November 26, 2007

Pola Umum Penguasaan Tanah Era Kolonial DI Jawa (1)

Oleh: Iwan Nurdin

Pendahuluan
Dalam tulisan ini, sebagai kelanjutan dari tulisan sebelumnya tentang pola-pola umum penguasaa tanah pra-kolonial. Saya bermaksud memaparkan kembali apa yang telah banyak ditulis oleh para sarjana tentang penguasaan tanah pada di Jawa pada masa kolonial.

Karena rentang waktu kolonialisme di Jawa yang panjang, mencakup era merkantilis Eropa hingga era industri modern. Tentu, corak kolonialisme di Jawa juga bertransformasi untuk menyesuaikan diri dengan negara induknya. Perubahan tersebut telah mengubah juga dasar-dasar dalam penguasaan tanah di Jawa pada masa pra-kolonial yang dalam beberapa segi umum tetap membekas hingga sekarang.

Wajib Setor VOC
VOC sebagai kongsi dagang milik pemerintah, agaknya belum terlalu berminat dalam penguasaan-penguasaan langsung tanah. Sebab, kekuatan militer dan keuangannya belum cukup mampu untuk menguasai wilayah-wilayah pedalaman pelabuhan.

Sehingga, dengan dasar pertimbangan yang demikian, VOC lebih memilih memonopoli perdagangan dan menguasai wilayah-wilayah secara tidak langsung dengan mempertahankan struktur birokrasi pra-kolonial. Baginya, cukuplah otoritas setempat bekerjasama dengan kepentingan VOC yaitu: memastikan kuota (contingenten) hasil-hasil agraris di tiap-tiap wilayah dapat disetor (wajib setor) kepada VOC.

Tujuan VOC menerapkan cara ini adalah: mendesak para bupati mengakui kedaulatannnya dan menjauhkan para bupati dari hubungan politik dan dagang dengan kekuatan asing, serta menjaga pasokan barang-barang kebutuhan perdagangan.

Bagi kalangan wong cilik, wajib setor ala VOC relatif sama dengan upeti untuk priayi dan raja. Terlebih para pengumpulnya tetaplah sama: kalangan penguasa/priayi lokal. Sampai VOC bangkrut, usaha-usaha semacam ini tetap dipertahankan oleh pemerintah Belanda yang mengambil alih kekuasaan di Jawa.

Dapat disimpulkan bahwa struktur penguasaan agraria pada masa VOC tidak mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan masa pra-kolonial.

Namun, ada beberapa kekecualian pola ini khususnya di beberapa wilayah taklukan seperti Batavia dan sekitarnya. Beberapa tanah dijual kepada orang-orang Eropa dan China. Tanah tersebut dijual berikut orang-orang yang bermukim di wilayah tersebut. Sehingga, para pemilik tanah dapat diperbolehkan mengutip pajak, mewajibkan kerja secara mandiri kepada para penduduk.

Pajak Tanah Raffles
Terdapat beberapa situasi politik yang mendasari sistem pajak Raffles, beberapa tahun sebelumnya, negeri Belanda dikuasai oleh Napoleon (1795) sehingga kekuasaan di Jawa diambil alih oleh Daendels sebagai Gubernur Jenderal. Sang gubernur ini meluaskan pola-pola penjualan tanah kepada pihak swasta khususnya di daerah Batavia, Semarang dan Surabaya. Penjualan tanah ini adalah penjualan tanah berikut penduduk yang hidup di dalamnya (Tanah Partikelir).

Pemerintah Belanda yang berada di pengasingan (London) kemudian membuat perjanjian dengan Inggris untuk menyerahkan kekuasaan di Hindia Belanda diserahkan sementara kepada Inggris. Jika perang berakhir dan Napoleon dapat dikalahkan maka kekuasaan Hindia Belanda akan dikembalikan Inggris kepada pemerintah Belanda.

Dan pada tahun 1811, ketika kekuasaan Hindia Belanda secara resmi berada ditangan Inggris. Dan Thomas Stanford Raffles menjadi Gubernur Jenderal.

Gubernur ini mengenalkan sistem sewa tanah. Sistem ini dijalankan dengan pengertian bahwa semua tanah sebelumnya adalah milik raja (domein theory). Dan, karena raja telah mengakui kedaulatan Inggris di wilayah Jawa maka pemilik tanah adalah pemerintah penjajah. Sehingga, penduduk harus membayar sewa kepada pemerintah penjajah.

