Oleh: Iwan Nurdin
Beberapa kalangan terus mendesak agar DPR-RI segera membentuk Panitia Khusus DPR tentang Penyelesaian Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam (Pansus Agraria). Menyusul meletupnya konflik agraria di berbagai wilayah. Kabarnya, saat ini sudah 72 anggota DPR sepakat untuk pansus ini.
Bagi DPR, yang terus menerus disorot dengan berbagai skandal anggaran, usulan masyarakat agar parlemen membentuk pansus untuk menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat kepada parlemen. Selain itu, untuk meluruskan “ilusi” pemerintah yang mengharu biru dengan pikirannya sendiri soal keberhasilan ekonomi dan kepercayaan investasi terhadap Indonesia yang terus membaik.
Bagi para petani, langkah pansus sendiri adalah langkah lari “marathon” yang melelahkan. Sebab, persoalan petani terkait ketiadaan tanah, konflik agraria sesungguhnya secara peraturan sudah diberikan jalan keluar yaitu: pelaksanaan reforma agrarian sesuai dengan UUPA 1960 dan Tap MPR Np.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Artinya, jika alam pikiran DPR sejiwa dengan rakyat yang diwakilinya, pekerjaan parlemen adalah mendesak pemerintah menjalankan pelaksanaan reforma agrarian sebagai kewajiban pemerintah menjalankan Konstitusi, Tap MPR dan UUPA.
Agar pansus berjalan efektif dan tidak bernasib seperti aneka pansus sebelumnya yang berujung pada kompromi dan politik dagang sapi, maka pansus harus memahami dengan benar akar masalah konflik agraria di Indonesia. Bahkan, melalui pansus ini parlemen dan pemerintah harus mulai menyadari betapa kejahatan bisnis agraria di Indonesia sangat primitif dan dilindungi oleh hukum.
Salah satu tujuan pansus diusulkan para petani yang sedang berkonflik tersebut adalah memastikan DPR mendesak penyelesaian ribuan konflik agrarian dan merekomendasikan pemerintah segera menjalankan pembaruan agraria sesuai dengan amanat konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.
Untuk sampai kepada rekomendasi tersebut, DPR harus dapat memahami beragam jenis konflik agraria yang berjenjang dan model-model kejahatan bisnis perkebunan, kehutanan, serta bisnis pertambangan yang selama ini melahirkan konflik agraria. Terlebih konflik perkebunan.
Salah satu titik konflik agraria tertua dan terbanyak adalah konflik di wilayah perkebunan. Mulai dari konflik agraria perkebunan warisan kolonial Belanda hingga perkebunan inti plasma yang selama ini di dorong oleh pemerintah.
Konflik Perkebunan
Konflik perkebunan warisan kolonial banyak terdapat di Jawa dan Sumatera Utara bagian Timur. Perkebunan tersebut saat ini mayoritas dikelola oleh BUMN perkebunan. Mayoritas BUMN mendapatkan perkebunan karena nasionalisasi perkebunan Belanda pada tahun 1950-an. Sementara, kita tahu bahwa perkebunan tersebut dahulunya dibangun dengan cara merampas tanah-tanah rakyat. Padahal, area PTPN adalah titik paling sulit dalam menyelesaikan sengketa agrarian akibat berbagai instansi yang mesti dilibatkan yakni Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian, BPN dan Pemda. Dan, koordinasi kelembagaan antar instansi ini untuk secara khusus membicarakan penyelesaian konflik agraria hamper dipastikan tidak pernah ada.
Selain itu, Pansus DPR juga harus segera mengevaluasi Kementerian Pertanian, dalam hal ini Dirjen Perkebunan, Dinas Pertanian atau Perkebunan yang ada di Pemerintah Daerah. Karena, jajaran isntansi ini hampir tidak pernah telihat turun tangan secara aktif untuk menghentikan konflik-konflik agraria yang ada disektor perkebunan.
Pada perkebunan yang didirikan setelah Orde Baru berkuasa hingga sekarang, penulis melihat ada beberapa fase-fase konflik yang harus diurai sehingga praktek bisnis jahat oleh perkebunan nakal bisa terlihat.
Pertama, fase normative. Fase ini berawal dari pemberian izin lokasi, izin prinsip perkebunan yang diberikan oleh Bupati, Gubernur yang kerapkali bertabrakan dengan wilayah kelola masyarakat. Sementara, setelah mendapatkan izin, kerapkali perusahaan perkebunan memaksa rakyat menyerahkan lahan dengan memberikan ganti kerugian tidak wajar. Setelah proses ini, perusahaan mendaftarkan tanah sebagai HGU kepada BPN. Kerapkali, perusahaan mendapatkan HGU dengan proses yang tidak wajar dan cacat prosedur sehingga areal HGU mencaplok lahan-lahan warga.
