah dan Penyelesaian Konflik untuk Pembaruan Agraria, kemarin.

Menurut dia, konflik yang muncul menyangkut akses kelola lahan oleh masyarakat, misalnya ada tanah ulayat yang tidak diakui oleh pihak mana pun serta soal praktik langsung hak kelolanya.

Oleh karena itu, lanjutnya, hak kelola masyarakat tidak diakui masyarakat tidak bisa mengakses tanah itu.

Anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menambahkan dengan banyaknya konflik di Sumsel itu menandakan peta penggunaan tanah tidak jelas.

Di sisi lain, katanya, terus terjadi kompetisi dan konflik penggunaan ruang tanah oleh pihak tertentu, antara masyarakat dan perusahaan atau lainnya.

Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Sumsel Mulyadin Roham mengatakan sedikit demi sedikit konflik tanah berhasil diatasi.

Saat ini, ungkapnya, konflik lahan tersebut sudah berhasil diatasi 50% antara perusahaan dan rakyat.

"Dari data yang tercatat di Pemprov Sumsel ada 91 konflik pertanahan yang tersebar di seluruh Sumsel. Namun, separuhnya kini sudah mendekati penyelesaian konflik," ungkapnya.

Dia menjelaskan melalui upaya penyelesaian bersama dengan pemkab/ pemkot konflik itu mulai berkurang.

Menurut Mulyadin, penyelesaian konflik agraria dinilai tidak mudah karena membutuhkan ketelitian serta data-data pendukung dari instansi terkait yang akurat.

Selain itu, jelasnya, surat tanah atau surat lain yang berkaitan dengan tanah yang disengketakan serta batas-batas tanah pun perlu diteliti kembali. (k49)

Bisnis Indonesia