Tetapi bagaimana cara mengutip sewa? Di beberapa daerah Jawa Barat khususnya Bandung, Karawang dan dimana tidak ada kekuasaan raja yang efektif , Raffles melelang tanah-tanah khususnya di daerah taklukan kepada para pengusaha dengan mendasarkan pada jumlah penduduk, hasil panen kopi dan padi setiap tahunnya.

Sementara, di daerah-daerah lainnya khususnya di daerah yang dikuasai dengan perjanjian (Mataram) sistem ini dijalankan dengan cara mengurangi peranan penguasa lokal (bupati). Bahkan, jumlah penguasa lokal setingkat bupati dikurangi dengan melakukan penggabungan-penggabungan wilayah.

Pemerintah menghapuskan “kepemilikan” tanah sikep (lihat “penguasaan tanah pra kolonial) dan membebaskan para numpang dan bujang untuk menggarap tanah. Kemudian tanah-tanah garapan ini dibawah otoritas langsung pemerintah desa. Bahwa semua tanah adalah milik oleh negara kemudian direpresentasikan dalam kepemilikan desa. Desa kemudian yang mengutip biaya sewa yang besarannya ditentukan oleh pemerintah.

Jadi: pemerintahan di masa Raffles menentukan secara langsung tarif sewa tanah kepada para penggarap sekaligus memerintahkan kepala desa mengumpulkan uang sewa. Pada mulanya, tarif sewa tersebut 2/5 hasil padi. Namun pada perkembangannya sewa tersebut meningkat pada tanah-tanah subur sewa tanah mencapai ½ dan pada tanah kualitas menengah 1/3 dari hasil panen setahun. Hanya tanah-tanah kurang subur harga sewa 2/5 masih dipertahankan.

Bagi pemerintah kolonial sendiri, cara yang digunakan Raffles ternyata dianggap kurang berhasil menghasilkan uang. Beberapa hal tersebut disebabkan oleh lemahnya administrasi, jumlah pegawai pemerintah yang mengontrol sangat sedikit, secara operasional sistem ini juga mahal dijalankan sementara rakyat dibebaskan menggarap tanah dengan tanaman apa saja. Pajak tanah ini berhenti se

Beberapa kesimpulan:
1. Pola penguasaan tanah dimasa Raffles mencoba menghilangkan peranan golongan feodal lama dan menggantinya dengan kekuasaan pemerintah jajahan yang berciri tetap berciri feodal.

2. Raffles mencoba menghilangkan peran bupati dan priayi dalam mengambil upeti tanah, menghilangkan para sikep, dan membebaskan para numpang, bujang untuk menggarap tanah.

3. Tanah adalah milik pemerintah. Maka, di desa semua tanah tersebut adalah milik desa. Sehingga pemerintah desa membayar pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah besarannya. Untuk itu, pemerintah desa diwajibkan mengutip pajak itu dari penduduk.

4. Dalam wilayah dimana kekuasaan lokal tidak efektif Raffles langsung mengundang pemodal untuk mengikuti lelang sehingga sang pemenang dapat langsung menguasai tanah, penduduk, dan hasil panen.

Jakarta, 26 November 2007

Iwan Nurdin

November 22, 2007

Pokok-Pokok Penguasaan Tanah Pada Masa Pra-Kolonial

Tulisan ini dirangkum dari berbagai tulisan Ong Hok Ham
Oleh: Iwan Nurdin

Lapisan Sosial
Dalam konsepsi kerajaan di Jawa, penduduk dibedakan dalam struktur: Raja, Abdi Dalem (di dalamnya terdapat priyayi/adik raja) dan kalangan diluar itu yang disebut wong cilik.

Bagi raja pribadi, yang sebenarnya menjadi warganya (kawula) adalah golongan abdi dalem ini. Mereka dibedakan dari kalangan wongcilik atau massa rakyat biasa karena keistimewaan mereka yakni dapat menikmati hasil tanah tanpa harus mengerjakan sendiri.

Para priyayi dan elit kerajaan ini dibagi ke dalam wilayah-wilayah penguasaan. Wilayah penguasaan mereka dibagi tidak didasarkan luas kewilayahan, namun dihitung berdasarkan jumlah cacah. Misalnya seorang pejabat kerajaan atau pangeran menerima tanah seluas 800 cacah (keluarga petani).