Kedua, fase pembangunan perkebunan. Konflik jenis ini diawali perusahaan perkebunan yang mengajak masyarakat untuk bermitra dengan masyarakat. Awalnya, masyarakat menyerahkan lahan untuk dibangun kebun plasma oleh perusahaan. Sebelum melangkah kepada pembangunan, perusahaan melakukan MoU dengan masyarakat.
Karena absennya pemerintah daerah dan dinas pertanian dalam melindungi warga, kerapkali perjanjian kerjasama sangat merugikan petani. Akibatnya, sering ditemukan tanah-tanah milik masyarakat yang diserahkan kepada perusahaan perkebunan untuk dibangun kebun plasma justru dimasukan dalam sertifikat HGU perusahaan.
Kondisi tersebut melahirkan fase konflik selanjutnya, yakni fase konversi kebun plasma. Banyak ditemukan bahwa petani banyak menerima kebun plasma justru lahannya jauh dari lokasi rumah dan sarana transportasi. Selain itu, banyak petani menerima areal yang tanahnya kurang subur, luas areal tidak sesuai, daftar penerima plasma fiktif, bibit kualitas asalan, jumlah pokok tanaman yang sedikit, hingga jumlah kredit yang melambung. Kasus di Sei Sodong di Mesuji Sumsel adalah contoh nyata jenis konflik fase ini.
Selanjutnya, fase konflik perkebunan fase ke empat yakni fase produksi dikarenakan oleh banyaknya pemotongan yang dilakukan oleh perusahaan kepada petani plasma. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menguraikan bahwa besaran pemotongan atau sortasi yang sering dilakukan dalam perkebunan sawit hingga sebesar empat persen setiap kali panen.
Jadi, praktek jahat perkebunan nakal selama ini banyak dikarenakan oleh ketiadaan pengawasan dalam bisnis perkebunan selama ini. Oleh sebab itu, audit legal dan sosial ekonomi terhadap kehadiran perkebunan skala besar wajib dilakukan oleh pansus konflik agrarian. Sehingga, ada rekonstruksi pembangunan perkebunan yang lebih berkadilan di masa depan dan menjamin keadilan agraria. Rekonstruksi tersebut adalah bagian dari pembaruan agraria.
Jakarta 17 Januari 2011
Iwan Nurdin
Beberapa kalangan terus mendesak agar DPR-RI segera membentuk Panitia Khusus DPR tentang Penyelesaian Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam (Pansus Agraria). Menyusul meletupnya konflik agraria di berbagai wilayah. Kabarnya, saat ini sudah 72 anggota DPR sepakat untuk pansus ini.
Bagi DPR, yang terus menerus disorot dengan berbagai skandal anggaran, usulan masyarakat agar parlemen membentuk pansus untuk menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat kepada parlemen. Selain itu, untuk meluruskan “ilusi” pemerintah yang mengharu biru dengan pikirannya sendiri soal keberhasilan ekonomi dan kepercayaan investasi terhadap Indonesia yang terus membaik.
Bagi para petani, langkah pansus sendiri adalah langkah lari “marathon” yang melelahkan. Sebab, persoalan petani terkait ketiadaan tanah, konflik agraria sesungguhnya secara peraturan sudah diberikan jalan keluar yaitu: pelaksanaan reforma agrarian sesuai dengan UUPA 1960 dan Tap MPR Np.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Artinya, jika alam pikiran DPR sejiwa dengan rakyat yang diwakilinya, pekerjaan parlemen adalah mendesak pemerintah menjalankan pelaksanaan reforma agrarian sebagai kewajiban pemerintah menjalankan Konstitusi, Tap MPR dan UUPA.
Agar pansus berjalan efektif dan tidak bernasib seperti aneka pansus sebelumnya yang berujung pada kompromi dan politik dagang sapi, maka pansus harus memahami dengan benar akar masalah konflik agraria di Indonesia. Bahkan, melalui pansus ini parlemen dan pemerintah harus mulai menyadari betapa kejahatan bisnis agraria di Indonesia sangat primitif dan dilindungi oleh hukum.
Salah satu tujuan pansus diusulkan para petani yang sedang berkonflik tersebut adalah memastikan DPR mendesak penyelesaian ribuan konflik agrarian dan merekomendasikan pemerintah segera menjalankan pembaruan agraria sesuai dengan amanat konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.
Untuk sampai kepada rekomendasi tersebut, DPR harus dapat memahami beragam jenis konflik agraria yang berjenjang dan model-model kejahatan bisnis perkebunan, kehutanan, serta bisnis pertambangan yang selama ini melahirkan konflik agraria. Terlebih konflik perkebunan.
