Jakarta, Kompas - Konflik agraria merupakan jenis konflik horizontal yang paling eksesif saat ini. Tingkat keragaman konflik dan jumlah korbannya juga tercatat paling tinggi. Potensi konflik agraria yang sangat besar meliputi sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan.
Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin mengungkapkan, potensi konflik agraria bakal semakin besar ke depan karena pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan. Pembangunan proyek infrastruktur bakal menggunakan UU itu ketika harus berhadapan dengan tuntutan rakyat atas tanah yang dijadikan lokasi proyek.
Menurut Iwan, wajah paling buruk dalam konflik agraria terdapat pada kawasan pertambangan mineral dan batubara. ”Sebab, peraturan yang ada hanya memungkinkan rakyat keluar dari area izin usaha pertambangan dengan pola ganti kerugian. Tidak ada celah rakyat untuk terlibat sedikit pun. Pesisir selatan Jawa, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Kepulauan Maluku, dan Papua adalah wilayah utama konflik pertambangan,” kata Iwan di Jakarta, Minggu (5/2).
Data KPA menyebutkan, sedikitnya 64,2 juta hektar tanah atau 33,7 persen daratan di Indonesia telah diberikan kepada perusahaan pertambangan mineral dan batubara dalam bentuk izin konsesi. Menurut Iwan, mengutip data Jaringan Tambang, data ini belum termasuk luas konsesi pertambangan minyak dan gas. Luasan total lahan untuk izin usaha pertambangan (IUP) mencapai 41.750.107 hektar, kontrak karya (KK) total luasan 22.764.619,07 hektar, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) seluas 7.088.078 hektar.
Selain persoalan konsesi pertambangan mineral dan migas, menurut Iwan, konflik agraria juga terjadi karena penunjukan kawasan kehutanan oleh pemerintah. Iwan mengatakan, pemerintah menunjuk secara sepihak luas kawasan hutan seluas 136,94 juta hektar atau 69 persen dari total luas wilayah Indonesia. ”Padahal, sampai hari ini, kawasan yang ditunjuk sepihak tersebut menyisakan 121,74 juta hektar atau 88 persen kawasan hutan yang belum ditata batasnya. Sedikitnya terdapat 19.000 desa definitif yang masuk ke dalam kawasan hutan yang menyebabkan masyarakat kehilangan hak konstitusionalnya seperti pelayanan sertifikat pertanahan, pengembangan ekonomi melalui infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, pendidikan, dan kesehatan,” kata Iwan.
Dia mengatakan, hampir semua wilayah Nusantara, kecuali Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta, mempunyai masalah dengan konflik kawasan kehutanan dengan masyarakat.
Jenis konflik agraria lainnya yang sampai sekarang terus terjadi adalah konflik di kawasan perkebunan. Menurut Iwan, konflik perkebunan merupakan konflik paling tua dan paling banyak memakan korban jiwa. Disebut paling tua karena sebagian konflik perkebunan merupakan warisan kolonial seperti yang terjadi di Sumatera Utara dan sebagian Pulau Jawa. Konflik perkebunan jenis baru terjadi karena pembukaan besar-besaran kawasan perkebunan seperti di Kalimantan dan Papua. Konflik jenis baru ini terjadi sejak fase perizinan hingga bagi hasil produksi antara perusahaan inti dan plasma (rakyat).
Menurut Iwan, konflik agraria tak pernah bisa terselesaikan hingga saat ini karena pemerintah tak punya komitmen kuat mengatasi persoalan utamanya. Pemerintah, lanjut Iwan, selalu abai dengan hak-hak rakyat. Konflik agraria yang terjadi baru-baru ini seperti di Mesuji dan Bima tak diselesaikan dengan menggunakan perspektif Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA mengamanatkan dilakukannya pembaruan agraria, yang salah satu intinya meredistribusikan lahan kepada rakyat dan menata kembali penguasaan atas lahan. (BIL)
1 comment:
Toleransi, dialog dan saling penghormatan atas perbedaan merupakan kunci menghindari konflik sosial.
Post a Comment