Kekayaan, prestise dan kemakmuran elit kerajaan diukur menurut jumlah cacahnya, tidak menurut luas tanahnya. Jadi pada masa itu, penguasaan wilayah kalah penting dibandingkan dengan penguasaan penduduk (tenaga kerja).

Dari para cacahnya inilah, para elit kerajaan ini mendapatkan lungguh (apanage) yang merupakan tanah gaji. Tanah lungguh ini akan kembali kepada raja jika para priayi dan abdi dalem ini ini dipecat atau meninggal dunia. Tergantung kepada raja apakah ahli warisnya kelak dapat melanjutkan lungguh ini atau tidak. Hal yang demikian ini dilakukan untuk mencegah timbulnya kaum ningrat yang kokoh.

Pembedaan di Kalangan Wong Cilik
Para cacah ini, adalah kaum tani yang sangat tergantung kepada tanah dalam proses produksinya. Kaum tani ini terbagi-bagi dalam golongan atau kelas yang didasarkan pada tatacara mereka menguasai tanah.

Sementara, tanah-tanah juga dibagi kedalam dua bagian utama: yakni tanah pusaka (heirloom land) dan tanah yasa atau tanah hasil pembukaan dan pengusahaan sendiri (self developed land).

Petani yang menguasai tanah disebut Sikep (mereka inilah yang memeluk dan menanggung beban tanah kepada para priayi). Para petani sikep ini mempunyai numpang (tanggungan) dan bujang (belum menikah) yang merupakan lapisan terendah.

Sikep memperoleh tanah dari para raja atau melalui priayi. Para sikep ini yang mempunyai kewajiban pajak dan kerja bakti kepada para priayi (cacah). Jika Negara membutuhkan pajak baru dan kewajiban-kewajiban yang lebih luas, maka akan dibentuk Sikep baru. Tanah-yang diperoleh sikep ini disebut tanah pusaka karena mereka dapat mewariskan kepada ahli warisnya. Sementara, para sikep juga dapat meluaskan tanah mereka dengan menggunakan numpang mereka untuk meluaskan tanah (tanah yasa).

Para numpang juga mempunyai hak menguasahakan tanah-tanah persekutuan (tanah lanyah) secara beegantian dan tidak boleh memilikinya. Fungsi utama pembagian secara bergilir ini adalah untuk menjaga para numpang tetap menetap di wilayah tersebut.

Hubungan Kerajaan dan Sikep
Telah diuraikan bahwa hanya sikeplah yang mempuyai kewajiban membayar pajak kepada priayi dan kerajaan. Jika Negara membutuhkan berbagai pajak yang luas dan banyak maka akan dibentuk sikep baru. Proses membentuk sikep baru dengan cara memecah tanah sikep lama disebut pancasan.

Jika hubungan raja dan priayi adalah hubungan kawula-gusti (patron client). Maka proses ini akan berulang antara hubungan priyayi dan sikep di lapisan dua, dan sikep kepada numpang dilapisan terendah.

Namun hubungan patron client pada lapisan dua dibuat “rapuh” karena Raja selalu akan mengatur supaya di dalam wilayah lungguhnya, para sikep hidup terpisah-pisah tempat tinggalnya.

Sementara para sikep selalu merasa terancam dengan adanya pancasan oleh kehendak priayi dan raja jika hendak membentuk sikep baru. Dengan demikian, hubungan sikep dengan para numpang dan bujang juga bak api dalam sekam. Sebab, sewaktu-waktu jika politik berubah para numpang juga dapat menjadi sikep.

Kesimpulan
Dengan melihat pola-pola umum ini, maka dapat disimpulkan bahwa konsep kepemilikan tanah pada masa pra-kolonial dapat diartikan mutlak dimiliki oleh Raja semata. Bahkan, para elit sendiripun secara samar-samar saja mempunyai hak atas tanah.

Jakarta, 21 November 2007


Iwan Nurdin.

November 20, 2007

Wajah Pembangunan Infrastruktur Kita

Oleh: Iwan Nurdin

Infrastruktur yang buruk, selama ini sebenarnya telah menyumbang berbagai bentuk pelanggaran ham yang tidak sedikit. Sebab, keadaan ini telah menghambat masyarakat untuk mendapatkan akses yang berkualitas dan murah di dalam pemenuhan hak-hak dasar seperti pekerjaan, pendidikan dan kesehatan.