Salah satu titik konflik agraria tertua dan terbanyak adalah konflik di wilayah perkebunan. Mulai dari konflik agraria perkebunan warisan kolonial Belanda hingga perkebunan inti plasma yang selama ini di dorong oleh pemerintah.
Konflik Perkebunan
Konflik perkebunan warisan kolonial banyak terdapat di Jawa dan Sumatera Utara bagian Timur. Perkebunan tersebut saat ini mayoritas dikelola oleh BUMN perkebunan. Mayoritas BUMN mendapatkan perkebunan karena nasionalisasi perkebunan Belanda pada tahun 1950-an. Sementara, kita tahu bahwa perkebunan tersebut dahulunya dibangun dengan cara merampas tanah-tanah rakyat. Padahal, area PTPN adalah titik paling sulit dalam menyelesaikan sengketa agrarian akibat berbagai instansi yang mesti dilibatkan yakni Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian, BPN dan Pemda. Dan, koordinasi kelembagaan antar instansi ini untuk secara khusus membicarakan penyelesaian konflik agraria hamper dipastikan tidak pernah ada.
Selain itu, Pansus DPR juga harus segera mengevaluasi Kementerian Pertanian, dalam hal ini Dirjen Perkebunan, Dinas Pertanian atau Perkebunan yang ada di Pemerintah Daerah. Karena, jajaran isntansi ini hampir tidak pernah telihat turun tangan secara aktif untuk menghentikan konflik-konflik agraria yang ada disektor perkebunan.
Pada perkebunan yang didirikan setelah Orde Baru berkuasa hingga sekarang, penulis melihat ada beberapa fase-fase konflik yang harus diurai sehingga praktek bisnis jahat oleh perkebunan nakal bisa terlihat.
Pertama, fase normative. Fase ini berawal dari pemberian izin lokasi, izin prinsip perkebunan yang diberikan oleh Bupati, Gubernur yang kerapkali bertabrakan dengan wilayah kelola masyarakat. Sementara, setelah mendapatkan izin, kerapkali perusahaan perkebunan memaksa rakyat menyerahkan lahan dengan memberikan ganti kerugian tidak wajar. Setelah proses ini, perusahaan mendaftarkan tanah sebagai HGU kepada BPN. Kerapkali, perusahaan mendapatkan HGU dengan proses yang tidak wajar dan cacat prosedur sehingga areal HGU mencaplok lahan-lahan warga.
Kedua, fase pembangunan perkebunan. Konflik jenis ini diawali perusahaan perkebunan yang mengajak masyarakat untuk bermitra dengan masyarakat. Awalnya, masyarakat menyerahkan lahan untuk dibangun kebun plasma oleh perusahaan. Sebelum melangkah kepada pembangunan, perusahaan melakukan MoU dengan masyarakat.
Karena absennya pemerintah daerah dan dinas pertanian dalam melindungi warga, kerapkali perjanjian kerjasama sangat merugikan petani. Akibatnya, sering ditemukan tanah-tanah milik masyarakat yang diserahkan kepada perusahaan perkebunan untuk dibangun kebun plasma justru dimasukan dalam sertifikat HGU perusahaan.
Kondisi tersebut melahirkan fase konflik selanjutnya, yakni fase konversi kebun plasma. Banyak ditemukan bahwa petani banyak menerima kebun plasma justru lahannya jauh dari lokasi rumah dan sarana transportasi. Selain itu, banyak petani menerima areal yang tanahnya kurang subur, luas areal tidak sesuai, daftar penerima plasma fiktif, bibit kualitas asalan, jumlah pokok tanaman yang sedikit, hingga jumlah kredit yang melambung. Kasus di Sei Sodong di Mesuji Sumsel adalah contoh nyata jenis konflik fase ini.
Selanjutnya, fase konflik perkebunan fase ke empat yakni fase produksi dikarenakan oleh banyaknya pemotongan yang dilakukan oleh perusahaan kepada petani plasma. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menguraikan bahwa besaran pemotongan atau sortasi yang sering dilakukan dalam perkebunan sawit hingga sebesar empat persen setiap kali panen.
Jadi, praktek jahat perkebunan nakal selama ini banyak dikarenakan oleh ketiadaan pengawasan dalam bisnis perkebunan selama ini. Oleh sebab itu, audit legal dan sosial ekonomi terhadap kehadiran perkebunan skala besar wajib dilakukan oleh pansus konflik agrarian. Sehingga, ada rekonstruksi pembangunan perkebunan yang lebih berkadilan di masa depan dan menjamin keadilan agraria. Rekonstruksi tersebut adalah bagian dari pembaruan agraria.
Jakarta 17 Januari 2011
Iwan Nurdin