Dari sisi ini, pembangunan infrastruktur bisa kita lihat sebagai upaya pemerintah memenuhi ham sebagaimana yang diamanatkan Negara. Namun, jika tidak hati-hati, pembangunan infrastruktur juga mengundang persoalan dari sisi perlindungan dan pemenuhan ham.

Sebagai contoh, pembangunan waduk Jatigede di Sumedang, Jawa Barat, bisa kita kita anggap sebagai rencana besar pemerintah dalam pemenuhan hak-hak dasar rakyat khususnya dibidang pengairan pertanian, pemenuhan pangan dan energi. Secara kasat mata, pembangunan seperti ini dalam dimensi ham bisa dianggap positif.

Namun, berbagai kajian positif bendungan selama ini seolah telah menutupi berbagai kerugian langsung dan potensi kerugian yang akan alami oleh rakyat yang diakibatkan oleh pembangunan waduk skala besar. Ironisnya hal ini tidak diinformasikan kepada masyarakat luas.

Jika melihat laporan Komisi Bendungan Dunia (World Comission on Dams:2002) yang dibentuk oleh Bank Dunia untuk meneliti dampak pembangunan bendungan skala besar kita memperoleh beberapa kesimpulan penting yaitu: lebih dari 70 persen bendungan skala besar tidak mencapai target persediaan air. Lebih dari 50 persen bendungan ternyata tidak menghasilkan energi listrik yang sesuai dengan perkiraan awalnya. Sehingga, hanya 50 persen bendungan skala besar yang dapat mencapai pengembalian ekonomisnya dari sisi investasi.

Selanjutnya, laporan ini juga mengungkapkan bahwa dua dampak utama dari sisi lingkungan yang ditimbulkan oleh keberadaan bendungan skala besar. Pertama, proses penenggelaman wilayah oleh bendungan ternyata telah menyumbang sekitar 7 persen karbon di dunia. Hal ini disebabkan oleh proses penguraian tanah dan tumbuhan yang memakan waktu sangat lama. Kedua, sekitar 5 persen total air juga menguap setiap tahun di bendungan penampung.

Perhitungan ini belum menjelaskan secara detail dampak kerugian ekonomis dan sosiologis yang akan dialami oleh masyarakat yang hidup pada daerah hulu dan hilir aliran sungai yang dibendung. Apalagi bendungan akan merubah secara permanen aliran air pada daerah hilir berupa pengeringan maupun pengurangan debit air sungai. Sehingga, kelompok-kelompok masyarakat yang memanfaatkan air disepanjang daerah aliran sungai akan kehilangan sumber-sumber kesejahteraannya.

Dari laporan ini kita bisa menarik kesimpulan secara lebih jernih. Bahwa keinginan dalam pembangunan bendungan skala besar sesungguhnya berada di tangan lembaga donor, kontraktor pembangunan yang bisa saja tidak seimbang dengan keuntungan ekonomi rakyat secara luas.

Jika pembangunan berwatak populis semacam bendungan saja mempunyai dampak buruk yang tidak sedikit. Tentu patut pula kita melihat potensi pelanggaran ham pada pembangunan mega proyek infrastruktur lainnya seperti pembangunan tol trans-jawa, bandara internasional dll. Karena selain selain akan menggusur puluhan ribu masyarakat tentu juga akan mengancam tanah pertanian subur dan beririgasi yang selama ini menopang ketahanan pangan rakyat.

November 15, 2007

Pemerintah Desa yang Bekerja untuk Pembaruan Agraria

Oleh: Iwan Nurdin

Pendahuluan
Sebelumnya, saya hendak mengajukan beberapa pertanyaan kepada kita semua di forum belajar bersama ini tentang hal-hal di bawah ini:

(1) Bagaimanakah pemerintah daerah dan pusat melihat desa? (2) Bagaimanakah orang awam diberi gambaran dalam melihat desa? (3) Bagaimanakah umumnya penduduk desa melihat dirinya dan desanya? (4) Bagaimanakah Kepala Desa melihat dirinya dan desanya? (5) Bagaimana penduduk di desa dan pemerintah desa memandang pemerintah dia atasnya. (6) Apakah pandangan-pandangan tersebut ideal dan adil?

Sambil mendiskusikan ini, saya memberikan dua gambaran dari pertanyaan diatas. Bahwa pada umumnya, jika orang awam diminta membayangkan dan menggambarkan desa, maka segera yang terbayang adalah lahan-lahan pertanian subur yang digarap oleh petani. Kemudian, secara kebudayaan akan membayangkan sebuah komunitas sosial yang jaraknya rapat. Sehingga, desa adalah wilayah dimana semangat gotong royong dan keguyuban sosial lainnya yang kuat. (masihkah hal ini dalam kenyataan sehari-hari?)

Sejauh ini, para kepala desa (terlebih dalam kebudayaan Jawa) akan menganggap dirinya sebagai pamong yang menjadi ayah/induk dari para anak-anaknya (warga desa). Dengan demikian para lurah akan membayangkan desanya sebagai sebuah keluarga besarnya dan dia sebagai kepala keluarga.

Dari diskusi ini, marilah kita menjawab hal-hal dibawah ini? Mengapa tanah-tanah subur di desa diperuntukkan untuk kepentingan perusahaan perkebunan, perusahaan perkebunan kayu (perhutani), pabrik dan perumahan. Apakah rakyat di desa tidak bisa menanam tanaman kopi, coklat/kakao, kayu jati, teh dll sehingga harus diserahkan kepada perkebunan?

Jadi menurut saya, kalau rakyat desa atau pemerintah desa belum bisa mendirikan dan mengelola pabrik perkebunan, mendirikan dan mengelola perumahan pasti ada hubungannya dengan pandangan orang desa terhadap dirinya dan juga pandangan orang luar desa (Pemerintah, Akademisi, LSM) terhadap dirinya yang saling menguatkan.

Kalaupun bisa modalnya dari mana, mas Iwan? Kalaupun ada modal, jika hendak melaksanakan agenda seperti itu bagaimana mensiasati peraturan yang sudah ada? Seperti itulah setidaknya beberapa pertanyaan lain yang akan muncul sekedar untuk memperlihatkan betapa pandangan-pandangan yang selama ini ada dalam melihat desa, melalui pertanyaan-pertanyaan yang saya kemukakan awal tulisan diatas bisa terus menerus hidup di kepala kita, karena dilembagakan melalui UU dan Peraturan Pemerintah dan bahkan melalui pendidikan.

Desa dan Pertanian
Telah lama (bahkan sejak zaman kolonial) desa dan pertanian memberi subsidi kepada sektor diluar pertanian khususnya industri dan jasa. Subsidi tersebut berupa pasokan bahan mentah bagi industri pengolah di dalam dan luar negeri hingga ketersediaan bahan pangan dan pasokan buruh murah.

Pasokan pangan murah diperlukan untuk menjamin upah buruh tetap murah sehingga sesuai dengan rencana pemerintah menarik investor. Pertanian yang tidak menguntungkan juga menjamin suplai buruh murah di kota bahkan hingga ke luar negeri karena tidak banyak orang tertarik menjadi petani. Persoalan ini juga kemudian mengakibatkan organisasi serikat buruh tidak bisa mempunyai posisi tawar yang kuat dalam melindungi kelompok mereka.

Situasi ini bisa berjalan terus menerus karena, faktor dihulunya yaitu kebijakan bagi pengembangan pertanian dan desa tidak pernah dilakukan. Selain itu, sumber sumber agraria (tanah, air dan kekayaan alam di dalamnya) oleh pemerintah tidak diperuntukkan bagi rakyat yang membutuhkan sebagai terjemahan dari UUD 1945 dan UUPA 1960.

Bertolak dari hal ini, kebutuhan dilaksanakannya Pembaruan Agraria di Indonesia akan terus menerus hidup dalam sanubari pejuang-pejuang tani. Pembaruan Agraria adalah perombakan struktur agraria berupa kepemilikan, penguasaan, pengelolaan sumber-sumber agraria menjadi lebih adil. Dan, tak pelak salah satu pintu utama dalam perjuangan Pembaruan Agraria adalah melalui Pembaruan Desa.

Pembaruan Agraria Melalui Pembaruan Desa

Secara hukum menurut Ketentuan Umum UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang disebut dengan desa adalah: kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asalusul "dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Sementara itu, seringkali desa-desa dibedakan berdasarkan pada kegiatan ekonomi utama yang ada pada desa. Misalnya, Mubyarto (1994) membagi tipologi desa tertinggal di Propinsi Jawa Tengah ke dalam sembilan tipologi berdasarkan komoditas basis pertanian dan kegiatan mayoritas petani pada desa tersebut. Kesembilan karakteristik desa adalah desa persawahan, desa lahan kering, desa perkebunan, desa peternakan, desa nelayan, desa hutan, desa industri kecil, desa buruh industri, serta desa jasa dan perdagangan.

Sedangkan Soedrajad (1997) membagi tipologi ke dalam 4 kategori , yaitu :
a. Desa pantai adalah desa yang kegiatan utamanya alam penangkapan ikan.
b. Desa persawahan adalah desa yang mayoritas penggunaan lahan untuk persawahan terutama tergantung pada produktivitas penanaman padi.
c. Desa perkebunan adalah desa yang mayoritas penggunaan lahanya untuk perkebunan.
d. Desa perladangan adalah desa yang kegiatan utamanya adalah perladangan (menanam tanaman pangan tadah hujan dan palawija).


Menurut hemat saya, dari paparan singkat dimuka, apapun kategorinya desa secara sosial politik dan ekonomi telah dipinggirkan. sehingga penting dan mendesak dilakukan Pembaruan Desa melalui Pembaruan Agraria atas inisiatif rakyat desa sendiri. Pembaruan tersebut tiada lain adalah sebuah proses penciptaan kondisi struktur agraria yang adil dan menjamin ekonomi rakyat di pedesaan yang kukuh, dan mampu tumbuh secara mandiri dan berkelanjutan yang ditopang oleh pemerintah desa yang demokratis.

Tujuan dari Pembaruan Desa ini adalah: Mendorong sumber-sumber agraria yang berada di desa diperuntukkan bagi rakyat dan berperan aktif dalam peningkatan kualitas tenaga kerja di pedesaan yang berwawasan lingkungan; kedua, Mendorong peningkatan kemampuan aparatur pemerintah desa; dan penguatan lembaga pemerintah desa dan lembaga masyarakat desa; ketiga, pengembangan sarana dan prasarana pedesaan.

Beberapa Usulan Kerja:

1. Menguatkan Perjuangan Pembaruan Agraria
Pembaruan Agraria tidak akan berhasil tanpa organisasi rakyat khususnya organisasi tani yang kuat, dan secara benar perjuangan Pembaruan Agraria. Pemerintah Desa yang bekerja demi terwujudnya PA harus selalu mendorong tumbuhnya organisasi tani, organisasi perempuan, organisasi pemuda, komunitas keagamaan dan pendidikan di desanya sehingga memahami dan kemudian bersinergi (seiring sejalan dan saling menguatkan) dengan perjuangan serikat-serikat tani dalam memperjuangkan Pembaruan Agraria.

Dorongan Pemerintah Desa untuk memfasilitasi tumbuhnya berbagai organisasi di desa akan memperluas pengetahuan berorganisasi, memperluas wawasan sehingga pandangan-pandangan salah yang berkembang tentang desa dan pertanian dapat diluruskan kembali.

Organisasi-organisasi ini juga dapat bersinergi dengan pemerintah desa untuk mengidentifikasi kepemilikan lahan-lahan pertanian dan perkebunan, mata air, galian tambang, di wilayah desa. Identifikasi ini berupa luasan, pemilik, pengelola, baik oleh perseorangan maupun perusahaan.

Data-data ini sangat penting bagi Pemerintah Desa untuk bisa melakukan Negosiasi, Fasilitasi, Mediasi dengan perusahaan perkebunan yang aktif di desa untuk dapat membukakan akses bagi rakyat dalam hal tanah, tenaga kerja, perlindungan tenaga kerja dari desanya. Bahkan, Pemerintah Desa dapat mengusahakan bagi hasil yang adil bagi penggarap-penggarap lahan pertanian sesuai dengan UU Pokok Bagi Hasil. Sementara, bagi lahan-lahan perkebunan yang terlantar maka Pemerintah Desa mendorong masyarakat memproduktifkan tanah tersebut dan bahu membahu menjadikannya objek landreform.

Sehingga sangat penting bagi pemerintah desa untuk mengetahui, memahami, dan mampu melaksanakan proses Negosiasi, Fasilitasi dan Mediasi sebagai salah satu jalan menyelesaikan konflik agraria di tengah-tengah masyarakatnya. Sebagai bahan dasar, tentusaja keterbukaan, keberpihakan yang kuat kepada rakyat adalah prasyarat utama melakukan proses ini.

2. Membangun dan Menguatkan Kelembagaan Desa
Membangun kelembagaan desa yang kuat, adalah modal sosial dan politik bagi pengembangan masyarakat desa.

Pembangunan kelembagaan ini, mestilah sebagai sebuah dasar dalam memacu tercapainya tujuan masyarakat desa yang demokratis, adil, sejahtera dan partisipatif.

Kelembagaan Politik yang demokratis haruslah tercermin dalam struktur pemerintahan desa hingga ke RT. Kelembagaan yang demokratis di desa dapat diukur dengan ukuran-ukuran demokrasi seperti kebebasan, keterwakilan. Kebebasan disini bukan semata-mata dipandang sebagai sebuah cara-cara yang bebas dari belenggu siapapun dalam mengekspresikan pikiran-pikiran dan pendapat. Namun, kebebasan ini mestilah diperuntukkan untuk hal-hal yang disepakti bersama. Bebas dari harus selalu dibarengi dengan bebas untuk.

Keterwakilan mestilah di dorong untuk tumbuh dalam setiap kelembagaan politik di desa. Keterwakilan dapat mengacu pada hal-hal di bawah ini: perempuan, pemuda ataupun keterwakilan pekerjaan seperti petani, buruh tani, buruh dan juga ketrwakilan golongan seperti kaum cerdik cendikia, guru, ulama dsb.

Proses ini dapat mengkreasi lebih sempurna azas keterwakilan liberal di desa pada tubuh BPD yang selama ini dipilih atas dasar kewilayah atau mata pilih semata. Sehingga, sebelum dipilih secara bebas oleh masyarakat, telah ditentukan melalui musyawarah mufakat oleh masyarakat siapa-siapa calon dari golongan ini yang berhak dipilih untuk duduk di dalam BPD.

Kelembagaan ekonomi di desa, seringkali tidak dapat tumbuh. Bahkan, koperasi yang di idealkan oleh pendiri bangsa kita telah menjadi momok di desa-desa. Sehingga, kerapkali rakyat tidak bisa membedakan koperasi dengan rentenir formal yang berwujud koperasi simpan pinjam.

Telah banyak di desa-desa lainnya, khususnya di Kalimantan Barat, Sumatera Utara, serikat-serikat tani yang berhasil membangun Badan Usaha Bersama Milik Masyarakat Desa. Dalam bentuk, wujud dari usaha bersama ini koperasi yang benar-benar dari anggota dan untuk kesejahteraan anggota.

Ada baiknya, jika Pemerintah Desa yang hadir disini secara bersama-sama bergotong royong untuk mengundang kawan-kawan kita yang telah berhasil dari proses ini untuk belajar dari pengalaman mereka dan mengajarkan langsung kepada warga desa kita.

Dalam hal pembangunan Kelembagaan Sosial dan Budaya di masyarakat desa, patutlah kita merasa prihatin yang mendalam. Sebab, sesungguhnya situasi saat ini secara sosial masyarakat desa mulai tergerak ke arah individualisme yang mendalam. Perilaku individualisme ini telah merenggangkan semangat gotong royong dalam melawan kemiskinan dan kebodohan di didesa. Sementara, semangat kebersamaa di desa juga kadangkala menyimpang dalam bentuk-bentuk seperti tawuran antar kampung dsb.

Kelembagaan sosial yang baik dapat didorong atau dikembangkan lebih baik bentuk-bentuk gotong royong kematian, mengedepankan dan melembagakan penyelesaian konflik antar masyarakat melalui musyawarah.

Bentuk dan lembaga kebudayaan-kebudayaan yang hidup di desa akan mendorong lahirnya masyarakat yang lebih menghargai dan mengagungkan peradaban dan keadabannya sendiri secara baik wajar dan terus menerus mempertinggi kualitas kebudayaannya secara mandiri.

Dengan demikian, budaya-budaya yang menjajah seperti konsumerisme, perilaku boros, tidak cermat, tidak tepat waktu, tidak toleran, malas belajar selalu dipandang sebagai musuh utama peradaban masyarakat desa.

Pembangunan semacam ini, adalah modal sosial yang sangat kuat dalam melawan kapitalisme.

Penutup

Sebagai penutup, saya hendak mengatakan bahwa apa yang saya usulkan bukanlah sesuatu yang kita mulai dari nol. Sebab, modal awal kita telah ada. Bukankah organisasi, jaringan kerja telah sejak awal kita miliki.




Iwan Nurdin